Pada Dasarnya Kita Semua Hanyalah Ittiba’ (Mengikuti) Para Leluhur

Pada Dasarnya Kita Semua Hanyalah Ittiba’ (Mengikuti) Para Leluhur

Ilmu itu benar-relatif, tetapi adab selalu benar-mutlak

Pada Dasarnya Kita Semua Hanyalah Ittiba’ (Mengikuti) Para Leluhur
Ilustrasi seorang syekh sufi yang mengajari para muridnya.

Percayalah, niscaya tidak ada seorang pun yang bisa tiba-tiba tahu dan berilmu tanpa adanya guru yang menjadi washilah bagi perjalanan intelektualnya. Begitupun dalam babakan perjalanan rohani dan syariat, tentulah kita semua mereguk segala khazanahnya dari para orang tua, guru, dan alim ulama leluhur. Apa pun dan bagaimanapun jalannya, langsung atau tidak langsung, disadari atau tidak, diakui atau tidak, semua kita niscaya alamiah ber-ittiba’ (mengikuti).

Ini memperlihatkan secara aksiomatik betapa musykilnya semua kita bisa berdiri di atas kaki sendiri.

Seluruh khazanah orang tua, guru, sesepuh, dan leluhur itu merupakan mata rantai yang meyambungkan tali keilmuan dan amaliah (tentu pula batiniah) setiap kita hingga kepada puncaknya, yakni Rasulullah Saw, lalu syariat Allah Swt.

Jika kita bersengaja meninggalkan mata rantai panjang tersebut, apalagi dalam konteks kita di sini dan kini yang terbentang amatlah jauh dari sumber otentisnya di masa Rasulullah Saw, bagaimana logikanya kita mampu menyebutnya sebagai terpercaya, mu’tabar, dan mutawatir –hal-hal yang menjadi syarat umum bagi derajat benar dan baik pada sebuah paham dan amal?

Bila pertanyaan tersebut dikulik lebih kecil-kecil lagi, muncul seabrek soal, misal, bagaimana bisa Anda membaca dan memahami ayat-ayat al-Qur’an bila tidak pernah ada yang mengajari mengaji Iqra’? Bagaimana bisa Anda lalu tahu bahwa maksud yaduLlah (tangan Allah Swt) bukanlah dalam arti Allah Swt memiliki tangan sebagaimana tangan kita (yang akan membuat Anda tergolong kepada paham tajsim, penjasadan Allah Swt), melainkan berarti kekuasaanNya tanpa adanya guru atau khazanah kitab dari para leluhur yang mengkaji ilmu kalam?

Lebih jauh lagi, bagaimana Anda bisa tahu jalan mendialogkan tasybih dan tanzih pada sifat-sifat Allah Swt tanpa adanya khazanah yang diwariskan para leluhur dan guru tasawuf? Dan sebagainya.

Tak terbantahkan, dengan sepenuh rendah hati, seyogianya kita semua mengakui bahwa pada dasarnya kita semua hanyalah para muttabi’, orang-orang yang berittiba’ kepada khazanah para sesepuh dan leluhur, dan mereka juga berittiba’ kepada para sesepuh dan leluhur di atasnya, lalu para sesepuh dan leluhur di atasnya itu berittiba’ kepada para sesepuh dan leluhur di atasnya lagi, lagi, dan lagi, hingga sampai ke generasi khalaf, lalu generasi salaf, yakni tabi’it tabi’in, lalu generasi tabi’in, lalu generasi sahabat dan Rasulullah Saw. Itu prinsip sanad keilmuan dan amaliah yang kita jalankan kini.

Ihwal ada dinamika dari generasi pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya hingga era generasi kita, sebagaimana telah terjadi sejak abad pertama dan kedua hijriyah, semua itu tiada lain hanyalah “kembangan alamiahnya”. Dan, adapun akarnya, batangnya, serta putik sarinya tetaplah bersumber satu kepada Rasulullah Saw.

Dikarenakan begitu agungnya pengajaran ilmu dan amal dari para orang tua, guru, dan sesepuh kita, hingga kita bisa memiliki khazanah ilmu dan amal yang insya Allah merupakan bagian dari subulus salam yang dikandung oleh Shiratal Mustaqim yang diridhaiNya, sewajibnya kita semua menghamparkan rasa syukur dalam rupa adab yang karim kepada mereka semua. Maka logis betul pernyataan luas bahwa adab harus lebih didahulukan dan diutamakan ketimbang ilmu. Adab first, ilmu soon.

Jangan dibalik!

Jika dibalik, yang akan terjadi pada kita adalah kerawanan pemberhalaan ilmu diri hingga menjerembabkan diri pada liang kesombongan. Hasilnya adalah kita hanya akan menabrak-nabrak khazanah para leluhur dengan cara-cara yang tak beradab. Lalu, jatuhlah kita pada su-ul adab. Terhijablah kita oleh berhala ilmu-ilmu itu. Ini adalah perbuatan yang tercela.

Imam Ghazali dalab kitab terkenalnya, Ihya’ Ulumuddin, di bagian hak dan kewajiban kepada orang lain, menukil sebuah hadis. Dari Sayyidah Aisyah Ra, Rasulullah Saw bersabda, “Kiamat tidak akan datang hingga seorang anak berlaku kasar kepada orangtuanya, hujan lama tidak turun, para penebar fitnah muncul di mana-mana, orang mulia semakin langka, anak muda berani kepada orang yan lebih tua, dan orang hina (awam) berani melawan orang yang mulia (alim).

Beliau juga menukil hadis ini, Rasulullah Saw bersabda, “Menghormati atau memuliakan seorang muslim yang berusia lanjut adalah sebagian dari memuliakan Allah Swt.” (HR. Abu Daud).

Lalu hadis ini: “Apabila seorang yang masih berusia muda memuliakan seorang yang lebih tua, maka Allah Swt akan menetapkan baginya umur panjang seperti orang yang dimuliakannya itu.” (HR. Tirmidzi).

Dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim, Imam Nawawi menukil dengan menggetarkan bagaimana wedaran-wedaran adab dan ta’dhim para ulama kita terdahulu kepada para guru, sesepuh, dan leluhur dibanjarkan dengan teladan luar biasa.

Imam Syafii menuturkan: “Dahulu ketika aku belajar di hadapan Imam Malik rahimahuLlah, karena hormatku padanya, lembar demi lembar aku letakkan dengan sangat lamban dan pelan semata-mata agar ia tak mendengar gesekan antar lembaran-lambaran tersebut.”

Imam Rabi’ berkata, “Demi Allah Swt, karena hormatku kepada Imam Syafii, aku rela menahan rasa hausku untuk tidak minum sementara ia melihat ke arahku.”

Lalu Imam Nawawi mengutip sebuah nasihat dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib: “Termasuk kewajibanmu dalam memuliakan orang alim adalah dengan senang hati menyambut kehadirannya, duduk sopan di hadapannya, tidak menunjuknya dengan jari-jari tanganmu, tidak memalingkan pandanganmu darinya, serta tidak menyampaikan pendapat orang yang berseberangan dengan pernyataannya. Tidak berbuat zalim terhadap orang lain di sisi atau di hadapannya, tidak berjalan di hadapannya, tidak mengenakan pakaiannya, tidak menampakkan kemalasan di hadapannya, jangan pernah bosan mendampinginya. Sebab, sejatinya, ia seperti pohon kurma, ketika jatuh pohonnya dan engkau tidak berada di dekatnya, niscaya engkau tidak akan mendapatkan apa pun.”

Imam Nawawi menambahkan satu poin lagi di titik ini: “Seorang murid (kita) harus senantiasa mencari keridhaan dari gurunya, meskipun apa yang ia pikirkan berbeda dengan apa yang menjadi keinginannya….”

Begitulah keutamaan mendahulukan adab dibanding ilmunya sendiri!

Kita tentunya amat berpeluang untuk memiliki perjalanan keilmuan dan lingkungan tersendiri yang kemudian bisa menjadikan pandangan-pandangan kita secara ilmu berbeda dengan para orang tua, guru, sesepuh, dan leluhur. Ini hal normal dan alamiah belaka. Dan bisa jadi dengan jalan demikianlah ilmu mengalami dinamika kemauannya.

Akan tetapi, seyogianya selalu kita genggam kokoh adab ini: janganlah segala perbedaan dan perubahan dinamis itu–bahkan umpama pun kita lantas menjelma lebih mumpuni—membuat kita serupa “kacang lupa pada kulitnya”, lupa adab dan ta’dhim kepada para sesepuh minulya. Apalagi merendahkannya, menghinakannya, dan menyakitinya.

Mari ingat terus prinsip ini seumur hidup: “Ilmu itu benar-relatif, tetapi adab selalu benar-mutlak.”