Sebuah karya sastra tidak lahir dari sebuah kekosongan budaya. Sebaliknya, ia lahir dari adanya dinamika, kejadian, tragedi, gejolak hati, dan bahkan pandemi. Karenanya, sering kita temui banyak karya sastra yang memuat pesan-pesan kehidupan dan lain sebagainya.
Salah satu karya sastra yang lahir dari adanya sebuah fenomena pandemi adalah karya sastra puisi yang berjudul Kuulira gubahan Nazik al-Malaika. Nazik al-Malaika dikenal sebagai figur sastrawati modern terkemuka yang mendukung pergerakan dengan tulisan-tulisan kritisnya di era 1950 an.
Puisi Kuulira (kolera) sendiri merupakan salah satu karya sastra yang dilatarbelakangi efek emosional dari menyebarnya penyakit Kolera. Ya, sejarah mencatat bahwa Kolera telah menjadi penyakit menular yang telah menyebar ke tingkat dunia. Kolera sendiri awal mulanya muncul di Calcuta (Kolkata, sebuah daerah yang ada di India) kemudian menyebar sampai Mesir dan beberapa negara lain, seperti Irak yang merupakan tempat kelahiran Nazik al-Malaika.
Sebagaimana kita tahu bilamana di tahun 1947 M Mesir terserang wabah penyakit menular yaitu Kolera. Waktu itu, terdapat sedikitnya 300 sampai 1000 jiwa yang meninggal tiap harinya akibat penyakit menular tersebut.
Di titik keprihatinan itulah Nazik al-Malaika—saat itu sedang tinggal di Mesir—kemudian mengungkapkan penderitaan masyarakat akibat Kolera, lewat sebuah karya sastra yaitu puisi yang berjudul Kuuliraa. Puisi itu memahat sebuah situasi duka-cita, kesedihan, penderitaan dan ketakutan akan kematian jiwa manusia akibat Kolera yang dialami oleh rakyat Mesir dan dunia.
Dalam puisi yang berjudul Kuulira tersebut, Nazik al-Malaika menitipkan sebuah pesan bahwa sebuah pandemi telah membuat kehidupan manusia menjadi monoton dan merasa tidak nyaman. Mereka hanya bisa memohon pertolongan kepada Tuhannya masing-masing. Mereka merasa seakan hidup sendiri dan seolah tidak ada siapa-siapa lagi. Bahkan, para penggali kubur pun tidak ada yang membantu jenazah para masyarakat yang meninggal, karena kelewat horor bin mematikannya penyakit menular tersebut.
Gambaran-gambaran ketakutan dan kesedihan tersebut, bisa kita simak lewat puisi Nazik al-Malaika yang salah satu penggalan puisinya sebagaimana berikut:
سكن الليل
Malam tenang
أصغ إلى وقع صدى الانات
Dengarlah tanda rintihan yang menggema
في عمق الظلمة، تحت الصمت، على الاموات
Di kegelapan yang kelam, dalam keheningan, terdapat kematian
صراخات تعلو، تضطرب
Jeritan meninggi, menyakitkan
حزن يتدفق، يلتهب
Sedih mengalir, meradang
يتعثر فيه صدى الاهات
Di sana ada gejolak rintih yang bersautan
في كل فؤاد غليان
Di setiap hati yang mendidih
في الكوخ الساكن احزان
Dalam gubuk sunyi bersemayam kesedihan
في كل مكان روح تصرخ في الظلمات
Di setiap kegelapan ada ruh yang menjerit
في كل مكان يبكي صوت
Di mana-mana terdengar suara tangisan
هذا ما قد مزقه الموت
Inilah robekan kematian
الموت الموت الموت
Kematian, kematian, kematian
Lewat penggalan puisi di atas kita sekurang-kurangnya jadi tahu betapa duka-cita, ratapan kesedihan manusia, dan penderitaan masyarakat karena Kolera begitu mencekam.
Kini sebuah virus menular yang bernama Corona (COVID-19) kembali mengguncang dunia. Banyak umat manusia yang berduka, menderita, dan ketakutan akibat pandemi menular bin mematikan yang sudah banyak menelan korban jiwa itu. Banyak tempat dan fasilitas umum ditutup untuk menghindari penyebaran virus Corona tersebut, bahkan orang-orang harus melakukan kegiatannya dari rumah dan mengurung diri untuk terhindar dan menghindari penularan penyakit yang memulai debutnya di Wuhan akhir tahun lalu.
Di tengah kekalutan dan ke-tidak-tentuan akibat “keterbatasan” gerak dan akses, mari kita gunakan keadaan ini untuk berkarya dan saling membantu satu sama lainnya. Plus, mengajak dan mengingatkan untuk sama-sama berikhtiar dengan melaksanakan himbauan para tenaga kesehatan, serta bertawakal dengan selalu berdoa kepada Sang Maha Kuasa, alih-alih malah menebar kepanikan dan berita bohong di tengah kesedihan banyak umat manusia.
BACA JUGA Hadis Nabi Menunjukkan Wabah adalah Peristiwa Alami, Bukan Konspirasi ATAU Artikel-artikel Menarik Lainnya