Peristiwa Bunuh Diri Sulli dan Belajar Mengatasi Depresi dari Maryam, Ibu Nabi Isa AS

Peristiwa Bunuh Diri Sulli dan Belajar Mengatasi Depresi dari Maryam, Ibu Nabi Isa AS

Sebagian orang menyebut bahwa bunuh diri akibat kurang iman, benarkah? Atau malah orang-orang yang berkata demikian yang sebenenarnya jadi pembunuhnya?

Peristiwa Bunuh Diri Sulli dan Belajar Mengatasi Depresi dari Maryam, Ibu Nabi Isa AS

Baru saja kemarin kita dikejutkan oleh berita kematian idola Korea Sulli yang dikabarkan bunuh diri. Sebelumnya, beberapa seleb internasional seperti Chester Bennington dan Robin William juga meninggal dengan cara bunuh diri.

Sisi baik dari kejadian-kejadian tragis ini, edukasi dan campaign seputar mental health awareness di Indonesia dan dunia mengalami peningkatan, tapi tidak sedikit juga yang tidak belajar dari keadaaan ini, tetap saja suka membully dan menzalimi orang lain.

Mirisnya, stigma orang depresi sebagai orang yang kurang Iman dan kurang ibadah masih menjadi argumen populer.  Film Joker yang belum lama tayang juga berhasil mempopulerkan tema mental health, meskipun beberapa pakar menjadi concern  akan meningkatnya stigma seseorang dengan mentall illness berpotensi menjadi pelaku kriminal.

Sementara itu, Siti Maryam RA, ibunda dari Nabi Isa AS, adalah salah satu wantia yang paling mulia di sisi Allah, kisah pengabdian, kesalehan dan cintanya kepada Ilahi diabadikan dalam Al-Quran di surat Ali Imron dan surat Maryam. Dikisahkan bahwa beliau adalah orang yang senantiasa berdiam di mihrabnya, beribadah sehingga Allah menyiapkan makanan khusus untuknya. 

Dikisahkan di surat Maryam ayat 16-34, berawal dari malaikat Jibril yang memberi kabar kehamilan sedangkan Siti Maryam belum pernah disentuh lelaki. Masyarakat terkejut dan mulai membully Sayyidah Maryam dan memfitnahnya sebagai pezina.

Dengan perut yang sudah membesar dan hati yang berat, Siti Maryam pergi ke tempat yang jauh, ketika kontraksi mulai terasa, beliau bersandar di pangkal pohon kurma dan berkata “Andai saja aku mati, menjadi tidak berarti dan dilupakan semua orang”. Kemudian Malaikat mengingatkannya untuk tidak bersedih dan menyarankan beliau untuk menggoyangkan pangkal pohon kurma sehingga kurma-kurma masak berjatuhan dan bisa dimakan oleh beliau.

Gejala depresi biasa dikaitkan dengan keinginan untuk mati, perasaan tidak berharga dan sedih yang mendalam yang terjadi terus menerus setidaknya dua minggu. Tentu kita tidak bisa mengetahui pasti apakah yang dialami Ibunda Maryam adalah depresi, tapi kalimat beliau menunjukkan gejala-gejalanya.

Respon malaikat Jibril pun mengejutkan, “Jangan bersedih, Allah telah menyiapkan anak sungai dan kurma untukmu, makan, minum dan bersenang hatilah. Kemudian Jibril juga menyarankan untuk puasa berbicara. Sekembalinya Maryam ke pemukiman tempat tinggalnya, masyarakat mulai kembali memojokkan Maryam dengan tuduhan perzinahan dan mencecar Maryam dengan bertanya banyak hal yang akhirnya dijawab oleh Nabi Isa yang masih bayi.

Rasa ingin mati seringkali distigmakan sebagai perasaan kurang bersyukur dan kurang beriman. Andai Jibril tidak punya empati dia mungkin akan menjawab, “Astaghfirullah ya ukhti, jangan mikir begitu, dosa, masih banyak yang lebih menderita, kamu bukannya bersyukur akan melahirkan seorang Nabi”. Tapi Jibril memvalidasi perasaannya dan menghiburnya.

Menariknya juga, Jibril menganjurkan untuk berpuasa bicara. Biasanya, orang dengan depresi dianjurkan untuk mengatur stressor (hal yang membuat stress)  dan triggernya, misalnya yang memicu stressnya adalah melihat berita tentang terorisme, maka disarankan untuk tidak mengikuti perkembang berita terorisme dulu sampai keadaannya mulai membalik. Jika stressor utama Siti Maryam adalah komentar tetangga-tetangganya, maka mendiamkan mereka bisa jadi pilihan yang bijak. Atau istilah sekarang cutting-out toxic people.

Coba sekarang kita urai kisah Maryam, beliau rajin sekali beribadah, tidak pernah bersentuhan dengan lelaki bukan mahram, kemudian jibril membawa kabar bahawa Maryam hamil, Masyarakat yang mengetahui tentang kesalehan Maryam dan keluarganya yang terkenal (Harun saudara permpuannya, Zakaria pamannya, Imron ayahnya) sangat terkejut dan menuduh Maryam sebagai wanita tidak baik.

Tekanan dari tetangga-tetangganya membuat Maryam memutuskan untuk pergi sendirian jauh dari rumah untuk melahirkan. Kita bisa menyimpulkan stressor yang paling dominan adalah bully dan fitnah dari warga sekitar. Saya berspekulasi mungkin saja Jibril menganjurkan Maryam untuk puasa bicara supaya meminimalisir stressor yang akan dialami Maryam sekembalinya ke daerah tempat tinggalnya.

Maryam RA yang merupakakan salah satu wanita termulia di sisi Allah bisa merasa berputus asa dan menginginkan kematian, yang kemudian Jibril pun tidak menghakimi beliau karena mengharapkan kematian. Dan kesedihan Siti Maryam tidak sedikitpun menggugurkan kesalehannya di mata Allah.

Di bulan hari kesehatan mental sedunia ini, saya berharap kisah Maryam bisa membawa perspektif baru, bahwa mental illness tidak ada hubungannya dengan kurang iman atau kurang ibadah, bahkan tidak berhubungan langsung dengan agama. Semoga dengan bertambahnya iman dan ilmu,  kita bisa lebih peduli dengan kesehatan mental kita dan orang orang lain, lebih bisa memahami bukannya menghakimi. Depresi sudah terlalu banyak memakan korban, mari kita jangan menjadi salah satunya atau menjadi salah satu pemicunya.

Bagi penderita depresi, carilah pertolongan dari professional, harapan selalu ada.