Belakangan nama ustad Basalamah kembali akrab di telinga saya. Bukan karena banyaknya orang yang pro dan kontra pada pembubaran pengajiannya, tetapi karena adanya cuplikan video berdurasi 6 menit 47 detik yang menyinggung almamater saya. Beberapa grup ramai membincangkan ucapan si ustad, termasuk wacana untuk melalukan somasi terhadapnya.
Si ustad, dalam video tersebut, memulai ceramahnya dengan menceritakan pengalaman pahitnya sepuluh tahun yang lalu saat mendaftarkan diri di program doktoral (S3). Singkat cerita, si ustad mendapat kesulitan saat mendaftar, tepatnya ketika akan mengikuti ujian. Jauh-jauh dari Makassar, ia justru mendapat kabar jika ujiannya dipercepat. Ia berusaha mencari penjelasan tetapi nihil. Walhasil dia pun mengontak sahabat lamanya saat belajar di Timur Tengah (yang kini jadi dosen di universitas sebelah) dan si teman justru menyuruhnya bersyukur karena ia tidak jadi masuk ke kampus sarang Islam liberal.
Anehnya pula, si ustad mengaitkan bahwa jenggot yang nglewer di janggutnya adalah penyebab utama dia tidak diterima di kampus ini. Saya pun tidak habis pikir, kenapa seorang dosen sepertinya masih saja punya pendapat seperti itu. Apakah itu bentuk ketidakpede-annya? Saya tidak mau menebak terlalu jauh. Yang jelas, selama jadi mahasiswa aktif di kampus tersebut, saya menjumpai banyak orang yang penampilannya sama dengan si ustad. Jenggot panjang, peci putih, celana anti-isbal dll. Di kalangan putri, saya biasa melihat mereka bercadar dan melakukan kajian di emperan masjid.
Pertama-tama saya ingin berkomentar tentang tuduhan UIN sebagai sarang Islam liberal yang belajar tentang Islam dari para orientalis di Kanada. Memang betul di kampus kami terdapat Canadian Corner yang berafiliasi dengan kampus McGill di Kanada. Tapi keberadaannya bukan untuk memojokkan Islam, apalagi merusak Islam dari dalam. Lha wong isinya buku-buku berbahasa Inggris, beberapa majalah dan pernak pernik yang langsung didatangkan dari Kanada. Tujuannya semata-mata untuk kepentingan pendidikan. Jika ustad tidak percaya, silakan bertabayun.
Beberapa profesor di kampus kami lulusan salah satu kampus prestisius tersebut. Rektor kami saat ini, Bapak Yudian Wahyudi, adalah salah satu orang yang membuka jendela Islam di kampus tersebut. Jadi tuduhan para dosen kami belajar dari orientalis dengan tujuan yang buruk pada agama ini tentu sebuah tuduhan yang menyakitkan. Justru para dosen kami berusaha membumikan Islam di negara yang belum begitu mengenal Islam, atau mengenal tapi yang buruk-buruknya saja. Terutama setelah peristiwa 9/11, banyak alumni 212 kampus kami yang mendapat kesempatan belajar di sana meyakinkan orang-orang bahwa Islam bukanlah agama teroris. Justru Islam adalah agama yang bisa membawa perubahan besar bagi kehidupan ini melalui nilai-nilai universalnya yang tidak lekang oleh waktu. Istilahnya Islam rahmatan lil’alamin.
Mengenai Islam liberal, sebenarnya apa itu Islam liberal? Apakah jika ada Islam yang berbeda dengan pemahaman ustad otomatis disebut sebagai liberal? Sampai-sampai di satu statementnya, si ustad mengatakan ada akademisi kami yang berpendapat semua agama sama. Semua, tidak hanya Islam, bisa masuk surga. Jika benar ada, mbok ya monggo disebut namanya. Soalnya hampir empat tahun di kampus tersebut saya tidak menemukan satu pun dosen, baik yang bergelar magister, doktor, hingga profesor, yang punya pendapat demikian. Jika berpendapat menghormati umat agama lain tentu iya. Lha ini kan ajaran kanjeng Nabi. Nabi kita sama, tho?Di Al-Quran pun ada dalilnya.
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Qs al-An’am : 108)
Justru ceramah ustad yang menyinggung ibadah agama lain yang katanya enak bisa masuk surga hanya dengan bernyanyi-nyanyi seminggu sekali, itu bukan ajaran kanjeng Nabi Muhammad SAW. Biarlah Allah SWT yang membuka hati kita semua. Tak perlu nyinyir dengan cara orang mendekati Dzat Yang Maha Agung. Jika dianggap tidak tepat, mari dirangkul, bukan dipukul.
Lalu soal diolok-oloknya orang yang masih sholat. Please, deh. Apa saya harus menyajikan data bahwa ada lebih dari 20 masjid dan mushala di UIN Sunan Kalijaga? Semua fakultas memiliki fasilitas mushala. Di perpus bahkan setiap lantai ada mushalanya. Juga di gedung-gedung lainnya. Saya pernah masuk di ruang dekanat dan di sana ruangannya ada sajadah yang tergelar, tanda baru saja digunakan untuk sholat. ‘Lha itu kan dosen, bukan mahasiswa?’
Baik. Simak baik-baik. Selama empat tahun saya di UIN, saya mengikuti banyak Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang masing-masing memiliki ruangan di student center atau pun Pusat Pengembangan Teknologi Dakwah. Di semua (catat: semua) ruangan pasti ada sajadah dan mukena yang selalu digunakan saban TOA masjid mengumandangkan azan. Lalu di mana olok-oloknya? Kalau yang dimaksud adalah sebagian kecil orang ya saya masih agak bisa menerima statement ini. Namanya juga ada puluhan ribu orang, ya satu dua mungkin ada yang punya kelakuan seperti itu (walau saya belum pernah menjumpainya). Tapi kalau itu jadi labelisasi kampus kami, ya jelas saya gregeten mau menuduh si ustad menyebar hoax.
Faktanya, masjid kampus kami adalah masjid pertama yang menyediakan layanan untuk difabel. Sebab banyak akademisi kami yang meyakini bahwa keterbatasan bukanlah alasan untuk meninggalkan ibadah. Justru hal tersebut menjadi kewajiban para pengampu kebijakan untuk memfasilitasi mereka. Misalnya saja soal kewajiban mendengarkan khotbah Jumat. Salah seorang dosen kami berpendapat para penyandang tunarungu tetap wajib mengetahui materi khotbahnya.
Lha caranya bagaimana? Ya sudah jadi kewajiban bagi takmir masjid menyediakan layanan sibi agar para penyandang tunarungu bisa mendapat materi tersebut. Jika langkah revolusioner semacam ini dikatakan merusak Islam dari dalam, njuk yang seperti apa lagi baru bisa dikatakan mengambil nilai Islam?
Mungkin si ustad bisa berkilah, ‘Inikan cerita teman saya, bukan dari saya. Saya hanya menceritakan saja.’
Jika demikian, sebagai sesama muslim saya yang fakir ilmu ini hanya bisa memberi saran agar sang ustad bertabayun dengan orang-orang di kampus kami. Jangan sampai informasi dari orang yang tidak mengenal kampus kami dari dalam justru digunakan untuk menilai kampus kami secara meyakinkan. Ingat lho bahwa ustad punya banyak massa. Jika yang disampaikan ustad adalah kabar tidak benar, lalu disebarkan oleh pengikutnya kepada yang lain, berarti ada kabar bohong yang telah dilakukan secara berjamaah.
Sebagai informasi saja, dulu di semester awal ada teman saya yang keluar dari kampus gara-gara menggap sesat salah seorang dosen. Saat itu sang dosen mempertanyakan, apakah mushaf itu suci? Ternyata perdebatan mengenai suci tidaknya mushaf itu sudah ada dari zaman dulu. Para ulama di zaman old sudah pernah berdebat hebat mengenai hal ini. Kita di zaman now hanya menyimak dan mendiskusikan serta mengambil hikmahnya saja.
Nah, di UIN, para dosennya hanya berusaha menunjukkan indahnya keberagaman bila saling menghargai alias tidak memaksakan kehendak. Perbedaan di antara umatku adalah rahmat. Bukankah begitu sabda baginda Nabi Muhammad?
Setelah kuliah di UIN saya barutahu bahwa banyak sekali klaim sesat, liberal, syiah, komunis dan lain-lain muncul karena ketidaktahuan. Sayangnya banyak yang nyaman dengan ketidaktahuan dan menganggap apa yang diketahuinya seolah-olah menjadi kebenaran mutlak.Wallahua’lam.