Indonesia Bukan Negara Sekuler

Indonesia Bukan Negara Sekuler

Indonesia Bukan Negara Sekuler

Auguste Comte pernah mengatakan bahwa saat ini dunia telah memasuki era positivistik yang ditandai dengan cara berpikir serba rasional. Ujung di balik masyarakat yang rasionalistik adalah sekularisasi di mana aspek agama dianggap sebagai sesuatu yang irasional sehingga agama akan ditinggalkan oleh masyarakat modern.

Peter L Berger dalam The Secret Canopy juga menyebut bahwa masyarakat modern secara perlahan akan menanggalkan persoalan agama di ruang publik, baik yang bersifat subjektif maupun objektif. Sekularaisasi objektif dimaknai secara struktural yang berarti adanya pengasingan agama dari ruang publik, sedangkan sekularisasi subjektif dimaknai sebagai hilangnya kepercayaan agama dalam pengalaman manusia

Donald E Smith dalam Religion and Political Development (1970) menegaskan bahwa sekularisaasi merupakan prasyarat modernisasi. Salah satu tanda dari sekularisasi adalah pemisahan antara pemerintah dengan ideologi keagamaan dan struktur kegerajaan. Dari pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa sekularisasi secara inherent ada dalam tubuh modernisasi. Masyarakat yang telah termodernkan akan menanggalkan agama dari ranah publik dan mereka akan meragukan peran agama dalam kehidupan sehari-hari.  Itu semua telah tergantikan oleh rasionalitas manusia yang dinilai mampu menjawab segala bentuk persoalan duniawi, sehingga agama tidak dibutuhkan lagi.

Di saat Perang Dingin telah usai dan dimenangkan oleh Amerika, negara bekas jajahan memasuki era yang disebut dengan modernisasi. Penandanya adalah liberalisasi ekonomi dengan membuka ruang investasi asing di negara bekas jajahan. Salah satu negara yang menerapkan prinsip itu adalah Indonesia.

Pada saat itu, Indonesia sedang dalam masa transisi dari era Orde Lama ke Orde Baru. Berbagai kebijakan politik Orde Baru ditegakkan untuk mendukung proyek modernisasi tersebut. Pemberlakuan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) No 1/1967 dan masuknya PT Freepot asal Amerika di Indonesia adalah bukti bahwa Indonesia sedang memasuki masa modernisasi.

Maka selanjutnya muncul pertanyaan, apakah Indonesia akan menuju sekularisasi sebagaimana tesis dari dunia modern itu sendiri?

Menarik untuk diperhatikan lebih lanjut, sebab sikap negara waktu itu justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Negara yang dibangun oleh rezim Orde Baru menerapkan ideologi developtemalisme dalam aspek pembangunan namun tidak mengambil bentuk sekularnya modernisme. Aneh memang, namun itu adalah fakta yang tampak sejak Indonesia dalam masa modernisasi.

Praktik politik yang ditampilkan oleh Orde Baru seakan menggagalkan tesis sekularisme dari Donald E Smith dan Peter L Berger bahkan juga Auguste Comte. Ada beberapa argumentasi untuk memperkuat bahwa Orde Baru tidak menerapkan sekularisasi namun hanya mengambil bentuk modernisasi saja. Pertama, Orde Baru akan mengebiri orang-orang yang tidak beragama resmi, bahkan waktu itu bisa dianggap sebagai simpatisan komunis.

Kebijakan itu secara tersirat mendorong masyarakat yang tidak beragama untuk memeluk salah satu agama yang diakui oleh negara. Jika sudah, maka negara tidak akan mencap ia sebagai bagian dari PKI. Ketakutan yang diberikan oleh negara nyatanya mampu meningkatkan jumlah penduduk Indonesia yang beragama. Narcio dalam Chirstianization in New Orde Indonesia (1965-1998) menemukan ada penambahkan jumlah penganut agama Katolik sebesar 7,45%, begitu juga dengan perkembangan jumlah pemeluk Islam waktu itu. Pada intinya, negara ‘memaksa’ orang yang tidak beragama untuk memeluk agama resmi yang diakui oleh pemerintah. Ini merupakan suatu kebijakan yang bertolak belakang dengan virtue modernisme.

Kedua, dari aspek struktrual negara tidak membubarkan kementerian agama sebagai representasi kepengurusan agama dalam negara. Malah, di awal program Pelita Orde Baru, Kementerian Agama di isi oleh cendekiawan muslim yang berjasa dalam proyek pengembangan ilmu keislaman di kemudian hari yakni Mukti Ali.

Kemunculan Mukti Ali sebagai ketua Kemenag seakan ingin menegaskan bahwa modernisasi itu sesuai dengan misi agama. Mukti Ali yang dikenal sebagai ahli perbandingan agama dan lulusan McGill Kanada memperkenalkan wacana baru dalam membaca agama dalam realitas modern. Sosok Mukti Ali dianggap sebagai panutan oleh pemikir muda muslim saat itu seperti Nucholish Madjid, Djohan Effendi, Harun Nasution, dan kolega lainnya. Mereka dikenal sebagai cendekiawan muslim yang mampu menorehkan jasanya dalam mengembangkan keilmuan Islam di tengah modernisasi Orde Baru.

Selanjutnya yang tak kalah penting keberadaan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partai yang mengakomodasi politik umat Islam. Meski secara struckural tidak bisa menandingi Golkar namun keberadaannya cukup diperhatikan sebagai salah penyanggah argumentasi bahwa dunia modern itu identik dengan sekular. Asumsinya adalah jika Orde Baru mengagendakan proyek modernisasi maka PPP sebagai representasi agama dalam ruang politik tidak akan pernah ada.

Diakuinya peran Kementerian Agama dan keberadaan PPP telah mampu mempengaruhi negara untuk mengurusi persoalan keagamaan. Masih pada era Pelita, Orde Baru memberlakukan untuk pertama kalinya hukum Islam sebagai hukum positif (Lex Positiva/Lus Constitutum) yang tercantum dalam UU RI No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Negara mayoritas muslim yang menerapkan sekular seperti Turki pasti heran melihat kebijakan tersebut. Sebab, negara yang bukan Islam namun mampu memberlakukan hukum Islam sebagai hukum positif yang dapat digunakan oleh semua agama.

Terlepas dari citra Orde Baru yang hegemonik, kebebasan berekspresi di persekusi, dan berbagai tindakan lainnya, namun dibalik itu semua proyek modernisasi yang diwujudkan tidak menampilkan wajah yang sekular. Pada intinya, Indonesia mampu menampilkan wajah dinamis antara dunia modern, berikut dengan virtue-virtuenya, dengan agama sehingga dapat berjalan beriringan.