Memahami Radikalisme Islam (Bagian 1)

Memahami Radikalisme Islam (Bagian 1)

Sikap radikal adalah sikap yang mengakar seakar-akarnya. Tetapi, mengapa kita malah kerap merasakannya sebagai masalah?

Memahami Radikalisme Islam (Bagian 1)

Apa sebenarnya radikalisme Islam? Apakah itu sebuah masalah? Bukankah berislam semestinya memang harus radikal?

Kita kerap mendengar –atau bahkan terlibat—dalam perdebatan yang kedua tersebut. Bentuk pengertian yang kita bangun terhadap pertanyaan kedua tersebut akan menisbatkan bentuk jawaban langsung kepada pertanyaan pertama. Karenanya, menerangkan soal kedua lebih utama.

Berislam memang seyogianya radikal. Ya, betul. Saya tidak sedang salah ketik, kok. Sebab sikap radikal adalah sikap berkedalaman, intensif, hingga ke akar-akarnya, dan seolah tak menyisakan ruang lagi untuk ditelisik. Sikap begini jelas tercermin langsung pada saat kita mengucap syahadat: ungkapan iman dalam hati dan lisan. Tanpa sikap radikal tersebut, niscaya keimanan dan keislaman kita hanyalah kesemuan belaka.

Orang shalat diperintahkan untuk khusyuk. Jaminan buahnya ialah “tercegah dari perbuatan keji dan mungkar”. Mengapa ada orang yang juara banget shalatnya, on time, ‘ala waqtiha, rajin pula berjamaah di masjid, tetapi koruptor? Atau, yang bersangkutan adalah pengguna jasa seksual online. Mengapa?

Jelas itu akibat shalatnya tidak radikal. Akibatnya lagi, ia gagal menjejakkan nilai-nilai prinsip kesalehan dalam hidupnya.

Dan, mengapa pula ada orang yang rajin sedekah, tetapi gemar juga menilap uang-uang yang tidak jelas juntrungnya?

Bukankah jika mengikuti salah satu nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah, mukmin itu bukan hanya berhati-hati kepada hal-hal subhat (apalagi haram), bahkan kepada hal-hal halal pun ia menjaga diri agar tak melampaui batas. Sebab segala yang melampaui batas itu madharat. Dan segala yang madharat jelas bertentangan dengan syariat Islam. Sementara menegakkan syariat dengan istiqamah dan hakiki adalah jalan pertama bagi tergapainya musyahadah kepada Allah Swt.

Ringkasnya, “tidak ada makrifat tanpa syariat,” begitu dawuh beliau.

Lalu, sampel terakhir, sebaliknya, mengapa ada pula orang yang bukan hanya berislam secara ritual syariat, bahkan merembes hingga kepada tata cara hidup dan berpakaiannya, namun ia bisa bersikap buruk, negatif, nista, yang mencerminkan keangkuhan-keangkuhan kepada liyan?

Kita saksikan dengan sangat mudah tebaran tudingan kofar-kafir kepada orang lain di sosial media. Yang berbeda dengannya dihujat begitu entengnya. Padahal menuding begitu kepada liyan konsekuensinya sangat berat: salah satunya pasti kafir.

Sang penuding, logisnya, mesti bertanya dengan mendalam pada dirinya sendiri: apa dasar tak terbantahkan untuk meyakini tanpa sedikit pun peluang salah atas tudingan tersebut kepada orang lain? Tentu ini kerawanan yang sangat nyaris mutlak. Kerawanan untuk malah tertimpa kepada dirinya sendiri julukan kafir tersebut, sebab dapat dipastikan bahwa kita tak pernah benar-benar tahu dimensi rohaniah, batiniah, orang lain.

Itu semua segelintir tamsil belaka bagi problematika berislam dengan tidak radikal. Sikap radikal, sekali lagi, adalah sikap yang mengakar seakar-akarnya. Jika Anda hendak tahu ayat-ayat yang secara esensial menisbatkan hal prinsip begini, Anda tak perlu jauh-jauh membuka halaman al-Qur’an yang tebal. Tepat di awal-awal surat al-Baqarah, Anda akan langsung menemukannya: dzalikal kitābu lā raiba fīhi hudan lil muttaqīn….

Mau yang lain? Satu ini saja, ya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harta dan anak-anakmu membuatmu berpaling dari dzikruLlah….” Cukup, ya. Khazanah hadis bisa Anda kulik sendiri. Googling saja pasti langsung dapat.

Atas dasar pengertian yang sesuai dengan definisi umum bahasa kita terhadap lema radikal tersebut, maka jawaban atas soal pertama menjadi clear: tidak ada masalah.

Tetapi, mengapa kita malah kerap merasakannya sebagai masalah? Dan nyatanya kita sering betul menuai ungkapan-ungkapan dan sikap-sikap yang mengilukan serta meresahkan dari orang-orang yang nampak berislam dengan radikal? Tegasnya, mengapa sikap radikal justru menjadi anomali: dari kemendalaman sikap, prinsip, dan nilai-nilai menjadi sikap-sikap ekstrem dan bermasalah secara kemanusiaan?

Bersambung….