Ini memang pertanyaan yang gampang-gampang susah untuk dijawab. Prinsip pertama yang perlu dipegang adalah memberikan jawaban sesuai dengan tingkat pemahaman anak. Anak dengan usia yang berbeda jelas memerlukan jawaban yang berbeda pula.
Untuk menentukan jawaban yang tepat, orangtua juga perlu menggali lebih lanjut mengapa pertanyaan ini sampai muncul. Apa latar belakangnya. Ini penting karena jangan-jangan penyebabnya adalah hal-hal yang tidak terkait definisi konseptual mengenai setan dalam agama.
Di Indonesia, setan sering digunakan sebagai sosok untuk menakut-nakuti anak demi berbagai keperluan. Misalnya saja untuk mengancam anak agar tidak keluar rumah malam-malam atau tidak pergi ke suatu tempat. Untuk anak di bawah usia tujuh tahun misalnya, respons yang tepat untuk pertanyaan tersebut dalam kondisi semacam ini adalah dengan menenangkan hatinya, misalnya dengan memeluknya atau membaca ayat kursi bersama.
Bila hasil penggalian kita menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan setan adalah makhluk seperti pocong dan kuntilanak di film atau video, kita bisa ceritakan bagaimana proses pembuatan efek khusus yang menghasilkan sosok-sosok menakutkan itu.
Prinsip lain yang paling penting dalam membahas soal setan adalah: tidak menggunakan konsep ini untuk memunculkan rasa takut berlebihan dalam diri anak. Rasa takut memang efektif membungkam pertanyaan atau protes dari anak. Itulah sebabnya setan, pocong, hantu sering menjadi senjata andalan orangtua ketika tidak bisa memberikan alasan yang diterima anak untuk suatu larangan atau perintah. Bukan hanya setan, kadang neraka juga jadi alat untuk memunculkan rasa takut dalam agama.
Baca juga: Perenting Islami, Anakku Bertanya Boleh Nggak Bermain dengan Non-Muslim?
Meski pada kadar tertentu diperlukan, rasa takut yang tertanam terlalu dalam bisa menumpulkan kemampuan berpikir kritis. Padahal di era digital ini kita semakin perlu menumbuhkan kemampuan ini sejak dini. Begitu banyak informasi bersliweran yang perlu kita saring kebenarannya. Rasa takut yang berlebihan bisa memengaruhi kemampuan kita untuk menyaring informasi.
Anak yang lebih besar bisa diajak berdialog lebih konseptual mengenai setan. Kita bisa menggunakan pertanyaan ini sebagai peluang untuk belajar bersama. Ajaklah anak untuk mencari informasi-informasi mengenai setan dan ajari anak cara memilah mana informasi yang dapat dipercaya dan mana yang tidak. Hasil temuan itu lantas didiskusikan bersama.
Tak perlu ada kesimpulan pasti, karena dalam dunia ini, banyak hal memang masih menjadi misteri. Orangtua juga tidak perlu menjadi sosok serbatahu yang selalu siap dengan jawaban. Dengan demikian, anak dapat belajar bahwa setan mungkin memang ada, tapi bukan sosok menakutkan yang tidak bisa dihadapi.