Manfaat Drama Korea dalam Kajian Psikologi dan Pandangan Islam

Manfaat Drama Korea dalam Kajian Psikologi dan Pandangan Islam

Drama Korea ternyata bisa jadi self healing dan dapat mendorong perilaku Altruisme.

Manfaat Drama Korea dalam Kajian Psikologi dan Pandangan Islam

 Gelombang Korea atau Korean Wave sendiri sudah masuk pada awal tahun 2002 melalui drama Korea ‘Auntumn in My Heart’ atau lebih dikenal dengan ‘Endless Love’.  Dilansir dari IDN Times, drama ini dapat meraup rating hingga 46,1% di akhir penayangannya.

Hingga saat ini dapat kita temui beragam judul drama korea di Indonesia. Peminat drama Korea di Indonesia bahkan melebihi minat pada serial produksi Indonesia sendiri. Dilansir dari IDN Times, 28 Juni 2020, dengan melibatkan 354 pembaca IDN Times, menunjukan bahwa peminat drama Korea mencapai 90,4% dengan penonton aktif sebanyak 76,6%. Hal ini berbalik dengan hasil peminat sinetron Indonesia yang meraup 12,4%, dengan penonton aktif sebanyak 5,9%.

Lalu, apa sih alasan drama Korea banyak diminati di Indonesia?

Terdapat beragam alasan mengapa masyarakat Indonesia cenderung menaruh minat pada drama Korea, salah satunya adalah cerita. Drama Korea menyuguhkan cerita yang sarat makna. Melalui kemampuan aktor dalam membawakan karakter, emosi penonton dapat dimainkan dengan apik hingga mampu terbawa dalam cerita. Perasaan gemas dengan kisah cinta remaja, hingga perasaan ngeri dengan action yang memukau dapat penonton rasakan.

Lalu, apakah drama Korea hanya memberi dampak sebatas itu?

Tidak. Ternyata, drama Korea dapat berperan dalam kesehatan mental. Dalam survei yang melibatkan 50 responden, menunjukkan bahwa drama Korea mampu menjadi bagian dalam keseharian pemirsanya, hingga mampu menjadi self healing dan self improvement. Berikut adalah beberapa pernyataan responden mengenai hal positif yang didapat dari drama Korea,

 “Drama Korea enggak semata-mata cuma buat tontonan saat gabut, tapi semua cerita yang dijadikan drama punya banyak pesan dan pelajaran yang bisa diambil, juga bisa jadi inspirasi dalam hidup. Bisa juga buat belajar bahasa korea, budaya korea, kehidupan masyarakat di korea” ~InyeopWaipeu

“Nemenin kegabutanku, dan sometimes bisa jadi moodmaker. Selain itu aku juga banyak belajar dari drama korea, entah nilai budaya maupun nilai kehidupan”. ~Bangchan

“Sebagai refreshing dan dapat mengembalikan semangat”. ~ teman ulya

“Menambah pengetahuan, menghilangkan stress”. ~Salsabila

Tidak hanya itu, drama korea dapat mendorong perilaku Altruisme. Yakni, motif, tindakan atau perilaku memberikan pertolongan kepada orang lain tulus tanpa mengharap imbalan apapun. Perilaku ini didasari oleh banyak faktor salah satunya adalah empati. Meminjam gagasan dari Gagan (1983), empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Empati inilah yang menjadi dasar bagi seseorang untuk berperan bagi pihak lainnya.

Dari kuesioner, dengan pertanyaan ‘Apakah melihat drama Korea dapat mempengaruhi rasa empatimu?’ 37 responden menjawab iya. Lebih spesifik, dalam pertanyaan ‘Apakah jawaban yang responden sampaikan mengenai ungkapan untuk diri sendiri dan untuk orang lain ketika terpuruk terpengaruh oleh drama korea?’ 32 responden menyatakan iya dan 18 responden menyatakan tidak.

Drama Korea sering menyuguhkan cerita – cerita yang sarat akan moral value-nya. Melalui cerita ini, penonton mendapatan gambaran perilaku yang dapat menjadi bahan pembelajaran dalam kehidupan. Jika dalam psikologi, dapat dihubungkan dengan teori belajar sosial (Social Learning Theory).  Albert Bandura (dalam Baron dan Byrne, 2004) mengemukakan bahwa perilaku sosial individu dipelajari dengan melakukannya dan secara langsung mengalami konsekuensi – konsekuensi dari perilaku sosial itu. Selain itu, individu juga mempelajari perilaku baru melalui pengamatan terhadap perilaku orang lain (Observational Learnig).

Misalnya, dalam drama Korea kita belajar bahwa bullying sangat kejam dan menyebabkan luka yang dalam. Jika di kehidupan nyata kita mendapati bullying maka kita jadi mengerti konsekuensi jika kita tetap diam dan bagaimana akhir dari korban jika kita tidak peduli. Dengan demikian kita mampu mempertimbangkan sikap yang akan kita ambil.

Baca juga: Gerakan Anti-Feminisme yang Salah Kaprah, Padahal Rasulullah Pelopor Feminisme

Observational Learning melalui model kita dapatkan dari tokoh protagonis yang  mampu menolong korban bullying bangkit dari keterpurukan. Tokoh ini mampu membuat penonton terkesima. Dari sini lah penonton belajar bahwa meniru tokoh protagonis tersebut adalah suatu  hal baik, ditambah lagi dengan pandangan masyarakat bahwa menolong adalah perilaku yang positif dan akan memperoleh konsekuensi–konsekuensi yang positif pula.

Lalu, bagaimana Islam memandang hal ini?

Pembelajaran dalam pendidikan agama Islam seperti halnya teori belajar sosial (social learning theory) Bandura, ketika faktor pribadi, kemampuan kognitif dan lingkungan memiliki peran penting. Dalam Islam  dikenal dengan tulu zamanin (faktor masa belajar bersama lingkungannya) dan al-mar’u ‘ala qarinihi (eksistensi seseorang tergantung kawannya, jika kawannya baik, berarti orang tersebut baik dan jika kawannya buruk berarti buruk juga). Selain itu, perintah tolong menolong telah tersebar dibeberapa ayat dalam Al- Qur’an, salah satunya adalah Q. S. Al-Qashash : 77.

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Baca juga: Klaim Kebenaran Sendiri Sebagai Kebodohan dan Kesombongan

Apasih pentingnya Altruisme dalam kesehatan mental?

Pada 10 September 2020 lalu kita memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia dengan tema  Nasional “Bersama Cegah Bunuh Diri” atau “Working Together to Prevent Suicide”.  Isu bunuh diri sebenarnya sudah dianggap serius oleh WHO sejak tahun 2003. Jumlah kematian akibat bunuh diri di dunia mendekati 800.000 kematian pertahun atau sama dengan 1 kematian setiap 40 detik.

Jadi, ketika ada satu orang yang meninggal karena bunuh diri, maka diperkirakan terdapat 20 kasus percobaan bunuh diri. Bunuh diri diawali dengan adanya depresi yang tidak kunjung mendapat penyelesaian. Dilansir dari Kompas.com, 91% atau 10.297.105 orang pasien depresi belum tersentuh pengobatan medis.

Dengan demikian perilaku altruisme menjadi peran penting dalam kesehatan mental sekarang ini. Karena sedikit perhatian dari kita adalah hidup bagi mereka. (AN)