Saya pertama kali bertemu Pak Mahfud pertengahan tahun 1990an, beberapa waktu setelah dia menyelesaikan disertasi di UGM di bawah supervisi Prof. Afan Gaffar almarhum. Pak Afan adalah Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM yang pernah menjadi Pembantu Rektor 1 UII. Posisi Pak Afan di UII belakangan digantikan oleh Pak Mahfud.
Saya saat itu adalah asisten Pak Afan, dan beberapa kali melihat Pak Mahfud datang ke ruang kerja Pak Afan, entah membahas apa. Waktu Pak Afan dikukuhkan sebagai guru besar ilmu politik di UGM, Pak Mahfud turut membantu beberapa urusan, dan memberikan testimoni di media massa.
Setelah reformasi, Gus Dur menjadi presiden RI. Pak Mahfud dibawa oleh angin politik ke Jakarta. Saya saat itu baru saja berangkat ke Australia dan tak bayak mengikuti kabar politik terbaru secara langsung. Tapi saya menyimak dari media bahwa Pak Mahfud diangkat menjadi menteri pertahanan. Jabatan ini dipegangnya selama sekitar 11 bulan, lalu dia beralih menjadi menteri hukum dan perundang-undangan dalam masa yang sangat singkat, sekitar 20 hari.
Saat itu saya agak terkejut karena seingat saya Pak Mahfud tak memiliki hubungan dekat dengan Gus Dur. Bahkan terus terang saja, karena dia bekerja di UII dan dekat dengan Pak Afan, sementara di NU saya tak terlalu paham posisi dia, saya pun sempat mengira bahwa Pak Mahfud adalah seorang Muhammadiyah. Memang dia orang Madura, dan mayoritas orang Madura adalah NU. Tapi di kalangan warga Madura di Yogyakarta saat itu beredar guyonan seperti ini: orang Madura yang sudah bersekolah tinggi biasanya bermetamorfosa menjadi Muhammadiyah. Jadi wajar toh, kalau saya saat itu sempat menduga bahwa Pak Mahfud barangkali sudah bermetamorfosa juga.
Yang terkejut mendengar kabar bahwa dia diminta oleh Gus Dur menjadi menteri nampaknya bukan hanya saya. Beberapa orang lain juga. Pak Afan bahkan sempat mengutarakan kekhawatirannya bahwa jabatan sebagai menteri dalam sebuah kabinet yang mengarungi gelombang politik keras ini hanya akan menjadi “kuburan” bagi Pak Mahfud. Dalam pandangan almarhum, dunia politik di Jakarta bukan tempat yang akan nyaman bagi akademisi muda dari Yogyakarta yang tak memiliki pijakan kuat di partai politik. Apalagi, cantolan di Gus Dur juga belum tentu kuat, sedangkan Gus Dur sendiri belum tentu bertahan lama. Sebagai analis politik yang berpengalaman, Pak Afan sudah menduga sejak awal bahwa basis kekuasaan Gus Dur sangatlah labil.
Saya pun saat itu merasakan kekhawatiran yang sama: bahwa jabatan di kabinet dalam sebuah era yang penuh turbulensi politik itu akan menjadi kuburan politik bagi Pak Mahfud.
Ketika Gus Dur dilorot dari kekuasaan, tak urung Pak Mahfud pun turut terjungkal dari kursi di kabinet. Saya ketika itu menduga bahwa dia akan kembali menjadi akademisi di kampusnya, dan tak lagi memiliki peluang politik signifikan di Jakarta.
Tapi dugaan saya salah. Selama masa yang singkat di kabinet itu, Pak Mahfud rupanya berhasil membangun pijakan politik yang cukup signifikan di tingkat nasional lewat Partai Kebangkitan Bangsa. Dia kemudian kembali ke orbit politik pusat dengan menjadi anggota DPR dari PKB.
Selama masa antara tahun 2000 hingga 2008 itu saya banyak berada di Australia, dan nyaris tak pernah bertemu lagi dengan Pak Mahfud, kecuali beberapa kali berpapasan di pesawat. Saya “bertemu” dengannya lewat buku berjudul Setahun Bersama Gus Dur yang ditulisnya tahun 2003. Saya baru bertemu langsung dengannya tahun 2005 ketika PKB mengundang saya untuk hadir sebagai observer dalam acara Munas Alim Ulama PKB di Sukolilo, Surabaya, tahun 2005. Saat itu PKB sedang dirundung konflik. Gus Mus dalam sambutannya di acara itu menyesalkan mengapa para elit politik di PKB tak segera mengambil langkah islah. Saya berbincang sesaat dengan Pak Mahfud yang dalam masa itu dituding bermain dengan dua kaki dalam konflik PKB. Dia datang agak diam-diam, seperti menghindari media massa.
Sepulang saya dari Australia, Pak Mahfud sudah menjadi ketua Mahkamah Konstitusi. Cahaya politiknya rupanya benderang terus. Belakangan kita tahu dia membantu Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2014 melawan Joko Widodo. Namanya sempat banter dibahas sebagai cawapres yang akan mendampingi Jokowi dalam pilpres 2019. Tapi ternyata Jokowi memilih yang lain.
Untuk sementara, Pak Mahfud memang tak melompat ke puncak, tapi jelas-jelas dia tak masuk ke “kuburan” seperti dugaan saya dan Pak Afan di tahun 2000 itu. Dia ternyata memiliki nyawa rangkap dalam politik. Mari kita lihat ke mana angin politik akan membawanya.