Sesungguhnya saya malas sekali menulis ini. Semakin dikomentari, fenomena golput semakin dianggap penting. Padahal fenomena ini pada dasarnya hanyalah sejenis intelektualisme urban.
Mereka yang suka berkoar-koar akan golput umumnya adalah orang sekolahan di perkotaan. Bacaan politik mereka lumayan, tetapi biasanya hanya mentok dalam pikiran. Pengalaman berorganisasinya adalah LSM, bukan gerakan sosial. Medan perjuangannya adalah workshop atau pelatihan menulis ini dan itu, bukan rapat akbar yang melibatkan ribuan orang.
Karena bacaan poltiknya lumayan, mereka fasih berbicara mengenai ideal demokrasi, seharusnya ini seharusnya itu. Karena umumnya juga berasal dari kelas menengah yang mampu berlangganan internet dan TV kabel, mereka fasih membandingkan debat capres di sini kurang menarik dibanding debat capres di sana. Pokoknya mereka mengesankan diri sebagai manusia yang paling mengerti dunia.
Akan tetapi, intelektualisme urban adalah fenomena pinggiran. Di tengah dunia yang semakin religius, mereka bertahan meyakini adanya suatu otonomi manusia yang rasional. Mereka tidak suka kerumuman, tetapi juga takut sendirian. Mereka gamang.
Para pengasong intelektualisme urban sebenarnya suka berpolitik, tetapi mereka hanya mau menggunakan tiket terusan. Dengan modal kutipan teori moral mereka ingin berkontribusi pada publik, tetapi mereka ogah belepotan karenanya.
Namun untunglah ada media sosial. Dengan ini mereka bisa membaca ocehannya sendiri, lalu merasa dirinya penting. Istilah yang lebih jujur untuk menggambarkan fenomena ini adalah onani atau masturbasi.