Terpantik novel Jokha Alharthi, Sayyidat al-Qamar, yang terjemahan Inggrisnya Celestial Bodies berhasil menyabet Man Booker International Prize (2019), saya tergerak untuk mengulas negaranya: Oman. Baru-baru ini, novel ini diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Moooi Pustaka, dengan judul Wanita Rembulan.
Negara Oman, bagi masyarakat Indonesia, ibarat halaman belakang dari Yaman yang sejak begitu lama punya hubungan khusus dengan Indonesia. Padahal secara jarak, Oman lebih di sebelah darat ujung semenanjung Arab, artinya secara geografis lebih dekat dengan Indonesia dibanding Yaman.
Jika Yaman hingga detik ini berjibaku dengan aneka peperangan, Oman sebaliknya. Bahkan bisa dikatakan negara ini adalah wajah lain dari Timur Tengah yang dikenal erat dengan peperangan. Padahal, Oman bermadzhab resmi Ibadi, suatu sempalan dari Khawarij dalam guratan sejarah dikenal suka mengobarkan peperangan. Lantas, apa itu Ibadi? Bagaimana hubungannya dengan Khawarij?
Ibadi, Sempalan Khawarij yang Damai
Dalam risalah Amman yang isinya adalah 8 madzhab keislaman yang diakui, Ibadi termasuk salah satunya. Adapun lengkapnya dari kedelapan madzhab/aliran itu antara lain: yang Sunni terdiri dari 4 madzhab yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali; yang Syiah terdiri dari Ja’fari dan Zaidi; sementara selebihnya adalah Ibadi dan Zahiri.
Bagi muslim Indonesia, madzhab Ibadi masih terdengar asing. Ini wajar sebab selain di Indonesia nyaris tidak ada, prosentase pengikutnya dari umat muslim di dunia memang tergolong minim, yakni hanya 0,2 persen. Berbeda jauh dengan Sunni yang 90% atau Syiah yang 9%. Dan, dari yang sedikit itu, 75% pengikut Ibadi tinggal di Oman. Jadilah Oman sebagai rumah aliran Ibadi, yang bahkan jadi madzhab resmi negara ini.
Akar sejarah Ibadi adalah Haruriyah atau Khawarij, suatu golongan yang menolak arbitrase/tahkim Daumatul Jandal dalam perang Shiffin antara khalifah Ali dan Muawiyah. Penolakan Khawarij atas dua pemimpin tersebut dibuktikan dengan mengirim utusan yang bertugas membunuh keduanya, tapi yang berhasil dibunuh hanya Ali RA, Muawiyah selamat meski terluka parah.
Namun, gerakan Khawarij tak cukup mampu menjadi kekuatan dominan, selain menderita kekalahan demi kekalahan hingga pengikutnya semakin menipis, sebagaian terpencar kemana-mana. Dalam perkembangannya, lahir pecahan Khawarij yang lebih moderat dengan lebih memilih untuk fokus menjadi hamba Allah yang saleh dan menyibukkan diri dalam urusan keilmuan, yakni Ibadi.
Nama Ibadi sendiri diilhami dari nama Abdullah bin Ibad al-Tamimi (w. 700), seorang ulama Basrah. Seorang muridnya, Jabir bin Zaid al-Azdi, kemudian menyebarkan ajaran gurunya ke daerah Ghubaira yang kini bernama Oman. Ketika pemimpin Ghubaira, Al-Julanda bin Mas’ud, dan para pengikutnya mengikuti ajaran ini, maka Ibadi hingga kini menjadi aliran Islam yang diikuti mayoritas warga Oman.
Salah satu hal yang menarik dari Ibadi adalah soal hadits. Kalau Sunni dengan Kutubus Sittah-nya disusun Abad 9, dan Kitab al-Kafi punya Syiah disusun Abad 10, Ibadi punya kumpulan hadits yang diklaim lebih tua, yakni disusun pada Abad 8, dikenal dengan Jami’ Shahih, sehingga rantai sanad-nya masih sangat pendek. Jami’ al-Shahih, empat abad kemudian, disusun ulang dengan berbagai tambahan menjadi Tartibul Musnad, yang jadi pegangan Ibadi.
Adapun secara ritual, Ibadi tidak jauh berbeda dengan Sunni atau Syiah. Bedanya hanya tidak bersendekap (ini mirip Syiah) dan tidak mengucapkan “Amin” setelah membaca Fatihah. Sementara itu, dalam kehidupan sosial, penduduk Oman yang mengikuti Ibadi sangat toleran terhadap aliran bahkan agama lain. Meski Ibadi menjadi madhab resmi, banyak juga madzhab lain, bahkan agama lain, yang hidup damai di Oman.
Ibadi saat ini dikenal sebagai aliran Islam yang moderat dan sangat toleran. Salah satu bentuk moderasinya adalah jika Khawarij menganggap golongan diluar dirinya kafir, Ibadi tidak seekstrim itu. Paling banter ibadi menganggap diluar golongannya sebagai orang yang kufur nikmat atau ahlul khilaf.
Di Oman sendiri, meski Ibadi jadi madzhab resmi negara, aliran atau apapun diperbolehkan. Jika dilihat sebarannya, warga Oman 85,9% memeluk Islam (Ibadi adalah 45%), sementara pemeluk Kristen 6,5%, Hindu 5,5%, Buddha 0,8%, Yahudi kurang dari 0,1%, dan lainnya. Mereka hidup damai bersama, dengan hampir tak ada gesekan antar aliran atau agama.
Mendayung di antara Dua Karang
Di bawah kepemimpian Sultan Qaboos bin Said (yang belum lama wafat, 2020) sepanjang 50 sejak 1970, Oman bertransformasi dari negara terkucil menjadi negara yang diperhitungkan. Salah satunya berkat eksplorasi minyak bumi yang berhasil meningkatkan perekonomiannya. Hingga saat ini PDB perkapita (IMF 2022) Oman adalah $23.416, sekitar lima kali lipat dibanding Indonesia yang hanya $4.691. Selain itu, mata uang Oman yakni Riyal Oman lebih kuat dan lebih stabil daripada USD, Euro, bahkan poundsterling. 1 USD = 0,3845 Rial Oman. Kalau dikonversi ke rupiah sekitar Rp 36.000 per 1 Rial Oman.
Kestabilan dan kemakmuran Oman menjadi modal tersendiri bagi negara itu dalam, meminjam istilah Bung Hatta, “mendayung di antara dua karang.” Di tengah konstelasi negara-negara Timur Tengah yang terus berkonflik, terutama dari dua kubu yakni Iran dan Arab Saudi, atau kubu Syiah dan Sunni, posisi Oman memang unik. Negara ini berhasil mempertahankan independensinya, tak terombang-ambing, sehingga berkali-kali menjadi mediator di tengah pertikaian tersebut. Meskipun, dalam soal Palestina, Oman tegas, pro kemerdekaan Palestina.
Ibadi memang berbeda dengan Khawarij, meski akarnya dari sana. Jika Khawarij di masa silam memerangi dua kubu (Ali dan Muawiyah), penguasa Oman sebagai pengikut Ibadi memilih mengajak sebanyak mungkin pihak untuk duduk bersama. Posisi uniknya (juga kekuatan negaranya), sampai saat ini terbukti memungkinkan untuk melakukan itu.
Begitu halnya dengan perubahan zaman, Oman yang relatif tertinggal bahkan dalam pembebasan perbudakan (baru resmi dihapus 1970), kini harus menghadapi situasi baru. Meski begitu, hingga kini masih tercium kabar tidak sedap mengenai kondisi pekerja imigran yang mirip perbudakan, yakni di bawah sistem Kafala.
Barangkali, gambaran Oman memang persis tokoh-tokoh perempuan dalam novel Sayyidat al-Qamar, di mana Maya, Asma dan Khawla, yang harus melalui jalan persimpangan, antara perbudakan dan kemerdekaan, peminggiran dan penegasan, tradisionalitas dan modernitas, atau “bahasa Arab” dan “bahasa Inggris”. Dan ketiganya, dalam mendayung di antara dua karang itu, berhasil sekaligus gagal dengan caranya sendiri-sendiri.
(AN)