Ketika Gerak Perempuan Dibatasi: Belajar dari Pengalaman Perempuan di Timur Tengah

Ketika Gerak Perempuan Dibatasi: Belajar dari Pengalaman Perempuan di Timur Tengah

Ketika Gerak Perempuan Dibatasi: Belajar dari Pengalaman Perempuan di Timur Tengah
Ilustrasi perempuan di Timur Tengah yang melakukan protes. Peristiwa ini datang dari Maroko. Foto: HRW

“Bagaimana kita berpakaian hingga bagaimana kita bicara terus diatur. Tidak ada kebebasan  berekspresi!”, itu suara Simin Azarmehr aktivis perempuan Iran di Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II. Meskipun pembicara berpartisipasi melalui daring, apa yang dipaparkan mengenai negaranya mampu melahirkan empati dari para audiens di UIN Walisongo, Semarang, 23 November 2022.

Siang itu, para aktivis Timur Tengah menceritakan masalah-masalah di negara masing-masing, seperti Suriah, Afghanistan, dan Iran. Di Suriah, tadinya Islam berwajah moderat, tapi setelah ISIS masuk dan mengambil alih, banyak terjadi konflik yang mengakibatkan trauma mendalam kepada masyarakat Suriah. “Kita lupa memperhatikan anak kita, mereka meninggalkan sekolah, dan berperang”, itu kata Abir dari Suriah.

Anak-anak muda mendapatkan pengaruh dalam pikiran dan perilaku dari media dan keseharian. Mereka memahami kalau itu cara untuk “membela” agama dan mencapai kesejahteraan. Orang muda dengan segala kekurangan dan kelebihannya dimanfaatkan untuk melancarkan gerakan ekstrem. Itu menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat sekitar.

“Perempuan tidak boleh mengajar laki-laki di sekolah”, kata Jamila Afghani dari Afghanistan. Perempuan benar-benar dibatasi, dianggap aib, dan sumber fitnah. “Itu membuat warga negaranya tak tahan dan ingin cepat-cepat keluar dari negaranya”, timpal Jamila.

Selain itu, Taliban menduduki posisi-posisi penting dalam negara. Situs Bamiyan, peninggalan Buddha yang merupakan warisan dunia dihancurkan karena dianggap berhala. Padahal, itu penting bagi pendidikan, sosio-spiritual, sejarah, ekonomi, arsitektur, pariwisata, dan masih banyak lagi. Masyarakat pun diselimuti oleh ketakutan setiap harinya. Taliban menganggap apa yang tidak sesuai dengan kelompoknya itu salah.

Tidak berhenti di situ, masih ingat dengan Mahsa Amini di Iran yang dianiaya karena memakai pakaian yang dianggap tidak sesuai syariat? Beberapa waktu lalu, perempuan itu disiksa oleh kepolisian moral Iran hanya karena kerudungnya “kurang rapi”. Parah sekali.

Para perempuan Iran pun turun ke jalanan untuk melakukan aksi protes. Sungguh sangat mengesalkan ketika perempuan selalu didikte untuk berpakaian dan bersikap hingga ego mengalahkan kemanusiaan. “Bahkan, pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk menekan perempuan. Mereka yang protes pun ditandai, dicelakai, ditangkap, dan sebagainya”, jelas Simin. Kapan perempuan bisa menikmati hidup dan mendapatkan kebebasan?

Sudah jatuh, tertimpa jagad raya. Para perempuan di daerah konflik semakin rentan karena ketidakstabilan dan berbagai diskriminasi yang didapatkan. Dalam hal ini, perlu pendekatan keagamaan, sosial, budaya yang menghormati keberagaman yang disampaikan oleh ulama, pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama, keluarga, teman, dan lingkungan sekitar. Selain itu, diskusi lintas agama, kepercayaan, dan komunitas harus dilakukan.

Meski terjadi sekejap, konflik dan kekerasan meninggalkan bekas, beban, dan luka yang harus dipulihkan. Para aktivis perempuan di berbagai negara yang terjadi konflik yaitu memberikan aman, percaya, kasih sayang, dan memberikan pendidikan agar orang lain bisa berdaya bagi dirinya sendiri dan orang lain serta bisa kelanjutkan kehidupan.

Para perempuan Suriah, Afghanistan, Iran, negara lain berjuang untuk mengadvokasi korban dengan membuat film, mengadakan diskusi, melakukan pemberdayaan ekonomi, bekerja di media, membuat karya yang adil gender, dan sebagainya. Aksi-aksi itu sangat penting untuk dilakukan agar konflik tidak berujung kepada kekerasan sehingga mengganggu keseharian.