Penolakan ceramah Ustaz Hanan Attaki di Masjid Al-Muttaqien, Desa Laden, Pamekasan, Jawa Timur, semakin menegaskan bahwa provinsi paling timur di pulau Jawa itu layak dilabeli sebagai provinsi paling intoleran di Indonesia. Peristiwa penolakan yang dilakukan oleh Banser NU setempat itu terjadi pada Minggu (12/2) lalu.
Sebagaimana diketahui, Setara Institute for Democracy and Peace menyetempel Jawa Timur sebagai provinsi paling intoleran. Laporannya sudah terbit di akhir Januari tahun 2023. Setara mencatat, tren pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) yang paling sering terjadi di Jatim sepanjang tahun 2022 adalah soal penolakan ceramah. Tampaknya, jika melihat sikap Banser NU di Pamekasan, tren itu masih akan berlanjut di tahun ini.
Ada banyak aspek yang berbenturan dari fenomena penolakan ceramah semacam yang dialami oleh Ustaz Hanan Attaki. Tentu, kejadian seperti itu sangat bertentangan dengan prinsip Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang menjadi semangat Republik ini pasca reformasi.
Peristiwa yang terjadi di Pamekasan, serta kejadian-kejadian serupa, dalam perspektif negara demokrasi justru memunggungi semangat dua Undang-undang sekaligus. Undang-undang yang dimaksud yaitu Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 tentang jaminan perlindungan hak kebebasan menyampaikan pendapat dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 tentang kemerdekaan untuk memeluk dan mengekspresikan kepercayaannya.
Walau demikian, dalih tersebut tampaknya tidak berlaku bagi Banser NU Pamekasan. Bagi mereka, salah satu alasan penolakan pengajian Ustaz Hanan Attaki tempo hari adalah karena dikhawatirkan memecah dan merusak kerukunan maupun kekeluargaan antar masyarakat yang ada.
Walau bagaimanapun, alasan ini memiliki dasar hukum. Dalam rumusan Pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 dan Pasal 18 ICCPR disebutkan bahwa Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.
DUHAM dan ICCPR merupakan konvensi HAM internasional yang diratifikasi oleh Indonesia. Artinya, Indonesia harus sepakat dengan rumusan-rumusan konvensi itu, termasuk muatan dalam Pasal 18. Banser NU bisa mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah ejawantah dari kebolehan “pembatasan” itu.
Namun, ada beberapa catatan kritis yang perlu diperhatikan dalam rangka “membatasi” ekspresi keagamaan. Pertama, pembatasan itu hanya bisa diberlakukan secara terbatas pada forum eksternum, sementara untuk forum internum mengenai hak untuk memiliki, memilih, berganti atau meninggalkan suatu agama atau kepercayaan adalah hak yang mutlak. Maka tidak dapat dibatasi oleh negara.
Sedangkan, wilayah eksternum berarti wilayah tempat manifestasi agama atau keyakinan seseorang ke ruang publik. Artinya, jika seseorang mengekspresikan paham agamanya di ruang publik dan dalam rangka untuk mempengaruhi opini khalayak, maka ia bisa dikatakan berada dalam forum eksternum, dan dalam batasan tertentu, pergerakannya bisa dibatasi.
Kedua, pihak yang paling otoritatif untuk melakukan “pembatasan” ekspresi keagamaan sebetulnya adalah negara, bukan rakyat sipil. Argumen ini sejalan dengan hukum HAM internasional yang menyatakan bahwa segala bentuk pembatasan harus diatur dengan hukum.
Peran negara untuk menentukan “pembatasan” ini berfungsi untuk melindungi esensi dari “pembatasan” itu sendiri. Dalam posisi ini, negara diasumsikan menjadi pihak yang netral dalam mendefinisikan dan menentukan apa yang menjadi ancaman ketertiban dan moral masyarakat setempat. Hal ini penting karena membatasi KBB dengan maksud melindungi hak serta kebebasan orang lain berbeda dengan melindungi kepentingan sebagian kelompok.
Contoh kasusnya begini, di sebuah kota ada enam komunitas agama yang berbeda, masing-masing memiliki rumah ibadah dan menimbulkan kebisingan yang tidak disukai oleh penduduk di sekitarnya, tetapi polisi hanya menerima keluhan dari salah satu kelompok saja. Kebisingan dengan level tertinggi tentu tidak baik bagi kesehatan publik dan karenanya itu adalah alasan yang sah untuk melakukan pembatasan.
Jadi, apa yang kudu dilakukan pemerintah setempat? regulasi seperti apa yang diperlukan?
Dalam kasus ini, suatu aturan umum yang mengatur volume suara yang diizinkan dalam pertemuan publik dapat dibuat. Suatu aturan yang berlaku setara bagi semua kelompok agama dan kelompok lainnya. Jika ada yang melebihi volume yang diizinkan, maka layak diminta untuk mengurangi atau akan dikenai sanksi. Menjadi tidak proporsional jika mereka diminta tidak menggunakan suara sama sekali atau melarang mereka untuk melaksanakan pertemuan apapun. Polisi seharusnya menerapkan ini secara merata, bahkan jika aduan itu datang dari salah satu kelompok minoritas terhadap yang mayoritas.
Sampai titik ini, sekali lagi, negara tidak boleh melakukan pembatasan pada forum internum. Negara, sebagai entitas yang berdaulat atas ruang publik, hanya dapat melakukan intervensi pada forum eksternum, yaitu ketika manifestasi beragama dan berkeyakinan telah meninggalkan domain privat dan berada pada domain publik.
Seringkali, alasan yang sah untuk pembatasan KBB bersinggungan dengan ketertiban dan moral masyarakat. Ada kasus-kasus di mana orang tersinggung karena ekspresi keagamaan yang dilakukan secara damai dianggap sebagai bentuk penodaan agama, ancaman, atau hasutan sehingga menimbulkan respons kekerasan. Persis seperti kasus penolakan Hanan Attaki ini.
Ceramah Hanan Attaki dicekal dengan alasan yang sah terkait dengan ketertiban masyarakat dan untuk menghindari kerusuhan massa. Berdasarkan perspektif HAM internasional, penolakan di Pamekasan itu jelas tidak bisa dibenarkan. Kita bisa melihat Banser NU berada di persimpangan kepentingan yang sangat samar, antara melindungi ketertiban atau melindungi eksistensi kelompoknya. Garis batas yang nyaris transparan itu menjadi alasan mengapa peran negara yang netral perlu dalam kasus-kasus seperti ini.
Di Indonesia, regulasi soal “pembatasan” ekspresi keagamaan itu diterjemahkan dalam bentuk UU Nomor 1/PNPS/1965. Meskipun masih diperdebatkan, ada beberapa poin pokok yang bisa menjadi referensi masyarakat dalam mendefinisikan ketertiban, misalnya ceramah yang bermuatan ujaran kebencian, sekte keagamaan baru yang menyimpang dari ideologi dominan, dan sebagainya. Intinya, masyarakat sipil atau organisasi masyarakat tidak seharusnya mudah mengeksklusi paham di luar keyakinannya, sebab itu sudah termasuk dalam gejala intoleran.
Sebagai representasi dari Nahdlatul Ulama yang mengusung semangat inklusif dan moderat, pencekalan terhadap ekspresi kegamaan oleh Banser di Pamekasan harusnya tidak terjadi. Sikap yang brutal hanya akan mencitrakan NU sebagai ormas yang eksklusif dan semena-mena. Tidak bermaksud menggeneralisir. Namun faktanya, gejala intoleransi itu masih marak di wilayah dominan NU.
Menyeleksi narasumber keagamaan atau penceramah Islam bukanlah hal yang salah. Namun, semangat kemanusiaan dan sikap moderat harus diutamakan agar tidak terjebak dalam spirit “tribal” di mana orientasinya hanya melindungi kepentingan kelompoknya semata.