Suka Overthinking dan Insecure Lihat Pencapaian Orang Lain? Sama, Tapi Inilah Caraku Mengatasinya

Suka Overthinking dan Insecure Lihat Pencapaian Orang Lain? Sama, Tapi Inilah Caraku Mengatasinya

Yang bikin overthinking dan insecure itu kan persepsi kita sendiri akan sesuatu. Kita memandang sesuatu berdasarkan emosi dan lupa mengecek pikiran sendiri.

Suka Overthinking dan Insecure Lihat Pencapaian Orang Lain? Sama, Tapi Inilah Caraku Mengatasinya
Ilustrasi: overthinking, terlalu memikirkan hal-hal yang ada di luar kendali

Kalian suka merasa overthinking atau insecure juga nggak sih? Ya karena macam-macam. Kuliah nggak kelar-kelar, ditanya kapan nikah, di todong pertanyaan kapan punya momongan, masih nganggur, kerja terus tapi cuan nggak kekumpul-kumpul, kegoda checkout keranjang-keranjang online shop, lockdown membuat badan semakin melebar, sumpek dengan body image dan masih banyak seabrek overthinking lainnya.

Coba, kita ingat-ingat lagi. Seberapa lama sih kita sudah menyirami kesumpekan overthinking dan insecure itu? Pernah terpikirkan nggak, yang menyirami sumpek itu sebenarnya ya kita sendiri. Pikiran manusia memang terlalu mahir berimajinasi dengan emosi-emosi negatif. Namanya juga overthinking. Thinking yang berlebih-lebihan.

Yakin, nggak capek sumpek melulu? Nah, bagi teman-teman yang ingin keluar dari lingkaran kesumpekan, coba kita kenalan dengan Albert Ellis Dan Marcus Aurelius.

Albert Ellis menulis buku berjudul How To Stubbornly Refuse To Make Yourself Miserable About Anything, Yes Everything. Pada intinya adalah, bagaimana sih kita keluar dari emosi negatif. Segala kesumpekan dan ketidaknyamanan akan apa yang kita rasa. Ellis, menggunakan CBT (Cognitive Behavioral Therapy) metode bentuk terapi dengan memodifikasi pikiran.

Yang sebenarnya, hal-hal yang menjadkan kita overthinking dan insecure itu kan persepsi kita sendiri akan suatu hal. Kita memandang sesuatu berdasarkan emosi kita dan sering lupa mengecek pikiran kita. Ellis menyebutkan bahwa emosi itu bukan disebabkan oleh peristiwa ataupun orang lain. Tapi, ya karena persepsi pikiran kita sendiri. Opini-opini yang kita bentuk sendiri.

Pasti pernah kan merasa baper, sedih, merasa paling jelek se-alam semesta, merasa bodoh, merasa tidak berkontribusi apapun untuk negeri ini, menjadi terbelakang dan tidak memiliki keahlian apapun, merasa kurang akan uang yang kita hasilkan dan lain-lain.

Kalau kita cek yang salah orang lain atau pikiran kita? Apa iya, orang lain sengaja membuat kita baper? Apa benar lingkungan kita menilai bahwa kita terlahir sebagai manusia terjelek seantreo alam semesta?

Jawabannya, ya enggak dong! They don’t even think about you, Dear.

Lagi dan lagi, kita harus rutin dan sering mengecek pikiran kita. Apakah kita sudah berpikir? Atau, masih larut dan meromantisasi emosi kita. Menjadikannya berkuasa dan menguasai pikiran kita? Ingat ya, ada dua dikotomi kendali. Bahwasannya, ada hal-hal yang tidak dan bisa kita kendalikan. Kita bisa mengendalikan diri kita dan akan sulit mengendalikan hal-hal yang berada di luar diri kita.

Yuk kita mulai dari sekat terdekat deh, diri sendiri. Memulai untuk menata pikiran kita. Menjadikannya rapi. Kesumpekan itu, layaknya emosi yang berantakan yang mana kita bisa merapikannya. Meskipun akan berantakan lagi. Tapi, setidaknya, kita punya bekal untuk menata emosi-emosi kita.

Albert Ellis juga menyebutkan tiga penderitaan umat manusia:

  1. Saya harus berhasil.
  2. Orang lain harus berperilaku baik; jika tidak mereka adalah manusia jahat.
  3. Hidup harus berjalan indah. Jika tidak, hidup saya gagal!

Ngeri nggak sih ketika kita di selubungi pemikiran seperti itu. Tapi, kebanyakan tolak ukur keberhasilan seseorang ya meliputi 3 hal tersebut. Padahal, apa iya, setiap apa yang kita putuskan dan kerjakan harus berhasil? Nyatanya, ulangan Matematika selalu dibawah standar. Apa benar, semua orang yang ada di ekosistem kita harus berbuat baik? Faktanya, masih banyak orang yang suka nyinyir dan ghibah. Dan, apa hidup kita wajib berjalan indah? Lha, kalo hidup kita selalu berjalan indah, dari mana kita belajar keindahan jika tidak merasai penderitaan. Bukannya penderitaan diciptakan untuk mengajari manusia akan arti mencari kebahagiaan itu sendiri?

Sah-sah saja kan ketika kita tidak berhasil akan sesuatu. Ketika orang lain berbuat tidak baik, bukankan itu keputusan mereka. Dan, ketika hidup tidak berjalan indah; bukannya sudah jelas bahwa Tuhan yang sudah merancang bagaimana kita akan hidup. Jenis emosi apa yang akan kita rasa. Ya, Tuhan sudah merangkai dengan porsi yang sangat tepat.

Sama dengan apa yang di nasehatkan oleh Marcus Aurelius dalam bukunya yang sudah diterjemahkan oleh Gregory Hay (Meditations) ketika ia menyikapi rasa sakit. Ia mengatakan “Saat kamu tersiksa oleh sesuatu dari luar dirimu, rasa sakit itu bukan dari sesuatu itu sendiri; namun anggapanmu terhadapnya. Dan kamu, memiliki kekuatan untuk mencabutnya kapanpun kamu mau”

Nah, bisa kita tarik kesimpulan nih, gagasan Ellis dan Marcus ini kembali ke dua dikotomi kendali. Jadi, kita berhak untuk tidak merasa overthinking, untuk tidak menerima persepsi-persepsi ngatif, untuk mencabut opini negatif yang sudah tertanam bertahun-tahun. Dan, kita sangat berhak mengendalikan diri kita. Hal terdekat dengan diri kita. Mari, bersama-sama merekonstruksi pemikiran negatif. Menjadikannya pergi hilang dan lupakan.

Lalu, apa kita harus menolak keras pikiran negatif? Boleh jadi, yang bisa mengatur kadarnya ya pribadi masing-masing. Analogi baik yang disampaikan om Henri Manampiring dalam bukunya, Filosofi Teras.

Emosi-emosi negatif yang menghampiri kita setiap hari layaknya seekor kucing liar yang berada di teras rumah. Sedang kita, memiliki hak untuk membuat batas. Batas kita adalah pintu dan kita didalam rumah sembari mengerjakan pekerjaan lain. Jadi, yang silahkan saja emosi negatif datang. Tapi, letakkan ia di teras. Terima ia disana. Dan, kita selalu memiliki hak untuk mengunci pintu. Dengan beraktivitas di dalam rumah, boleh jadi kucing liar itu akan pergi dengan sendirirnya.

Apa yang bisa kita lakukan di dalam? Kata Marcus, segala sesuatu memiliki peran dan tugasnya. Ya kita harus menyadari, kita manusia dengan multi peran, ya carilah tugas kita apa. Kita kerjakan. Kita, seharusnya tidak menjadi kacau hanya karena imajinasi emosi negatif kita.

Boleh jadi, hal yang menjadikan kita terlalu sering meromantisasi emosi negatif itu karena kita terdiam dan mengamati kucing liar itu. Memandanginya dari jendela lamunan-lamunan kita. Sehingga, kita terbawa arus kesumpekan. Akan berbeda cerita, jika kita memaksimalkan waktu kita untuk bergerak. Mengerjakan apapun. Kita tidak akan pernah tahu kapan batas usia kita akan berakhir? Entah esok hari ataupun lusa.

Apapun yang kita rasa, Tuhan sedang mengenalkan kita dengan berbagai balada emosi. Mari, sadari dan terima saja. Untuk keluar dari lingkaran overthinking dan insecure ya dengan memperbaiki kualitas berpikir kita. Saat overthinking dan insecure hilang, kebahagiaan akan datang. Yang mana ia akan menjadikan konsep bahagia berada pada persepsinya, bukan digantungkan pada sesuatu dari luar dirinya. [rf]