Pemuda zaman now, belajarlah dari teladan kiai-kiai sepuh. Di antara ulama keren yang saya pernah salim wolak-walik, Kiai Sahal Mahfudh dan Kiai Ma’ruf Amin adalah sosok istimewa. Tentu, ada sosok-sosok istimewa lainnya, yang sebagian tidak ingin tampil, dan tidak berkenan ditampilkan, lebih tepatnya mereka “masyhurun fis-sama’, terkenal di seantero langit”.
Kiai Sahal sosok pejuang tangguh, setia pada proses. Dalam sejarah hidup beliau, Kiai Sahal merupakan santri yang gigih belajar, dari pesantren di Jawa hingga belajar langsung kepada Syaikh Yasin al-Fadani, di Makkah. Kiai Sahal meniti karir perjuangan di NU Cabang Pati hingga menjadi Rais ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kiai Sahal juga sosok yang sangat sederhana. Meski, di sekeliling beliau ada limpahan materi, sumber ekonomi dari lembaga keuangan dan usaha produktif yang beliau bangun. Jejaknya sampai sekarang masih kokoh, lembaga ekonominya stabil, unit usahanya produktif. Juga, “sentuhan” tangan dingin beliau sangat terasa sampai sekarang. Kiai Sahal bergerak membangun unit usaha yang mampu mendorong pesantren menjadi mandiri secara ekonomi. Ini yang sangat menarik untuk ditelisik.
Jika sebagian besar sahabat saya, terutama tim Fiqih Sosial Institute/IPMAFA, bergelut dengaan fiqh sosialnya Kiai Sahal. Saya lebih konsentrasi dengan Fiqh Siyasah, yang dibangun dan diwariskan Kiai Sahal. Muaranya tetap sama, dalam bangunan kokoh Fiqh Sosial. Membangun kerangka gagasan fiqh siyasah, ini bagi saya sebagai petualangan.
Kiai Sahal paham betul dengan gagasan Imam al-Mawardi, Imam as-Syatibi, juga ulama-ulama ushul yang selama ini menjadi rujukan gagasan beliau. Untuk ini, bisa dicek di karya-karya Kiai Sahal. Di sisi lain, saya menunggu sahabat-sahabat saya, peneliti kajian keislaman dan akademisi yang konsen pada isu hukum Islam, membangun gagasan Kiai Sahal Mahfudh dalam kerangka ekonomi. Ini penting, agar percikan gagasan Kiai Sahal juga memberi sumbangsih pada ranah finansial. Kiai Sahal sudah membangun gagasan, dan memberi teladan dalam karya nyata.
Generasi selanjutnya, mengkonstruksi gagasan-gagasan itu dalam kerangka ide yang lebih utuh, sekaligus menyentuh perkembangan zaman now, misal di bidang financial technology (fintech), tentang bitcoin, maupun sektor ekonomi syariah internasional. Bagaimana fiqh sosial merespons ini?
Hari Rabu (06/Des/2017) yang lalu, dua guru yang saya hormati ini bertemu. Berpelukan dalam doa dan gagasan. Kiai Ma’ruf Amin berziarah ke maqam Kiai Sahal, di sebelah Sarean Syaikh Mutamakkin. Tentu, ziarah ini bukan pertemuan biasa, ada silaturahmi gagasan di antara keduanya.
“Kiai Sahal itu pemimpin Nahdlatul Ulama dan MUI sebenarnya, saya hanya penerusnya,”ungkap Kiai Ma’ruf Amin. Ada getaran doa, serta deburan rasa di hati saya. Sungguh, akhlak Kiai yang istimewa. Meski, saat ini, Kiai Ma’ruf Amin menjadi ulama yang masyhur, menjadi poros bagi semua golongan, beliau sangat takdzim.
“Kiai Sahal ingin membangun NU dan MUI dengan imamah institusionaliyyah (kepemimpinan institusional/kelembagaan), karena sekarang masih sulit mengharapkan imamah syakhsiyyah (kepemimpinan personal yang kuat),” begitu ungkapan yang menderap di ingatan saya. Intinya, Kiai Sahal dan Kiai Ma’ruf Amin, ingin menjadikan Nahdlatul Ulama dan Majelis Ulama Indonesia sebagai jembatan lintas golongan, sebagai poros antar umat Islam, sekaligus muara bagi saudara-saudara lintas golongan dan agama.
“Sudah saatnya, kita membentuk arus baru ekonomi ummat,” begitu dorongan Kiai Ma’ruf Amin. Gagasan tentang kemandirian ekonomi juga telah menjadi bagian perjuangan Kiai Sahal. Ekonomi ummat menjadi kerangka perjuangan, bagaimana Kiai Sahal mendorong pengusaha kecil skala home industry, menjadi unit usaha yang mandiri dan stabil secara ekonomi. Ini perjuangan yang bukan satu dua hari, tapi bertahun-tahun! Kiai yang berjuang dengan nafas panjang.
Alhamdulillah, saya mendapatkan kesempatan silaturahmi, ziarah dan silatulilmi, dengan para guru panutan. Mendapatkan kesempatan mengaji tentang keteladanan, sekaligus ruang untuk ngalap berkah, merupakan kenikmatan tersendiri. Alhamdulillah, semoga berkah melimpah [Munawir Aziz].