Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Mannar selalu mengartikan kata Musyrik dengan berbagai konteks penggunaannya dalam al-Quran sebagai musyrik Quraisy, sebuah kategori yang bersifat suku-sosial-agama-politik yang memiliki karakter memusuhi dan memerangi Nabi SAW dan para pengikutnya.
Selain itu, musyrik juga merupakan identitas tersendiri yang berbeda dari Ahli Kitab, baik Yahudi maupun Nasrani, meski kedua agama ini secara keyakinan menjadikan manusia tertentu sebagai memiliki karakter ketuhanan, seperti yang dilakukan Yahudi terhadap Uzair dan umat kristiani terhadap Yesus. al-Quran dengan tegas menyebut mereka sebagai ahli kitab terlepas dari keyakinan mereka yang keliru. Menariknya, al-Quran juga menyebut ahli kitab yang menyeleweng dari ajaran tauhid yang benar sebagai kafara (verba perfektif) bukan kafir (partisipel aktif).
Dalam beberapa literatur tafsir moderen, akan kita temukan beberapa varian makna berkenaan dengan kafara dalam bentuknya yang verba perfektif ini. Misalnya, ketika menafsirkan QS. al-Maidah: 72-72, Abdullah Yusuf Ali, intelektual muslim yang menghabiskan separuh hidupnya untuk meneliti al-Quran, dalam tafsirnya yang terkenal The Holy Qur’an, mengartikan kafara pada ayat tersebut sebagai do blaspheme. Blaspheme sendiri dalam bahasa Inggris memiliki arti commit blasphemy ‘melakukan penghinaan’ dan use foul language ‘menggunakan pandangan yang keliru’.
Dalam konteks ayat di atas, mungkin lebih tepatnya Abdullah Yusuf Ali menerjemahkannya sebagai ‘sungguh telah keliru orang-orang yang berpandangan bahwa Allah ialah Yesus atau Allah ialah yang ketiga dalam doktrin trinitas’, yakni paham yang mengatakan bahwa Allah ialah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Muhammad Asad dalam The Message of the Qur’an mengartikan kafara pada ayat tersebut sebagai deny the truth ‘menolak kebenaran’. Sementara itu, Muhammad Ali menerjemahkannya sebagai disbelieve ‘tidak percaya’.
Namun terlepas dari perbedaan arti antara ketiga ahli tafsir al-Quran ini, jelasnya, mereka sepakat bahwa kata kafara yang digunakan dalam al-Quran mengandung arti ‘kekeliruan dalam keyakinan’, entah karena disengaja atau tidak disengaja, dengan sedikit pembedaan apakah kekeliruan ini berimplikasi pada sikap politik memerangi Nabi dan kaum beriman atau tidak.Dan karena itu, pertanyaan selanjutnya ialah apakah kekeliruan dalam soal keyakinan ini mengharuskan seorang muslim untuk memerangi penganutnya?
Bagi penganut pandangan ekstrim (sebut saja teroris), jawabnya jelas iya. Ini misalnya dapat kita temukan dalam tulisan mereka yang berjudul ‘Keabadian Memerangi Iblis dan Kaum Musyrik’ dan ‘Kaum Musyrik selamanya Musuh orang Beriman’. Dua tulisan ini menganjurkan kaum beriman untuk membunuh, memerangi dan bersikap keras terhadap non-muslim. Padahal dalam dua tulisan ini tidak dijelaskan keyakinan keliru yang dianut oleh Musyrik ini apakah disertai dengan motif politik untuk memerangi kaum beriman ataukah tidak.
Jelasnya mereka menggunakan ayat-ayat dan hadis-hadis tentang perang tanpa melihat semangat quraniknya dan tanpa mempertimbangkan kemaslahatannya. Akhirnya dengan pemahaman seperti itu, mereka hanya menjadi tukang stempel yang kerjaannya tidak lain hanya memberi label kafir, murtad, munafik, zindiq dan seterusnya kepada semua orang yang tidak sepaham dengan mereka. Sikap seperti ini, kata Nabi melalui riwayat Ibnu Abbas, hanya merupakan cerminan dari pemahaman Islam yang hanya sampai pada tenggorokan, atau dengan kata-kata lain memahami Islam hanya sebatas perang, perang dan perang ila yaum al-qiyamah. Inilah pemahaman Islam yang diprediksikan sekaligus dikhawatirkan Nabi SAW yang akan muncul di akhir zaman.
Lantas bagaimana sebenarnya Nabi berinteraksi dengan kaum Musyrik? Sebagai jawabannya, tentunya kita harus membaca sirah kenabawian. Satu-satunya data yang secara lengkap dan utuh dan hadir di hadapan kita tentang bagaimana Nabi menerjemahkan sikap al-Quran terhadap non-muslim dapat kita lihat pada isi Piagam Madinah, misalnya salah satu isi piagam tersebut berbunyi “Yahudi dari Bani Auf adalah satu umat dengan orang-orang beriman. Bagi Yahudi, bebas menganut dan menjalankan agama mereka. Bagi kaum beriman, bebas menganut dan menjalankan agama mereka”.
Coba kita renungkan baik-baik dalam teks ini bagaimana Yahudi dikategorikan satu umat dengan kaum beriman. Jelas ini merupakan sikap yang tidak mengandalkan pada yang serba perang ala teroris yang sok-sok mujahidin itu. Inilah sikap Nabi dengan penganut Ahli Kitab. Sikap yang tidak melulu mengandalkan peperangan. Lalu bagaimana dengan orang Musyrik? Di masa-masa awal tinggal di Madinah, Nabi juga melakukan perjanjian damai dengan suku terbesar yang tinggal di bagian barat Madinah, suku Bani Juhainah yang musyrik, yang posisi tinggalnya menjadi persimpangan perdagangan kafilah-kafilah Quraisy. Dengan aliansi ini, kaum beriman dapat bergerak dengan mudah untuk menghalau kafilah-kafilah dagang Musyrik Quraisy.
Dalam perjanjian Hudaybiah, Nabi dan Kaum beriman juga mengadakan aliansi atau persekutuan dengan Bani Khuza’ah yang pagan. Penaklukkan kota Mekkah oleh nabi terjadi karena Musyrik Quraish membantu Bani Bakr yang musyrik untuk mengalahkan Bani Khuza’ah yang juga musyrik namun beraliansi dengan Nabi SAW. Dengan kata-kata lain, melalui penaklukan kota Mekkah, Nabi juga dengan sendirinya membantu orang-orang musyrik dari kalangan Bani Khuza’ah.
Bagaimana mungkin Nabi yang bertauhid ini menolong orang-orang Musyrik dari suku Khuza’ah? Dengan menggunakan kerangka pandang teroris yang ekstrim, jelas yang dilakukan Nabi merupakan sebuah kesalahan besar, bahkan mungkin jika mereka konsisten dengan logika yang serba-serba mencap syirik, Nabi sendiri akan mereka kategorikan sebagai musyrik karena telah membantu orang musyrik.
Lewat pembacaan terhadap sirah kenabawian ini, dapat disimpulkan bahwa memerangi Musyrik Quraish di masa kenabian ini tidak didorong oleh karena mereka musyrik secara akidah namun lebih kepada persoalan logika politik yang selalu mendorong mereka untuk memerangi kaum beriman dan menghalang-halangi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Jika lebih teliti lagi membaca sirah kenabawian, kita akan menemukan bahwa Nabi terjun ke dalam peperangan didorong oleh semangat untuk menolak segala bentuk penindasan dan penganiayaan dan didorong oleh adanya bahaya-bahaya yang mengancam eksistensi kaum beriman.
Perang Badar yang terjadi pada tahun ke-2 H dapat dianggap sebagai bentuk pertahanan diri dari serangan dan karena saat itu Musyrik Quraisy telah mengusir kaum beriman dari kampung halaman mereka, Mekkah. Peperangan melawan Yahudi dari Bani Qainuqa, Bani Nadhr, Bani Quraizah dan Yahudi Khaibar juga didorong oleh pelanggaran dan pengkhianatan mereka terhadap Piagam Madinah yang mengancam eksistensi kaum beriman. Perang Uhud juga didorong oleh adanya ancaman perang terus menerus dari pihak Musyrik Quraish yang membalas dendam atas kekalahan mereka dalam perang Badar. Perang Khandaq, yakni perang dimana kaum beriman dikepung di dalam perbatasan Madinah dan diancam akan ditumpas secara keseluruhan, dilakukan juga karena dalam keadaan terancam secara keamanan oleh Musyrik Quraish.
Jika demikian halnya sikap al-Quran yang diterjemahkan secara langsung melalui praktik Nabi SAW, lantas bagaimana menyikapi hadis-hadis Nabi yang menyerukan kebalikan dari semangat al-Quran yang cinta damai ini? al-Bisawi dalam Jami Abi al-Hasan al-Bisawi (Jilid 3: h.45) ketika membicarakan adanya pertentangan antara hadis dengan al-Quran mengatakan:
فمن حدثكم بحديث يخالف القرآن فلا تصدقوه واتهموه، إلا ما صح عن الرسول صلى الله عليه وسلم مما يؤيد القرآنُ مثلَه
“Siapapun yang meriwayatkan hadis yang kandungannya bertentangan dengan pesan al-Quran, jangan dipercaya! Kecuali jika hadis tersebut benar-benar dari Nabi yang menguatkan kandungan pesan dalam al-Quran”
Hal senada juga dikemukakan oleh Abu Hanifah dalam kitab al-Alim wa al-Muta’allim ketika ditanya oleh muridnya, Abu Muqatil terkait hadis-hadis yang secara sanad diriwayatkan oleh periwayat-periwayat terpercaya namun secara kandungan sangat bertentangan dengan al-Quran:
أكذب هؤلاء، ولا يكون تكذيبي لهؤلاء وردي عليهم تكذيبا للنبي صلي الله عليه وسلم…..ونبي الله لا يخالف كتاب الله تعالى، ومخالف كتاب الله لا يكون نبي الله، وهذا الذي رووه خلاف القرآن….
“Aku tidak akan percaya terhadap para periwayat hadis tersebut. Namun ketidakpercayaanku dan penolakanku terhadap hadis riwayat mereka jangan diartikan bahwa aku mendustakan Nabi dan tidak mempercayainya…Nabi tidak akan mungkin melakukan sesuatu yang bertentangan dengan al-Quran…sebaliknya, yang bertentangan dengan al-Quran bukanlah Nabi…hadis yang mereka riwayatkan ini sungguh bertentangan dengan semangat al-Quran…”
Kerangka pandang ini dapat kita jadikan untuk melihat fenomena hadis-hadis yang secara sanad diriwayatkan oleh para periwayat yang terpercaya namun secara matan sangat bertentangan dengan al-Quran. Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Anas bin Malik dan lain-lain dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda: ‘Aku diperintahkan untuk memerangi umat manusia sampai mereka berkeyakinan bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Jika bersyahadat, mereka haram dibunuh dan haram pula hartanya dirampas.’
Riwayat hadis ini dengan segenap lafalnya jelas tidak sahih karena sangat bertentangan dengan al-Quran. Hilal bin Atiyyah (w. 134 H) mencium ketidakberesan riwayat hadis di atas dengan mengatakan:
هناك من يسندون إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم روايات أحاديث، يتركون من الحديث بعضه ويأخذون بعضه، فيظهر اللفظ مخالفاً لكتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم
“Ada para periwayat hadis yang menyandarkan hadis-hadis kepada Nabi SAW, namun mereka meninggalkan sebagian hadis dan mengambil sebagian lainnya. Lalu tampaklah lafal hadis tersebut bertentangan dengan al-Quran”
Jelaslah hadis ini bertentangan dengan prinsip dasar al-Quran tentang ketidakbolehan adanya paksaan dalam beragama (QS. al-Baqarah: 256), hidayah bukan hak prerogatif nabi tapi hak Allah (QS. al-Baqarah: 272), tugas nabi hanya menyampaikan wahyu (QS. Ali Imran: 20), Nabi tidak boleh memaksa manusia sampai mereka beriman (QS. Yunus: 99). Jadi dalam al-Quran tidak ada perintah untuk memerangi manusia sampai mereka beriman dan bertauhid. Keimanan hanya bisa disebarkan lewat cara yang baik dan bukan dengan peperangan. Jalan damai ialah jalan para nabi dan rasul. Jadi perang hanya diperbolehkan jika ditujukan kepada para penindas, penjajah dan para pengancam stabilitas keamanan umat. Dan atas dasar prinsip ini, kaum musyrik tak selalu menjadi musuh bagi eksistensi kaum beriman. Allahu a’lam.