Sabtu (8/8) lalu, aksi kebiadaban dan anarkisme kembali ditampilkan oleh kelompok Islamis radikal lewat sebuah penyerangan di Solo. Kejadian ini nampaknya menjadi pengingat bagi kita bahwa selama kelompok pro-kekerasan masih bergerak, jangan pernah bayangkan kedamaian di Indonesia terjadi. Ini hanya puncak dari gunung es, tentu harus kita sikapi dengan sungguh-sungguh.
Aksi memprihatinkan itu dilakukan oleh sekelompok massa yang disebut sebagai kelompok laskar. Mereka menyerang sebuah keluarga keturuan Arab, keluarga almarhum Habib Segaf al-Jufri yang sedang menyelenggarakan acara midodareni, atau acara doa sebelum pernikahan.
Ironisnya, kelompok semacam ini justru kebanyakan mentarget sesama Muslim, kasus kali ini targetnya adalah keluarga Habib. Mereka menuduh keluarga Habib keturunan Arab ini sebagai pemeluk Syiah yang layak dimusnahkan. Bagi kaum radikal, Syiah sama saja dengan kafir, dan kafir halal darahnya.
Laskar ini datang sejak sore hari dan memaksa keluarga Habib untuk membubarkan acara tersebut. Kelompok radikalis ini bahkan sempat menghentikan tiga orang keluarga yang sedang lewat menggunakan sepeda motor untuk dikeroyok dan dipukuli. Kepala korban dipukul dengan batu dan perut mereka diinjak-injak. Tiga mobil undangan pun tidak lepas dari aksi anarkisme mereka. Kapolresta Surakarta yang berusaha menghentikan kekerasan tersebut, kabarnya juga kena pukul oleh kelompok laskar tersebut.
Ada dua versi yang muncul sebagai motif penyerangan terhadap keluarga Habib Segaf al-Jufri ini. Pertama, yang menganggap acara midodareni ini tidak sesuai dengan syariat Islam. Kedua, yang menuduh keluarga Segaf al-Jufri mengadakan acara perayaan keagamaan Syiah, Idul Gadhir.
Namun, apapun alasannya, yang jelas itu sudah cukup untuk membuat mereka merasa boleh melakukan tindakan kekerasan. Lagi-lagi, takbir bergema diteriakkan untuk membakar semangat. Mereka meneriakkan nama Allah sembari mengancam membunuh peserta acara. Mereka mengatakan bahwa Syiah adalah musuh Islam, dan darah orang Syiah halal. Jika saja polisi tidak hadir untuk melindungi keluarga korban, bisa saja sebagian sudah dihabisi nyawanya.
Penyerangan di Solo ini kembali menunjukkan level kebiadaban yang bisa dilakukan oleh kaum Islamis Radikalis. Bagi mereka, kekerasan adalah hal lumrah. Obsesi menjadi mujahid perang sangat melekat dalam pikiran mereka. Membunuh dan menyiksa orang yang berbeda keyakinan dinilai bukanlah sebuah kejahatan bagi mereka, bisa jadi justru sebuah kewajiban. Karena mereka dididik dengan stigma kebencian terhadap lawan ideologi mereka.
Kita bisa melihat fenomena kekerasan oleh kaum Islamis Radikal itu di dunia Internasional dan di dalam negeri. Tindakan laskar tersebut bukan sebuah pengecualian, karena aksi seperti itu sudah berulang kali terjadi. Ini adalah masalah serius yang tiada henti menimpa kita. Bagaimana tidak, mereka membawa nama Islam untuk melegitimasi aksi-aksi biadab. Bukankah itu sama saja dengan menista Islam.
Menteri Agama dan MUI harus tegas dalam menyikapi fenomena seperti ini. Bermain aman karena takut salah bicara bukan solusi nyata untuk menghapus segala tindakan terorisme yang menjadi ancaman riil bangsa ini.
Apalagi penyerangan ini terjadi di Solo. Meski dikenal sebagai “kandang banteng” dan kota asal presiden Jokowi, Solo sering disebut sebagai salah satu rumah konsolidasi gerakan Islam radikal di Indonesia.
Salah satu tokoh dari Solo yang terkenal adalah Abu Bakar Ba’asyir yang saat ini masih mendekam di penjara karena keterlibatannya dalam aksi teror bom. Ia mendirikan pesantren al-Mukmin Ngruki di sana dan mendirikan Jamaah Anshorut Tauhid dan Majelis Mujahidin Indonesia. Ba’asyir juga dikenal sebagai pendukung Osama bin Laden dan ISIS. Sebagian dari pelaku bom bali 2002 juga berjejaring dengan pesantren ini.
Ada juga penduduk Solo bernama Bahrun Naim yang diklaim sebagai koordinator ISIS untuk kawasan Asia tenggara. Kelompok Naim dianggap sebagai kelompok yang paling terorganisir untuk melakukan aksi teror. Pada tahun 2014, didirikan sebuah forum pendukung ISIS di Solo yang diprakarsai oleh seorang dosen salah satu Universitas Islam, Amir Mahmud. Tujuannya, mengakomodasi pengembangan gerakan jihad di Indonesia. Pertemuan pertama forum ini bahkan dihadiri oleh lebih dari 2000 orang di sebuah masjid di Solo.
Ada juga kelompok semacam polisi syariah yang menamakan diri Tim Hisbah atau LUIS, yang berisi kumpulan pemuda di Solo. Mereka melakukan razia terhadap kafe-kafe dan tempat-tempat hiburan malam. Di bulan Juni lalu, sempat ada kasus yaitu pembacokan berkali-kali oleh seorang tak dikenal terhadap salah satu anggota polsek Karanganyar. Seorang yang tak dikenal itu kemudian dikonfirmasi sebagai mantan terpidana kasus terorisme. Pelaku akhirnya ditembak dan tewas saat perjalanan ke rumah sakit.
Di Solo, ada juga Dewan Syariah Kota Surakarta (DSKS) yang mulai dikenal ketika Ustad Mu’inudillah, ketuanya, mengatakan bahwa pemilu 2019 merupakan perang ideologi antara Pancasila dan Khilafah. Ia secara terang-terangan menyatakan dukungan pada Prabowo-Sandi. Ia juga mempunyai dua saudara yang terlibat aksi terorisme, dan salah satunya dikenal sebagai seorang algojo ISIS yang tewas di Syuriah.
Nama DSKS kembali mencuat ketika Desember 2019 lalu para pemuda laskarnya terlibat bentrok dengan para pemuda Nahdlatul Ulama (NU). Dan beberapa hari lalu, DSKS kembali santer diberitakan karena mempersoalkan logo HUT RI ke-75 yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. DSKS menganggap, logo tersebut mirip dengan salib, dan salib identik dengan Kristen. Tentu, kita sepakat bahwa itu hanya mengada-ngada. Bagi DSKS, permasalahan logo tersebut nampaknya tidak lebih penting dari membangun narasi bahwa Indonesia dikuasai kaum kafir, dan itu harus dilawan.
Oleh karena itu, penyerangan terhadap keluarga Habib Segaf al-Jufri ini jangan dilihat sebagai hal sepele yang berdiri sendiri. Ini merupakan bagian dari sebuah gerakan terorganisir untuk menghabisi siapapun yang dianggap berbeda dengan gerakan para Islamis radikal. Hal itu bisa dilihat dari permasalahan salib di logo HUT RI, acara midodareni, dan tentu soal kehadiran kaum kafir di Indonesia.
Penyerangan di Solo seolah memberikan contoh bahwa ketika gagasan-gagasan sempit semacam itu ditoleransi dan tidak mendapat tindakan tegas dari pemerintah, ia bisa menjadi buas dan tak terkendali menghabisi lawan-lawannya.
Polisi sangat berperan dalam upaya menangkal tindakan-tindakan anarkis yang disebabkan oleh para Islamis radikal ini. Pemerintah, khususnya menteri agama, harus mengeluarkan pernyataan keras yang menghujam terhadap mereka. Dan yang sama pentingnya, MUI juga harus bersikap tegas. Jika MUI tinggal diam, orang akan menganggap bahwa MUI akan memaklumi atau membenarkan aksi biadab tersebut.
Kita sebagai warga negara yang baik harus bagaimana? Tentu kita juga tidak bisa tinggal diam. Kita harus terus melawan dengan beragama sesuai akal sehat. Bukan justru mengakali agama untuk kepentingan yang tidak sehat. Orang-orang sempit itu mungkin hanya memiliki sedikit wawasan keberagamaan karena terlalu inklusif. Kunci dari perdamaian antar perbedaan adalah komunikasi antar golongan. Maka, jangan persempit domain sosial kita agar mampu memahami orang lain yang berbeda dengan kita.
Wallahu a’lam bisshawab..