“Apa itu Islam?”
Demikian saya disuguhi pertanyaan oleh seorang Katolik dengan status warga negara Timur Leste. Pertanyaan itu, sebenarnya gampang-gampang sulit untuk dijawab.
Saya sadar bahwa pertanyaan itu bukan untuk ujian kenaikan kelas mata pelajaran “Agama” di Sekolah Dasar, yang jika menjawab “Islam adalah agama yang dibawa oleh Kanjeng Nabi Muhammad SAW dengan lima rukun Islam dan enam rukun Iman, dan selain daripada itu adalah kafir” mungkin akan mendapat nilai seratus.
Masalahnya, pertanyaan itu diajukan di depan majelis yang jamaahnya 98% adalah orang Katolik utusan dari sejumlah negara di Asia, yang mereka barangkali siap menyambut jawaban saya dengan ekor pertanyaan lainnya. Lebih-lebih ada banyak lensa kamera berikut dengan microphone yang siap mengabadikan dan menjadi bomerang jika saya ceroboh.
Namun, pada saat yang sama, saya dituntut harus menjelaskan dengan penuh perhitungan, agar marwah Islam rahmatan lil ‘alamin tidak saya nista.
Pada akhirnya, saya cuma sampaikan jawaban sederhana, “nganu everybody, sejauh yang saya pelajari, Islam itu adalah ajaran yang penuh cinta kasih. Sebab junjungan kami, Muhammad SAW memang diutus oleh Tuhan untuk menyempurnakan budi pekerti manusia”.
Syahdan, mereka ternyata antusias dengan jawaban saya. Namun, antusias itu agak sedikit merepotkan dengan ekspresi pertanyaan yang sungguh spesifik.
“Di Indonesia, saya mendengar ada banyak kelompok Islam. Dari yang ekstrimis hingga yang seperti anda katakan, yakni mengajarkan cinta kasih. Bisakah anda jelaskan kepada kami, mengenai perbezaan kelompok-kelompok itu, utamanya antara NU dan Muhammadiyah?” tanya seorang Katolik berkebangsaan Malaysia.
Jujur, untuk pertanyaan ini, saya agak gentar menjawabnya. Sebab jika saya keliru atau terpeleset, betapa itu akan sangat merepotkan. Bisa jadi saya malah dituntut dengan pasal pencemaran nama baik. Berabe bukan?
Merasa perlu berimprovisasi, saya sedikit berkelakar. “Ada pilihan gandanya tidak Mister?”, tanggap saya yang ternyata sukses disambut tawa para hadirin. Di situ saya merasa embuh.
Sejurus kemudian, saya melanjutkan pemaparan “memang di Indonesia ada banyak kelompok keagamaan Islam. Bagi saya, fenomena itu adalah cara kami, masyarakat Indonesia menghargai kebebasan berekspresi dan berpendapat. Terkait dengan ekstrimis, itu bagi saya adalah fenomena yang maklum di setiap agama. Adapun NU dan Muhammadiyah, tidak ada perbedaan yang signifikan. Menyadur ungkapan bapak Menteri Agama RI, NU dan Muhammadiyah itu ibarat sepasang mata kanan dan mata kiri. Mereka ada di posisinya masing-masing demi satu fokus tujuan, yakni Islam Nusantara yang berkemajuan untuk peradaban Indonesia dan dunia yang damai, toleran dan sentausa”.
Singkat cerita, diskusi itu ternyata cukup menggembirakan dan mengalir, bagi pengalaman saya pribadi maupun kepada mereka yang terpuaskan dengan wawasan tentang cara ber-Islam orang Indonesia.
Setelah secara resmi saya menutup diskusi, ada seorang perempuan Katolik dari Jakarta mendekat kepada saya dan berkata, “Mas, NU ya???”
Anwar Kurniawan, penulis aktif di komunitas Gusdurian Yogyakarta dan sedang nyantri di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Jogja.
Catatan: berdasarkan kisah nyata pengalaman penulis, saat berkesempatan mendampingi pertemuan muda-mudi Katolik se-Asia dalam event Asian Youth Day 2017 beberapa hari lalu.