Meraba Ambang Batas Fanatisme dan Radikalisme Agama

Meraba Ambang Batas Fanatisme dan Radikalisme Agama

Fanatisme agama bisa dicirikan sebagai ideologi yang berusaha untuk menghadirkan berbagai memorial masa lalu ke masa sekarang seperti jargon-jargon “kembali kepada Qur’an dan Hadis”, Khilafah, NKRI Bersyariah, dan semacamnya.

Meraba Ambang Batas Fanatisme dan Radikalisme Agama

Istilah radikalisme yang selama ini kita dengar mungkin sudah lekat dengan konotasi negatif. Hal itu karena ia sering dilekatkan pada pola pikir keagamaan yang konservatif, tekstual, dan kolot. Radikalisme juga sering disandingkan dengan istilah terorisme. Maka tak heran ia pelan-pelan menjadi istilah yang sarat dengan keburukan. Dalam taraf ini, kita sering mengidentikkan antara radikalisme dengan fanatisme. Namun, meski identik, keduanya merupakan dua konsepsi yang berbeda.

Tulisan ini mencoba membedahnya satu persatu. Meskipun radikalisme dan fanatisme saat ini memiliki garis batas yang sangat samar terutama dalam aspek keagamaan, namun setidaknya kita perlu memahami ukuran-ukuran itu untuk mengidentifikasi mana fanatis, mana radikal. Hal ini dirasa penting karena kedua memiliki konsekuensi yang berbeda. Pada akhirnya, tulisan ini akan membawa keduanya pada perspektif keagamaan. Bagaimana kerja fanatisme dan radikalisme dalam sudut pandang agama dalam penjelasan yang lebih sederhana.

Secara bahasa, kata ‘radikal’ berasal dari bahasa Latin, ‘radix’, yang berarti ‘akar’. Dalam KBBI artinya “mendasar”. Jika dipahami pada sikap seseorang, mungkin berarti bahwa orang itu memiliki pengetahuan yang sangat mendasar dan komprehensif. Oleh karena itu, ilmuwan dan para filsuf sangat membutuhkan model berpikir seperti ini.

Para pendiri bangsa ini, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan lainnya, merupakan orang-orang yang radikal secara etimologi, dan bukan orang-orang yang fanatik, terutama dalam pengertian fanatisme agama. Dalam istilah politik, ‘radikalisme’ merujuk pada individu atau gerakan yang memperjuangkan perubahan sosial atau sistem politik secara menyeluruh. Secara leksikal, ‘radikal’ bisa dipertukarkan dengan ‘fundamental’ karena keduanya memiliki arti yang mirip. Namun secara istilah politik, keduanya sangat berbeda. Fundamentalisme mengacu pada kepercayaan atau gerakan agama yang ortodoks atau konservatif. Namun dalam beberapa definisi populer, radikalisme juga meniscayakan kekerasan. Artinya, dalam kaca mata radikalisme, perubahan sosial tersebut bisa dicapai jika melibatkan unsur kekerasan di dalamnya.

Secara bahasa, radikalisme memiliki standar. Ukurannya bisa berupa kejelasan dalam hal pemikiran, logis, substansial, dan sistematis. Seorang radikalis mampu memahami setiap persoalan sampai ke akar-akarnya, sehingga dapat memberikan jawaban yang jelas, relevan, dan menyeluruh. Orang yang radikal tidak mudah terjebak pada nalar yang dangkal atau irasional. Karena itu, sebenarnya radikal memiliki makna yang cukup positif dan progresif.

Secara istilah,  menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikalisme terbagi menjadi tiga makna yang berbeda. Makna yang pertama, radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik. Kedua, radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, dan ketiga, radikalisme adalah sikap ekstrem dalam aliran politik.

Istilah ‘radikal’ dikenal pertama kali setelah Charles James Fox memaparkan paham tersebut pada 1797. Saat itu, Charles James Fox menyerukan ‘reformasi radikal’ dalam sistem pemerintahan di Britania Raya (Inggris). Reformasi tersebut dipakai untuk menjelaskan pergerakan yang mendukung revolusi parlemen di negara tersebut. Sangat politis sekali.

Lain halnya dengan fanatisme. Istilah ini tepat jika dipertukarkan dengan fundamentalisme. Dalam konteks teologis,  keduanya selalu mengandaikan kemurnian atau purifikasi agama yang pada kenyataannya mustahil, karena konteks dan realitas yang terus bergerak. Golongan fundamentalis cenderung menganggap dirinya lebih murni atau suci, saleh dan benar sendiri, tanpa dibarengi nalar kritis. Hal itu karena fanatisme juga dipahami sebagai sebuah faham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan.

Menurut Azyumardi Azra, karakteristik fanatisme adalah perlawanan terhadap modernitas, sekularisasi dan tata nilai Barat, serta penolakan terhadap gerak historis dan sosiologis yang membuat mereka mudah terperangkap dalam aksi atau tindakan kekerasan.

Fanatisme juga bisa dicirikan sebagai ideologi yang berusaha untuk terus memelihara nilai-nilai terdahulu dan menghadirkan berbagai memorial masa lalu ke masa sekarang. Jargon-jargon seperti kembali kepada Qur’an dan Hadis, Khilafah, NKRI Bersyariah, dan semacamnya merupakan bentuk konkrit dari pemikiran semaca ini.

Namun, tentu kita tidak naif. Kemunculan fanatisme agama mirip dengan radikalisme. Ia lahir dalam sebuah konteks. Salah satu pemicu yang paling kuat adalah ketimpangan kondisi sosial politik dan ekonomi sebuah masyarakat. Ketidakpuasan atas kondisi yang dipenuhi ketidakdilan dalam berbagai sektor kehidupan, dari sistem pemerintahan yang korup akibat ulah segilintir elit-elit politik dan oligarkis yang licik kemudian direspon dengan gagasan kembali kepada ajaran agama yang luhur, yang dulu pernah sukses membawa Islam pada masa keemasan di zaman Nabi, misalnya.

Dalam kasus di Indonesia, dan dunia pada umumnya, istilah radikalisme selalu dipakai sebagai sebuah istilah untuk melihat upaya politik sebuah kelompok untuk merealisasikan keinginannya secara koersif (paksaan). Dalam sejarah Islam, fenomena ini bisa dilacak pada masa kekhalifahan ke tiga, Ali bin Abi Thalib. Pada masa itu, muncul golongan Khawarij yang konon merupakan akar dari fanatisme agama hingga saat ini. Kaum Khawarij inilah yang pertama kali memunculkan wacana tentang mendirikan ‘hukum Allah’ hingga berani mendustakan Imam Ali dan melabelinya sebagai ‘kafir’.

Mereka adalah suatu aliran yang memutuskan meninggalkan pasukan Ali bin Abi Thalib karena adanya ketidakpuasan terhadap keputusan sang Khalifah. Ali menolak permintaan Muawiyah untuk menangkap dan menghukum pembunuh Usman. Ali berpendapat bahwa yang paling penting untuk dilakukan saat itu adalah menstabilkan kondisi yang sangat kacau, baru kemudian memproses para pelaku pembunuhan Usman. Ketidaksepakatan tersebut akhirnya yang memicu munculnya kaum khawarij dan melahirkan perang saudara yang dikenal dengan Perang Siffin.

Kesimpulan saya adalah bahwa fanatisme dalam konteks keagamaan bisa melahirkan radikalisme. Asumsi ini mengandaikan bahwa orang fanatis belum tentu radikal, namun orang radikal sudah tentu fanatis. Bedanya sangat samar memang. Namun yang pasti adalah bahwa fanatisme masih dalam wujud paham ideologis, sedangkan radikalisme sudah pelan-pelan mewujud melalui sebuah perjuangan untuk mengubah sebuah sistem. Jika ia kemudian terjadi secara riil dan menciptakan keresahan sosial, maka ia naik kelas menjadi terrorisme. Secara politik, radikalisme jelas jauh lebih berbahaya daripada sekedar fanatisme. Namun fanatisme juga tetap memegang peranan dalam melahirkan radikalisme.

Oleh karena itu, memberantas fanatisme bukan berarti tidak lebih penting dari membasmi radikalisme. Segala hal yang berlebihan jelas tidak akan menciptakan kebaikan. Begitu juga, ambisi yang sangat dipaksakan sehingga berujung teror juga bukan sebuah perkara yang bisa diabaikan. Kita sebagai umat beragama yang menjunjung konsep wasatiyah setidaknya menyadari hal ini sekaligus mengedukasi orang di sekitar kita agar tidak terjebak di pusaran fanatisme dan radikalisme agama.