Jakarta, Islami.co – 1000 meter dari Amsterdam Central jubelan orang memadati jalan. Mereka datang bukan untuk belanja dan menghabiskan waktu luang. Di sekitaran Dam Square itu mereka memekik “free free Palestine!! Zionist is Terrorist,” memprotes perang Israel di tanah Gaza, Palestina.
Aksi demonstrasi itu saya kira berlangsung cukup meriah, untuk ukuran hari aktif kerja saat itu (27/05/2024). Polisi huru-hara berseliweran. Menurut berita setempat, 73 orang diamankan karena dianggap terlalu ofensif.
Rupanya, aksi pro-palestina itu merupakan unjuk rasa tandingan terhadap demonstrasi kelompok Protestan pendukung Israel, SGP. Yang menarik adalah dua aksi demontrasi itu hanya berjarak sepelemparan batu, alias berlangsung di tempat dan waktu yang sama.
Sebagai peristiwa sosial, aksi unjuk rasa mungkin telah berlalu. Namun memori publik mencatat bahwa protes terhadap konflik Israel-Palestina akan tetap relevan sejauh korban kemanusiaan terus bertambah.
Salah satu hal yang saya catat dalam aksi itu adalah cerita dari peserta aksi, Alice, yang datang bareng dua temannya bernama Robert dan Laura. Mereka bukan Muslim, secara identitas agama. Tapi mau dibilang Kristen, mereka juga tampak malu-malu.
Dua dari mereka rupanya lebih nyaman mengidentifikasi diri sebagai seorang agnostik, walaupun dalam obrolan singkat itu pasal keyakinan bukan hal inti dalam pembicaraan kami.
Lalu apa yang menggerakan tiga orang Gen Z Belanda itu terlibat dalam aksi solidaritas untuk Palestina?
“Berdasar berbagai informasi yang beredar di media digital saya kira tidak sulit untuk menyimpulkan bahwa kejahatan kemanusiaan telah terjadi di tanah Palestina,” ujar Alice. “Saya lalu membaca banyak buku dan opini di surat kabar untuk tahu lebih jauh.”
“Apa yang bikin kamu merasa bahwa terlibat dalam aksi untuk Palestina ini menjadi penting?” saya menilisik.
“Suara saya dan teman-teman saya mungkin tidak akan mengubah keadaan secara langsung. Tapi saya yakin kehadiran kita di sini, sekarang ini, akan ditangkap oleh kamera wartawan atau, mungkin juga Polisi… haha, sebagai bagian kecil dari kerumunan yang sedang meyuarakan hak-hak orang Palestina untuk merdeka.”
“Merdeka?! saya pikir itu pilihan diksi yang menarik. Jadi kamu pikir ini adalah tentang penjajahan?”
“Tentu saja. Kisah Palestina dari awal hingga saat ini adalah kisah sederhana mengenai kolonialisme dan perampasan, namun dunia memperlakukannya sebagai kisah yang memiliki banyak aspek dan kompleks, seolah sulit untuk dipahami dan bahkan lebih sulit untuk dipecahkan.”
“Pendapatmu bagus sekali, Alice!”
“Terimakasih. Itu saya dapat ketika membaca buku On Palestine yang ditulis Ilan Pappe dan Noam Chomsky.”
Sesaat, percakapan dengan Alice itu mengingatkan saya dengan satu kisah, yang saya dapatkan di Pesantren, ketika Nabi Ibrahim akan dibakar hidup-hidup oleh rezim Namrud.
Seekor burung dikabarkan tetap meneteskan air dari paruhnya, walaupun kena cemooh oleh binatang lain. “Buat apa kau berpayah-payah meneteskan air yang belum tentu bisa memadamkan api yang menyala-nyala?”
“Utamanya memang bukan untuk memadamkan apinya,” kata si burung. “Ini merupakan komitmen moral bahwa saya tidak berpihak kepada orang yang membakar Ibrahim, dan saya berpihak kepada moralitas yang dibawa oleh Ibrahim.”
Isu yang Kompleks?
Sebagai sebuah isu teologis, konflik Israel-Palestina bisa jadi sangat kompleks. Kecerdasan buatan sekelas Gemini saja angkat tangan ketika diminta untuk menjelaskan tentang konflik Israel-Palestina dari sudut pandang agama.
Tapi jika ia dilihat dari perspektif historis dan mungkin juga melibatkan analisis politik, kita akan sedikit mengerti sudut pandang Alice dan kebanyakan warga dunia sekarang ini.
Di media sosial, tidak sulit mencari aksi protes warga Amerika yang cukup lantang mengumpati pejabat publik di depan mukanya. Atau aksi-aksi serupa yang bahkan sampai kemping bermalam-malam untuk memekik Free Palestine!!
Mun’im Sirry, cendekiawan muslim Indonesia yang mengajar di kampus Notre Dame, Amerika, bercerita di sebuah forum bahwa anaknya yang telah lulus SMA sempat ditahan polisi. Pasalnya? Ia menjadi korlap aksi unjuk rasa bela Palestina!!
“Sebagai orang tua saya tentu khawatir ketika diberitahu jika ia ditahan polisi Amerika. Tapi anak saya adalah pembaca Das Kapital, ketika bapaknya mengkaji sejarah al-Quran. Jadi saya memahami kenapa ia sebegitu lantang membela kedaulatan Palestina,” kata Mun’im ketika membedah buku terbarunya berjudul Think Outside the Box.
Tidak semata Isu Agama
Agaknya, Indonesia punya cerita berbeda. Lien Iffah, aktivis muda dan pegiat studi Islam, pernah memberi analisis menarik kenapa netizen Indonesia tampak sepi-sepi saja terkait isu Palestina, alias tidak segebyar yang terjadi di Eropa atau Amerika. Kalaupun ramai dan menjadi perbincangan publik, itu tidak seperti lagu hepibesde yang selalu panjang umurnya.
Menurut Lien, kontributor paling bertanggung jawab dalam menciptakan kesepian ini adalah tokoh agamawan, bil khusus Islam. Katanya, orang-orang sekarang segan terlibat dalam gerakan bela Palestina karena khawatir dianggap radikal.
Kekhawatiran itu saya kira cukup valid. Setidaknya satu dekade terakhir Indonesia mengalami lonjakan sentimen identitas, terutama dalam aspek agama. Dan, momentum “Aksi Bela Islam” (est. 2016) menjadi satu pemicu utamanya.
Sejak saat itu, kibaran bendera Palestina mudah sekali ditemui di antara jubelan massa aksi demonstrasi apapun yang berkaitan dengan gerakan yang diusung oleh FPI. Demikian sebaliknya, ketika ada narasi atau aksi “Bela Palestina”, tokoh-tokoh penting atau simpatisan FPI kerap (di)muncul(kan) di media-media, baik sosial maupun arus utama.
Termasuk dalam gerakan aksi bela Palestina ini adalah HTI, kelompok yang telah dibubarkan pemerintahan Jokowi. Belakangan, FPI menyusul jejak HTI. Oleh pemerintah keduanya dianggap sebagai kelompok ekstrem.
Secara tidak sadar, imajinasi publik akhirnya terkonstruk bahwa membela Palestina sama dengan berdiri satu shaf bersama FPI dan HTI. Walaupun kenyataan di lapangan tidak musti demikian, bingkai aksi bela Palestina di Indonesia yang terlanjur terbentuk adalah tentang bagaimana menggalang solidaritas sesama umat Muslim, atau paling jauh sesama keluarga Abrahamik.
Jadi, kentara sekali kontras diskursifnya. Sebagian warga Indonesia rupanya rentan terjebak dalam dilema keimanan, ketika muda-mudi warga dunia mulai tersadar bahwa sebaik-baik ilmu adalah yang bermanfaat, sehingga mereka tak segan turun ke jalan (bisa berhari-hari) secara konsisten dan sustain mengumandangkan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.
Mereka memang bukan warga negara Palestina. Bukan juga warga negara Indonesia. Tapi mereka seolah mengerti betul pembukaan UUD 1945. Bandingkan, misalnya, dengan konten-konten aksi bela Palestina dari warganet Indonesia. Kemungkinan paling minimal adalah dua hal: kalau bukan menggalang donasi, ya paling jauh adalah memompa adrenalin publik dengan narasi agitatif terhadap Yahudi.
Tentu itu bukan hal buruk, hanya reduktif, dan membuat akar persoalan semakin blur saja. Membantu orang, betapapun, adalah perilaku mulia. Di sini saya semakin yakin bahwa penemu resep Indomie pastilah memiliki tabungan jariyah unlimited.