Masyarakat yang hobi sesrawungan, berkumpul, tentu tidak lepas dari budaya minum kopi. Kopi bisa saja kita sebut minuman sosial, minuman yang kerap diminum sambil berbincang, bertukar pikiran antar sesama. Warung-warung kopi di seluruh pelosok tanah air membentuk budaya ngopi secara komprehensif dalam masyarakat – baik dalam ngopi itu ia minum kopi atau tidak.
Sebagai satu komunitas sosial yang koheren, lingkungan pesantren adalah satu komunitas yang tidak bisa dilepaskan dari budaya kumpul-kumpul, diskusi, sedikit merumpi, dan tentu saja minum kopi. Kaum santri amat menyadari bahwa kopi adalah satu entitas yang tidak bisa dilepaskan dari rutinitas keseharian mereka.
Santri sehari-hari sedikit banyak pasti bersinggungan dengan ilmu-ilmu agama. Fikih, tasawuf, etika, rutinan hapalan dan sorogan, adalah aktivitas sehari-hari. Karena keterkaitan yang begitu erat dengan kajian agama, terutama kajian turats, maka minum kopi, ternyata juga menjadi diskursus yang dikupas berbagai aspeknya.
Salah satu produk pesantren Nusantara yang mengupas budaya minum kopi, adalah Irsyadul Ikhwan fi Bayanil Qohwah wad Dukhan, karya Syekh Ihsan bin Dahlan asal Jampes. Jampes, sebagaimana diketahui, adalah salah satu daerah yang terletak di daerah Kediri, Jawa Timur. Kitab tersebut telah diterjemahkan menjadi buku Kitab Kopi dan Rokok.
Ternyata persoalan minum kopi dalam syariat Islam menjadi cukup pelik. Dalam bab mengenai perihal kopi, Syekh Ihsan Jampes, menjelaskan bahwa pada mulanya meminum kopi menjadi polemik karena adanya “efek ajaib” yang ditimbulkan. Kopi, dianggap minuman yang membahayakan, karena bisa mengganggu pikiran, serta menyebabkan susah tidur.
Namun ulama selanjutnya mengemukakan, kopi tidak menghilangkan akal dan berefek buruk seperti khamar sebagaimana diprediksikan. Karena itu, kopi boleh diminum, dihukumi mubah. Pendapat ini didukung Syekh Ibnu Hajar al Haitami dan Imam ar Romli, dua begawan fikih terkemuka di kalangan mazhab Syafii.
Beberapa argumen yang dikemukakan mencakup bahwa kopi, memiliki dampak yang baik bagi tubuh. Ia meningkatkan kewaspadaan, menggairahkan ibadah, serta mencerahkan pikiran. Jika dianggap kopi adalah suatu perantara untuk melakukan hal-hal yang baik, dan ia bukan sesuatu yang haram, maka ia dibolehkan. Kaidah yang disebutkan: “al wasailiyyah yu’tha laha hukmul maqashidiyah”. Perantara bisa diberikan hukum sebagaimana tujuannya.
Seiring perkembangan, ternyata kopi begitu digemari karena sekian manfaatnya terhadap aktivitas kerja maupun ibadah. Di Eropa, konon semenjak kopi diperkenalkan secara luas, ia dianggap sebagai minuman yang misterius, namun memiliki pesona. Ia dianggap memunculkan inspirasi. Disebutkan dalam syair Irsyadul Ikhwan fi Bayanil Qohwah wad Dukhan, bahwa setidaknya ada lima faedah minum kopi: menambah kecerdasan, membantu pencernaan, mengurangi dahak, memperbaiki aroma mulut, serta membantu aktivitas sehari-hari.
Saat ini tentu saja sudah banyak kajian lebih lanjut mengenai kopi baik secara kultural, studi lingkungan, maupun secara medis. Namun sebagai suatu kekayaan alam yang diciptakan Tuhan – toh juga tidak diharamkan, minum kopi bisa menjadi satu wujud syukur. Selamat menunaikan “ibadah ngopi”.