Ngopi dalam Sejarah Islam: Antara Fatwa Ulama dan Telaah Medis

Ngopi dalam Sejarah Islam: Antara Fatwa Ulama dan Telaah Medis

Ngopi dalam Sejarah Islam: Antara Fatwa Ulama dan Telaah Medis
Ilustrasi: Twitter/@islamisciencenet

Ngopi adalah bagian integral dalam keseharian banyak orang. Tanpa ngopi, tiada semangat menyongsong hari. Efek minum kopi pada tubuh cepat terasa bagi sekian peminumnya, barangkali termasuk Anda. Kedai-kedai kopi bermunculan, menyediakan suasana dan rasa. Ngopi adalah satu cara terbaik menghibur diri sendiri.

Sebelum kopi menjadi suatu budaya, ia adalah bahan diskusi panjang masyarakat muslim khususnya pada era sebelum abad pertengahan. Sebagaimana dicatat Ralph S. Hattox dalam Coffee and Coffeehouses-The Origins of a Social Beverage in the Medieval Near East, kopi notabene bukanlah minuman yang berasal dari dataran Arab, sehingga ia adalah sesuatu yang baru bagi masyarakat. Sebelum sampai di dataran Arab, kopi sudah banyak diminum orang Yaman, Persia, serta sebagian Afrika. Para peminumnya menyadari bahwa dari biji-bijian hitam yang ditumbuk halus ini, lalu diseduh, tiap seruputnya mampu “mencerahkan” pikiran.

Fisiologi manusia tidak banyak berubah selama ratusan tahun, dan efek minum kopi pada manusia dari zaman kuno hingga kini mirip belaka. Efek semangat dan menghilangkan penat juga kantuk itu dipertanyakan oleh para ulama. Apakah ia meracuni dan menghilangkan akal, sebagaimana arak dan khamar? Efek minum kopi ini yang menjadi debat para ulama seputar status hukum meminumnya. Secara standar syariah kebanyakan ulama: ia belum dipandang memabukkan (iskar).

Salah satu diskusi ulama tentang kopi ada di Mekkah tahun 1511, melalui peran sosok bernama Khair Beg – salah satu gubernur Dinasti Utsmaniyah. Ia mempertimbangkan pendapat para mufti setempat yang berargumen bahwa segala hal itu asalnya mubah (al ashlu fil asy-ya’ al ibahah), sampai tampak adanya madlarat dalam barang tersebut. Guna memperjelas soal adanya dampak buruk dalam kopi, Khair Beg mengundang dua dokter dari Persia untuk menjelaskan efek-efek yang dapat dimunculkan kopi.

Ulama bersikap pro dan kontra soal kopi. Salah satu ulama bernama Muhammad bin Mahmud al Zaini al Husaini yang hidup pada abad ke-16, menyusun sebuah risalah kecil tentang adanya dampak buruk kopi pada fisik. Dalam risalahnya ia menyebutkan bahwa para ahli medis maupun agama terlalu boros waktu menekuni hal-hal yang sudah beres diajarkan para pendahulu sehingga meski kopi kian populer, tidak ada pergerakan untuk melakukan riset tentang efeknya yang turut menentukan hukum meminum kopi.

Riset seputar kopi mulai banyak seiring meningkatnya konsumsi kopi di dunia Islam. Muslim yang meminum kopi, bersandar pada kaul ulama yang membolehkannya – begitupun sebaliknya ada kalangan yang merujuk ulama yang mengharamkan kopi. Para ulama dan ahli medis masih menemukan bahwa kopi dapat melanggengkan penyakit di samping ada keterangan bahwa kopi juga tidak berbahaya untuk tubuh.

Diskursus bahasa menyertai debat kebolehan dan efek minum kopi ini. Dalam bahasa Arab, dikenal kata bunn – artinya biji kopi. Dalam kasus ulama maupun ahli medis yang melarang kopi, hukum minum kopi dalam Islam membutuhkan info dari para ahli, karena tidak ada larangan eksplisit syariah untuk kopi. Biji kopi itu legal, tapi meminumnya tidak. Demikian kata sementara ulama.

Diketahui bahwa pengetahuan kedokteran masyarakat Arab era Dinasti Abbasiyah diadaptasi dari Yunani. Basis pengetahuan kedokteran ilmuwan Yunani seperti Galen atau Hippokrates memaparkan bahwa manusia memiliki empat elemen penyusun: air, bumi/tanah, api dan angin – yang memberi aspek sifat kering, dingin, panas, lembab, dan sebagainya.

Kopi, ketika ditinjau dengan kerangka teori empat elemen tersebut, menjadikan para dokter sedikit bingung. Para dokter ini mengasumsikan bahwa biji kopi memiliki aspek kering dan dingin. Aspek dalam kopi inilah yang dipandang bisa memicu suatu kondisi tubuh yang kala itu disebut dengan gejala melankolia – ditandai rasa tenang yang dalam. Padahal efek kopi tidak hanya menenangkan, tapi juga merangsang pikiran.

Baiklah jika ngopi segelas dua gelas tidak berdampak buruk bagi tubuh, sehingga status keharamannya bisa ditangguhkan. Namun bagaimana untuk ngopi terlalu banyak? Para dokter kala itu menyangka bahwa rasa tidak nyaman akibat kebanyakan kopi, mesti diatasi dengan peresepan obat tertentu. Kalangan pro-kopi menilai hal tersebut berlebihan, karena kebanyakan keluhan akibat kebanyakan kopi “hanyalah” susah tidur – padahal justru ia bisa memicu kerja dan ibadah di malam hari.

Ngopi berlebihan ini menjadi perhatian para ulama dan ahli kesehatan. Konon sepengetahuan mereka saat itu, kopi dianggap bisa bikin wasir dan sakit kepala berulang. Kopi juga dilaporkan dapat memicu penurunan nafsu makan, bahkan pada taraf tertentu, menurunkan gairah seksual. Dahulu minum kopi yang disarankan adalah yang polosan, tanpa dicampur apapun termasuk susu atau gula. Orang-orang biasa tidak ngopi dalam perut kosong, sehingga kedai kopi mulai banyak dibuka dengan turut menyediakan camilan dan makanan.

Pada akhirnya, beberapa debat soal kopi itu menemukan titik temu. Bagi para kritikus, kopi dipandang memiliki efek buruk – tapi dalam kondisi tertentu saja. Untuk kalangan pro-kopi, hampir kesemuanya mengingatkan bahwa jumlah kopi berlebihan itu tidak baik bagi tubuh bagi orang yang memang tidak kuat ngopi banyak-banyak.

Kesimpulannya kurang lebih begini: bagi yang tidak cocok ngopi, ya jangan memaksa ngopi; dan bagi yang doyan kopi, hendaknya menyadari batasan jumlah kopi yang bisa diminum. Demikianlah jalan tengah dialog ulama dan ahli medis soal kopi kurun abad ke-17.

Dengan demikian alasan haram atau halalnya kopi menjadi diskusi para ulama dan ahli medis dipicu dua hal: kopi sebagai sesuatu yang baru di Arab, serta efek “aneh” yang dirasakan setelah meminumnya. Apapun kesimpulannya, dunia telah menerima kopi. Kedai-kedai kopi yang terus bertumbuh agaknya meniadakan perdebatan macam-macam soal kopi. Entah Anda percaya atau tidak, ngopi mungkin salah satu cara terbaik menikmati dunia. Udah pada ngopi belom?