Jawa Timur Provinsi Paling Intoleran dan Catatan Kecil Untuk Nahdlatul Ulama

Jawa Timur Provinsi Paling Intoleran dan Catatan Kecil Untuk Nahdlatul Ulama

Setara Institute for Democracy and Peace mempublikasi laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia periode tahun 2022 pada akhir Januari (31/1). Laporan itu, salah satunya, menunjukkan Jawa Timur sebagai provinsi paling intoleran nomor satu di Indonesia yang sebelumnya diduduki oleh Jawa Barat pada 2021.

Jawa Timur Provinsi Paling Intoleran dan Catatan Kecil Untuk Nahdlatul Ulama
Gubernur Khofifah Indar Parawansa saat menyampaikan sambutan pada acara pembukaan Tunas Gusdurian 2022, Jum’at (14/10). Foto: @GUSDURians

Setara Institute for Democracy and Peace mempublikasi laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia periode tahun 2022 pada akhir Januari (31/1). Laporan itu, salah satunya, menunjukkan Jawa Timur sebagai provinsi paling intoleran nomor satu di Indonesia yang sebelumnya diduduki oleh Jawa Barat pada 2021.

Catatan itu menunjukkan empat tren pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi sepanjang tahun 2022 di Jawa Timur; yaitu penolakan ceramah (8 peristiwa), penolakan pendirian tempat ibadah (6 peristiwa), kebijakan diskriminatif (4 peristiwa), dan pelaporan penodaan agama (3 peristiwa). Seperti yang telah disebutkan, temuan tersebut membuat Jawa Timur menggeser posisi Jawa Barat yang sebelumnya selalu menjadi provinsi dengan jumlah pelanggaran KBB terbanyak sejak 2007.

Secara umum, peneliti Setara Institute, Syera Anggreini Buntara mengatakan tren pertama adalah terus naiknya kasus gangguan terhadap tempat ibadah yang sangat signifikan. “Dari 16 kasus di tahun 2017 menjadi 50 kasus di tahun 2022. “Artinya ada 50 tempat ibadah di tahun 2022 yang mengalami gangguan,” ujar Syera, seperti yang dilansir VOA Indonesia. Setara Institute mendefinisikan gangguan terhadap rumah ibadah sebagai tindakan menolak pendirian rumah ibadah, perusakan rumah ibadah, pembongkaran rumah ibadah, dan perusakan fasilitas di rumah ibadah.

Secara umum, dari 50 rumah ibadah yang mengalami gangguan tahun lalu, paling banyak adalah gereja Protestan dan Katolik (21 unit), masjid (16), wihara (6), musala (4), pura (2), dan rumah ibadah penghayat (1). Delapan diantaranya terjadi di Jawa Timur pada tahun 2022. Di Jawa Timur, gangguan terhadap rumah itu misalnya ditampilkan melalui penolakan warga Lumajang terhadap pembangunan gereja di sana. Kemudian juga demonstrasi sebagian warga NU untuk menolak pembangunan masjid Muhammadiyah di Banyuwangi.

Tren kedua adalah jumlah kasus penolakan ceramah yang mengalami peningkatan yang sangat pesat. Tahun-tahun sebelumnya hanya satu peristiwa sedangkan pada 2022 terjadi 14 peristiwa. Dari 14 kasus, delapan peristiwa terjadi di Jawa Timur. Penolakan ini, misalnya, terjadi ketika MUI Jatim menolak kehadiran penceramah Hanan Attaki. Nama terakhir diberitakan ditolak di empat lokasi di Jawa Timur.  Ada pula penolakan ceramah Abdul Somad oleh ratusan santri di Madura. Penolakan itu didasarkan pada pandangan masyarakat umum di sana yaitu soal (penceramah) ekstrem, radikal, dan eksklusif.

Menurut riset Setara, terdapat dua faktor utama yang menjadi pendorong masifnya pelanggaran KBB di Jawa Timur, yaitu kuatnya stigma terhadap tradisi agama leluhur dan kuatnya organisasi Nahdlatul Ulama di Jawa Timur. Sementara itu, pergeseran posisi Jawa Barat dari peringkat satu di peringkat satu dilatarbelakangi oleh tidak aktifnya organisasi Front Pembela Islam (FPI).

Secara keseluruhan, menurut Syera, terdapat 175 peristiwa pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) dengan 333 tindakan sepanjang 2022. Angka ini berselisih tipis dengan temuan peristiwa pada 2021, yakni 171 peristiwa KBB dengan 318 tindakan. Dari 333 tindakan pelanggaran tersebut, 168 dilakukan oleh aktor negara (state actors), paling banyak diperbuat oleh pemerintah daerah (47 tindakan), kepolisian (23 tindakan), Satpol-PP (17 tindakan), institusi pendidikan negeri (14 tindakan), dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) (7 tindakan). Sedangkan 165 pelanggaran lainnya dilakoni oleh aktor non-negara (non-state actors), paling banyak dilakukan oleh warga (94 tindakan), individu (30 tindakan), ormas keagamaan (16 tindakan), Majelis Ulama Indonesia (16 tindakan), dan Forum Kerukunan Umat Beragama (10 tindakan).

Korban terbanyak dari pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah individu (41 peristiwa), warga (34 peristiwa), penganut Protestan (30 peristiwa), pengusaha (19 peristiwa), umat Islam (14 peristiwa), pelajar (13 peristiwa), umat Buddha (7 peristiwa), Jamaah Ahmadiyah (6 peristiwa), penganut aliran penghayat (6 peristiwa), Syiah (3 peristiwa), Hindu (3 peristiwa), dan pemeluk Katolik (3 peristiwa).

Faktor signifikan yang menjadi alasan pelanggaran KBB yang terus langgeng, atau meningkat, adalah kepemimpinan kepala daerah yang tidak tegas menindak sikap intoleran. Menurut Syera, kepala daerah cenderung tunduk terhadap tekanan massa yang menuntut sebuah aksi intoleran tertentu. Alih-alih mengelola keragaman di wilayahnya, ketidaktegasan pemimpin ini justru menjadi justifikasi terhadap diskriminasi. Misalnya, ketika Wali Kota Cilegon Helldy Agustian dan Wakil Wali Kota Sanuji Pentamarta ikut menandatangani penolakan rencana pendirian Gereja HKBP Maranatha di Cikuasa, Gerem, Kota Cilegon pada September tahun lalu.

Ada catatan menarik yang bisa diambil dari temuan Setara Institute. Turunnya Jawa Barat ke peringkat dua sebagian besar disebabkan oleh hilangnya peran FPI. Seperti yang lumrah diketahui, sebelum dibubarkan, FPI menyumbang sebagian besar tindak intoleransi di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Sedangkan naiknya Jawa Timur ke peringkat pertama juga disebabkan, salah satunya, oleh dominasi Nahdlatul Ulama. Catatan ini bukan menyimpulkan bahwa NU berperan menyumbang aksi intoleransi di Jawa Timur. Namun sebagai bahan evaluasi bagi internal NU, di Jawa Timur khususnya, untuk menetralisir segala bentuk fanatisme.

Fanatisme ini terlihat, misalnya, ketika beberapa oknum NU menolak hadirnya penceramah yang terindikasi radikal, seperti Abdul Somad atau Hanan Attaki. Atau sikap penolakan pembangunan masjid Muhammadiyah di Banyuwangi . Dalam hemat saya, sikap tersebut sudah menujukkan sikap eksklusif, yaitu tidak menerima (menutup diri dari) pemahaman lain di luar kelompoknya. Sikap ini persis dimiliki oleh FPI yang menolak hadirnya diskusi ragam penafsiran agama di luar kelompoknya.

Tentu, NU tidak boleh menjadi “FPI” nya Jawa Timur. Sikap fanatik itu tentu bukan bagian dari semangat Islam moderat yang selama ini menjadi nafas Nahdlatul Ulama. Perayaan Hari lahir (harlah) 1 Abad Nahdlatul Ulama bisa menjadi momentum untuk mengevaluasi catatan-catatan kecil ini. Berangkat dari tema harlah “Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru”, NU harus semakin berkomitmen untuk menjadi agen perdamaian dan kesejahteraan sosial. Berdasar temuan ini, NU bisa berbenah, terutama di kalangan regional, untuk terus menyebarkan semangat inklusif, bukan eksklusif. Oleh karena Jawa Timur sangat lekat dengan NU, maka NU juga lah yang paling bisa mentransformasi Jawa Timur menjadi provinsi paling toleran di Indonesia.