Mengenang Kairo, Melihat Akar Moderat Islam di Indonesia

Mengenang Kairo, Melihat Akar Moderat Islam di Indonesia

Mengenang Kairo, Melihat Akar Moderat Islam di Indonesia
Foto: Getty Images

“Saya adalah teman seperjalanan Gus Dur ketika naik kapal menuju Kairo untuk kuliah di sana. Perjalanannya satu bulan dua hari. Membosankan sekali. Untung ada Gus Dur yang selalu bercerita menghibur,” kenang Almarhum AGH. Sanusi Baco, mantan MUI Sulawesi Selatan.

AGH (semacam panggilan Kiai di Sulawesi Selatan) Sanusi Baco adalah generasi kedua arus pelajar yang diberangkatkan ke Universitas Al-Azhar pasca kemerdekaan Indonesia. Beliau memulai perjalanan dari Makassar pada November 1963, menempuh perjalanan sebulan lamanya di atas kapal, bersama Gus Dur (Abdurrahman Wahid) dan Gus Mus (KH. Musthofa Bisri).

Memang, ketiganya merupakan beberapa tokoh nasional yang kita kenal. Tetapi sesungguhnya ada ribuan tokoh-tokoh sosial dalam lingkupnya masing-masing yang berasal dari universitas yang sama. 

Medio 1980-an, Mona Abaza mengunjungi Kairo dan mencatat terdapat sekitar 700 pelajar dari Sulawesi Selatan, baik datang karena beasiswa maupun yang “terjun bebas” dengan biaya sendiri, ada pula yang menggunakan visa wisata, bahkan beberapa menempuh jalur ilegal (“A Profile of an Indonesian Azhari Living in Cairo”). 

Lima belas tahun kemudian, Mona Abaza kembali datang ke sana dan melihat betapa mahasiswa dari Sulawesi Selatan telah berkembang cukup jauh, sekitar 2000 orang (Indonesian Azharites, Fifteenth Years Later). Itu baru pelajar Sulawesi, belum Jawa dan Sumatera. 

Ribuan lulusan Al-Azhar, yang lebih dikenal dengan Azhari, menyebar dan mengabdi kepada Islam dan komunitas Muslim di Indonesia hingga hari ini. Beberapa tokoh penting Indonesia, dari masa lalu maupun hari ini, menghabiskan waktu bertahun-tahun belajar di Mesir. Harun Nasution (1919-1998, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), Quraish Shihab (Menteri Agama dan Duta Besar Indonesia untuk Mesir), Abdurrahman Wahid (1940-2009, Presiden), Alwi Shihab (Menteri Luar Negeri).

Kelompok Azhari lain memiliki peran strategis dalam perkembangan Ormas sosial-keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU. Beberapa ulama kontemporer seperti Tuan Guru Bajang, Muchlis Hanafi, Eva Nisa, begitu juga novelis Habiburrahman El-Syirazy, Geidurrahman El-Mishri, hingga Aguk Irawan juga lahir dari rahim intelektual yang sama.

Dari Makkah ke Kairo, Pergeseran Kiblat Pengetahuan Awal Abad ke-20

Dalam catatan Mona Abaza, faktor yang paling mungkin dari perpindahan kiblat pengetahuan dari Makkah ke Kairo adalah menguatnya kekuatan Bani Saud yang didirikan sejak tahun 1744. Dengan bantuan Muhammad bin Abdul Wahab, pada awal abad ke-19 berhasil meduduki Makkah dan Madinah. 

Pada salah satu bagian The Acehnese yang terkenal itu, Snouck Hurgonje juga menyinggung pergeseran ini. Dia menuliskan, entah kenapa tiba-tiba salah satu dari banyak kitab Syaikh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani bisa sampai dan dicetak oleh sebuah penerbit di Kairo. Tepatnya sekitar beberapa tahun sebelum memasuki abad ke-20.

Sejak itu, gelombang pelajar mulai beralih dari Jazirah Arab menuju Kairo. Perubahan ini membawa pengaruh yang cukup signifikan dalam wacana yang dibawa ke Nusantara. Sebab Mesir pada awal abad ke-20 sangat disibukkan dengan wacana kemerdekaan, baik dari sayap Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang diimplementasikan dalam berbagai gerakan keislaman.

Tepat setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, mahasiswa Indonesia di Mesir mendirikan Jam’iyya Istiqlal Indonesia, sebuah organisasi yang menyebarluaskan kemerdekaan Indonesia melalui media-media Mesir. Organisasi ini ikut andil dalam penerbitan proklamasi kemerdekaan dalam mingguan Ikhwanul Muslimin dan harian nasional Al-Ahram pada bulan September 1945. 

Pada 22 Maret 1946, Kementerian Luar Negeri Mesir secara resmi mengakui Jam’iyya Istiqlal Indonesia sebagai wakil pemerintah yang telah merdeka. Pada 15 Agustus 1947, Abdul Mun’im, mewakili Raja Farouq dalam Liga Arab, menyampaikan pidato secara resmi yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Tiga tahun kemudian, KBRI Kairo diresmikan pada 25 Februari 1950 dengan duta besar pertamanya adalah Muhammad Rasjidi.

Mu’adalah dan Kurikulum Pendidikan Keislaman di Indonesia

Pada tahun 1970, pimpinan pondok pesantren Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) yang berpusat di Sulawesi Selatan, AGH Abdurrahman Ambo Dalle menemui Grand Syaikh Al-Azhar. Beliau meminta agar Al-Azhar mengirimkan guru dan dosen untuk mengajar di DDI. Beberapa guru Al-Azhar kemudian dikirim ke Sulawesi, dengan biaya perjalanan dan gaji sepenuhnya ditanggung oleh Al-Azhar. DDI bertanggung jawab atas akomodasi, makan, dan transportasi lokal guru-guru tersebut.

Kunjungan resmi ke Al-Azhar itu juga menghasilkan mu’adalah (akreditasi) silabus dan kurikulum DDI yang disesuaikan dengan silabus dan kurikulum Al-Azhar. Pada akhir 1990-an, setelah pertemuan antara Kementerian Agama Indonesia dan Al-Azhar, diputuskan bahwa Kemenag mengambil alih semua masalah mu’adalah. Pemerintah secara simultan mengelola segala beasiswa bagi pelajar yang hendak studi di Al-Azhar. Dan konsep silabus itu kemudian diterapkan sebagai kurikulum di perguruan tinggi Islam di Indonesia.

Ketika Al-Azhar memperbarui kurikulum, tak lama kemudian Indonesia mengadopsi perubahan tersebut. Pada awal 1990-an misalnya, seluruh UIN di Indonesia memindahkan Jurusan Tafsir dan Hadis dari Fakultas Syari’ah menjadi Fakultas Ushuluddin untuk menyesuaikan dengan Al-Azhar. Dengan begini, pesantren dan lembaga pendidikan Islam di Indonesia juga ikut menyesuaikan kurikulum mereka dengan Al-Azhar.

Al-Azhar, pada batas tertentu, telah mempengaruhi bentuk Islam yang berkembang di Indonesia, terutama metode pembelajaran. Al-Azhar selalu menjadi kiblat utama dalam pendidikan Islam di Indonesia. Secara umum patut diakui bahwa karakter moderat (wasatiyah) yang banyak melekat dalam pribadi syaikh-syaikh Al-Azhar, pada gilirannya menyebar ke umat Islam di Indonesia.