Pancasila di Yugoslovakia

Pancasila di Yugoslovakia

Pancasila di Yugoslovakia

NEGARA besar di wilayah Balkan ini, adalah yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia di Benua Eropa. Surat pengakuan itu dikirim langsung Perdana Menteri Edvard Kardelj pada 1 Februari 1950. Enam tahun berselang, Presiden Sukarno memenuhi undangan kehormatan Josip Broz Tito, mengunjungi negaranya. Dua pejuang besar antipenjajahan Barat pun bersua. Bersahabat erat membangun dunia tanpa blokade. Terbukti dari enam kali kunjungan Bung Karno ke sana sejak 1956, 1958, 1960, 1961, 1963, sampai 1964.

Di antara kunjungan kenegaraan tersebut, terjadilah sebuah dialog legendaris yang kelak direkam dengan baik oleh sejarahwan Serbia hingga hari ini. “My Dear Friend Tito, jika Anda meninggal nanti, bagaimana nasib bangsa Anda? tanya Bung Karno. Tito pun menjawab bangga, “Aku memiliki tentara pemberani dan tangguh untuk melindungi bangsa kami.” Setelah menjawab, Tito balas bertanya pada Bung Karno, “Lalu bagaimana dengan negara Anda sahabatku, Dear Friend Karno?”

Bung Karno menjawab pertanyaan Tito dengan tenang, “Aku tidak khawatir, karena telah kuwariskan Pancasila sebagai jalan hidup bangsa Indonesia.” Secara logis, mestinya lebih mudah mempertahankan keutuhan Yugoslovakia yang masyarakatnya satu etnis—tinimbang Indonesia yang pusparagam. Namun kenyataan berwujud sebaliknya. Yugo bubar jalan pada 1990. Lalu berdirilah Serbia (serta dua daerah otonomnya: Kosovo dan Vojvodina), Montenegro, Kroasia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina, dan Republik Makedonia. Sementara Indonesia, masih jaya hingga hari ini. Apa rahasianya?

Pada 30 September 1960, bersamaan dengan sidang umum PBB ke-15, Presiden Sukarno menyampaikan pidatonya yang masyhur berjudul “To Build the World Anew” (Membangun Tatanan Dunia Baru). Dengan kepercayaan dirinya yang luarbiasa itu, Bung Karno mengajak masyarakat dunia menggunakan Pancasila sebagai adicita negara-bangsa mereka. Sangat masuk akal memang. Sebab sampai hari ini, belum ada satu pun negara yang memiliki landasan pijak sekuat Indonesia.

Kita lah satusatunya bangsa yang tetap menjaga keharmonisan langit-bumi dengan Ketuhanan Hyang Maha Esa (Tauhid [Habluminallah]);
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab (Habluminannaas);
Persatuan Indonesia (Hubb l-Wathan);
Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan (Berdiri sama tinggi, Duduk sama rendah);
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia (Berat sama dipikul, Ringan sama dijinjing).

Merdeka! []

Ren Muhammad, 8 Ramadhan 1438 H