Pada masa lalu santri sering melakukan tradisi rihlah ilmiyah dengan melakukan pengembaraan keilmuan dari satu pesantren ke pesantren lain. Mereka melakukan pencarian ilmu pengetahuan ke banyak kiai dengan tujuan memperoleh pengetahuan yang beragam sesuai dengan keahlian yang dimiliki oleh kiainya. Hal ini mengingatkan kita akan sejarah pengembaraan intelektual sarjana Islam di era klasik. Para pelajar hadis seperti Imam Bukhari misalnya, ia melakukan pengembaraan intelektual dari satu tempat ke tempat lain hanya ingin memperoleh satu riwayat hadis.
Pengembaraan ilmu yang demikian dalam konteks santri di Nusantara disebut dengan “santri kelana” (santri yang mengelana/mengembara mencari guru dan ilmu ke berbagai tempat). Tradisi santri kelana terbentuk karena beberapa hal yang di antaranya adalah spesifikasi keahlian yang dimiliki oleh pesantren dan kiainya sangat beragam. Hal ini ditambah lagi dengan belum adanya “standarisasi” kurikulum pesantren sebagaimana yang terjadi dalam bentuk pendidikan pesantren sekarang. Pola atau sistem madrasah yang telah digunakan oleh hampir semua pesantren hari ini hampir memiliki struktur kurikulum yang secara umum sama.*)
Hal ini berbeda dengan tradisi pesantren di masa lalu di mana spesifikasi pendalaman ilmu pengetahuan antara satu pesantren dengan pesantren lain berbeda. Misalnya, pesantren A memiliki spesifikasi keilmuan di bidang ilmu alat (nahwu/sharaf/balagah), sedangkan pesantren B memiliki pendalaman pada mata pelajaran hadis. Pesantren C di bidang lainnya lagi. Oleh sebab itu, santri di pesantren A yang merasa telah cukup mumpuni dalam bidang ilmu alat dan ingin mendalami ilmu lain akan segera meninggalkan pesantren asalnya untuk kemudian pindah ke pesantren dengan spesifikasi yang dicarinya. Pola demikian inilah yang menjadikan para santri melakukan pengembaraan keilmuan ke sejumlah pesantren-pesantren di negeri ini. Santri kelana. Lalu bagaimana dengan sekarang? Apakah masih ada santri kelana?
Ngaji Posonan Sebagai Pelanjut Tradisi Santri Kelana
Setiap tahun di bulan Ramadan sejumlah pondok pesantren dengan corak “salafiyyah” mengagendakan pengajian Ramadan (pasaran, kilatan, posonan, pasanan). Kegiatan ini merupakan agenda tahunan sejumlah pesantren. Pengajian ini biasanya digelar mulai awal bulan hingga pertengahan bulan Ramadan. Pengajian diadakan dengan sistem bandongan (Kiai membacakan kitab dan santri mendengarkan).
Kitab-kitab yang dikaji sering berbeda-beda antara satu pesantren dengan yang lainnya. Biasanya sesuai dengan keahlian yang dimiliki oleh Kiainya. Kitab yang dikaji dibaca dari awal hingga khatam. Untuk menyiasati keterbatasan waktu (sekitar lima belas hari) kitab yang dibaca biasanya kitab-kitab yang relatif tipis. Meski ada juga yang membaca kitab-kitab besar, kitab induk (babon) seperti shahih bukhari, dan lain sebagainya. Karena diadakan di bulan Ramadan yang dimana pesantren-pesantren salafiyah baik yang menggunakan sistem madrasah maupun yang klasikal telah meliburkan santri-santrinya, maka banyak di antara santri-santri yang memanfaatkan bulan Ramadan ini dengan melakukan pengembaraan intelektual ke pesantren lainnya. Biasanya mereka mencari pesantren-pesantren yang diasuh oleh Kiai kharismatik selain kiai di mana ia menjadi santri tetap di pesantren tersebut. Selain sebagai bagian dari rihlah ilmiyyah, ngaji pasaran ini diniatkan oleh sebagian santri sebagai bentuk tabarrukan (ngalap berkah). Bahkan tidak sedikit dari para alumni pesantren yang masih menyempatkan diri untuk “mondok” lagi dengan mengikuti kegiatan ini.
Pada titik ini, pengembaraan intelektual seorang santri ke pesantren-pesantren di bulan Ramadan merupakan bentuk baru dari tradisi santri kelana di masa lalu. Kini, dengan kecanggihan teknologi, para santri, alumni, atau siapa pun dan di manapun berada (memiliki kuota dan jaringan internet) bisa “nostalgia” atau mencicipi menjadi santri kelana dengan mengikuti pengajian yang sudah banyak disiarkan secara langsung di dunia maya. Berkeliling dari satu kiai ke kiai lainnya di berbagai daerah hanya dengan menggerakkan tombol gadget atau keyboard laptop. Sekali lagi, tentu harus memiliki kuota data atau “nebeng” mencari wifi gratisan.
*) Di beberapa pesantren di bumi Sunda dan mungkin juga di daerah lainnya seperti -pesantren yang pernah penulis singgahi untuk “ngaji pasaran”- di Warudoyong Sukabumi, Gasol Cianjur masih mempertahankan takhassus atau spesifikasi bidang keilmuan tertentu.