Tulisan ini tidak hendak memberikan argumentasi sepihak mengenai boleh atau tidaknya perayaan tahun baru. Pertama karena saya sendiri tidak memiliki informasi yang benar benar otorotatif baik secara teologis maupun historis mengenai hukum dan preseden seputar hal tersebut. Kedua, sudah terlalu banyak pakar yang mengetengahkan tinjauannya mengenai hukumnya, sehingga saya beranggapan jika tulisan ini mengarah ke sana akan menambah kejenuhan polemik tersebut.
Sebaliknya, tulisan ini hanya akan memotret fenomena sosial dan praktek keseharian masyarakat yang terjadi di tengah tengah kita, utamanya saat natal dan tahun baru tiba. Oleh karenanya tulisan ini berangkat melalui pertanyaan, “benarkah publik mempermasalahkan perayaan tahun baru, atau jangan jangan hal tersebut hanya gimmick belaka?”
Baca juga: Haramnya Perayaan Valentine dan Ketakutan Berlebihan Umat Islam
Gimmick, berdasarkan kamus Oxford merujuk pada istilah slang yang digunakan oleh para artis atau pesulap untuk memanipulasi aksi mereka agar terlihat berbeda dari kenyataannya. Masih menurut kamus Oxford, kata ini berasal dari istilah orang Amerika di abad ke 20. Namun begitu, penggunaannya ternyata tidak sebatas pada dunia seni peran. Istilah ini juga digunakan dalam dunia politik dan bahkan siasat pemasaran dalam aktifitas penjualan daring.
Sebagaimana kita rasakan bersama, tahun baru datang bukan sebagai entitas tunggal. Seperti hari besar agama lain di Indonesia, ia tak lepas dari kait kelindan unsur lain kehidupan manusia, termasuk unsur komersialisme dunia industri. Momen perayaan adalah momen kebahagiaan. Kondisi ini lalu dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagi kebahagiaan bersama dengan keluarga, kawan dan kolega baik dengan berkirim dan bertukar hadiah, makan dan liburan bersama.
Kondisi psikologis konsumen inilah yang dimanfaatkan oleh dunia industri untuk mendongkrak pemasaran produknya. Indonesia yang notabene masyarakatnya tergolong konsumtif menjadi lahan basah bagi dunia Industri. Sistem komunal yang terbangun dan terjalin sebagai kultur bawaan masyarakat indonesia menjadi faktor pendukungnya.
Maka, begitu hari raya tiba, entah Hari Raya Natal dan tahun baru ataupun Hari Raya Idul Fitri, mall, pusat perbelanjaan, platform jual beli online ramai ramai memasarkan produknya dengan segala macam pernak pernik, kemasan, bonus barang maupun diskon gila gilaan.
Kasus viralnya toko roti Tous Les Jours yang tak memperbolehkan peletakan pernak pernik natal pada produknya jadi salah satu bukti bahwa natal dan tahun baru tidak hanya berentitas tunggal. Ia hadir sebagai salah satu paket perayaan yang tidak hanya berdimensi teologis tetapi ikut pula menggerakkan berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Maka menjadi tidak mengherankan bila perputaran ekonomi, fluktuasi harga, kelangkaan barang, operasi pasar sering terjadi pada momen momen tersebut, termasuk natal.
Terlepas dari pro dan kontra soal ucapan selamat Natal dan tahun baru, potongan harga khusus jelang Natal dan tahun baru yang ditawarkan para pelaku usaha ritel di Indonesia, relatif tidak pernah dipersoalkan di kalangan masyarakat termasuk masyarakat muslim Indonesia, karena yang dilihat adalah diskonnya, potongan harganya.
Baca juga: Hukum Maulid Nabi Perspektif Al Quran dan Sunnah
Mengutip informasi dari BBC Indonesia misalnya, Roy Mandey, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, atau Aprindo, mengatakan, selama perayaan Natal dan tahun baru, semua pelaku usaha ritel anggota asosiasi pasti akan menawarkan potongan harga khusus untuk menggerakkan sektor konsumsi.
Menurutnya, potongan harga memang menjadi insentif yang sangat digemari masyarakat Indonesia, terutama kelompok kelas menengah. Tidak peduli diskon tersebut datang di momen apa, dan tak peduli pula penikmat diskon tersebut beragama apa, potongan harga tetap dinikmati masyarakat bersama secara luas.
Hal ini bisa jadi berbeda jauh dengan kondisi dan konteks masyarakat di era kenabian dan era salafus salih di mana hukum perayaan tahun baru yang sekarang menjadi polemik kambuhan bermula. Meskipun sulit menemukan hadis, riwayat atau sejarah yang menunjukkan mengenai komersialisme ketika tahun baru ataupun hari raya tiba, tetapi agaknya akan sulit bagi kita untuk menemukan hukum menikmati diskon hari yang dianggap perayaan orang kafir tersebut.
Jika seseorang konsisten menyepakati larangan perayaan tahun baru, saya yakin yang bersangkutan akan malu dan enggan menikmati diskon harga khusus itu. Yang menjadi persoalan jika secara brutal menghujat dan mengkafir kafirkan orang yang merayakan tahun baru dan meniup terompet, tetapi menikmati diskonnya, mungkin itu hanya gimmick atau Strategi menutupi dusta belaka. Sekali lagi, itu adalah hal yang biasa. (AN)
Wallahu a’lam.
Tulisan ini diolah oleh redaksi dari tulisan sebelumnya.