Nazik Al-Malaika, Membela Hak-hak Perempuan Lewat Karya Sastra

Nazik Al-Malaika, Membela Hak-hak Perempuan Lewat Karya Sastra

Nazik Al-Malaika, Membela Hak-hak Perempuan Lewat Karya Sastra

Dalam dunia Islam, tokoh-tokoh perempuan memang sedikit yang mendapat sorotan termasuk dalam dunia sastra. Hal tersebut dikarenakan peran perempuan yang kalah menonjol dengan peran lai-laki di segala bidang. Salah satu perempuan yang mempunyai pengaruh penting dalam dunia sastra adalah Nazik al-Malaika, seorang sastrawan yang dikenal sebagai pembaharu sastra modern.

Nazik al-Malaika lahir di Baghdad pada 23 Agustus 1923 M, dengan nama lengkap Nazik Shaadiq Ja’far al-Malaika. Dalam perjalanan kehidupannya, dia besar di lingkungan yang cinta ilmu dan sastra, karena ayahnya adalah penyair dan juga seorang guru sastra yang pernah menjadi editor ensiklopedi setebal 20 jilid. Sedangkan ibunya yang bernama Salma Abd Al-Razzaq juga seorang penyair, yang mempunyai karya antologi puisi berjudul Unsyudah Al-Majad.

Lewat lingkungan dan keluarganya itulah, sejak kecil Nazik sudah bersentuhan dengan sastra klasik. Selain itu, dia juga menguasai ilmu nahwu dan banyak membaca serta mempelajari sumber-sumber berbahasa Arab. Bahkan dia pernah membaca karya Al-Jahiz yang berjudul Al-Bayan wa at-Tabyin dalam waktu delapan hari, serta dalam sehari ia banyak membaca buku sebanyak delapan jam.

Pendidikan S1nya sendiri ditempuh di Fakultas Adab di Baghdad dan selesai tahun 1994 M. Ketika kuliah, Nazik beberapa kali mempublikasikan karyanya yaitu puisi di surat kabar dan majalah. Setelah lulus S1, Nazik kemudian melanjutkan magisternya di Amerika Serikat dengan mengambil studi sastra Inggris dengan beasiswa di Universitas Princeton, New Jersey dengan fokus sastra bandingan dan selesai tahun 1950 M.

Tahun 1954 M, Nazik melanjutkan studi doktornya di negara yang sama, yaitu di Universitas Wisconin, sebagai utusan dari Universitas Irak. Tahun 1957 M, ia kembali ke Irak dan menjadi dosen di salah satu Universitas yang ada di sana. Setelah itu, ia pindah ke Universitas Bashrah.

Tahun 1959-1960 M, Nazik meninggalkan Irak dan menetap di Beirut. Di sinilah, ia banyak membuat karya dan juga berbagai kritik sastra. Setelah itu, ia kembali ke Irak lagi untuk mengajar sastra Arab di Universitas Bashrah. Pada tahun 1964 M, ia dijadikan istri oleh Rektor Universitas Bashrah yaitu Dr. Abd Al-Hadi Mahbubah. Selain itu, ia juga pernah berkunjung ke Kuwait bersama sang suami dan menjadi tenaga pengajar di Kuwait pada tahun 1985 M. Setelah pulang dari dari Kuwait, ia kemudian kembali ke Irak lalu pindah ke Kairo untuk menjalani pengobatan matanya.

Sejak muda, Nazik sudah tertarik dengan puisi-puisi Arab modern yang ditulis oleh Muhammad Hasan Ismail, Badawi Al-Jabal, Umar Abu Raisyah dan lainnya. Sebagai seorang penulis, namanya muncul di publik pada tahun 1947 M dengan karya pertamanya yang berjudul Asyiqoh al-Lail. Di mana tema-tema kekecewaan, keputusasaan, serta romantisme sangat kental terhadap kesusastraan Arab pada tahun 1930-an dan 1940-an.

Salah satu puisinya yang menjadi pendobrak pembaharuan dalam puisi Arab modern atau dikenal dengan puisi bebas adalah Al-Kulira yang dibuat pada tahun 1947 M. Puisi ini dilatarbelakangi efek emosional dari wabah penyakit kolera yang menyebar dari Mesir ke Irak pada tahun 1947 M. Dan pada tahun 1949 M, Nazik memunculkan karya keduanya yang berjudul Syazaya wa Ramad.

Di tengah kesibukannya sebagai seorang sastrawan, dia juga pernah memberikan pembelaan kepada hak-hak perempuan. Di mana ia pernah memberikan dua ceramah tentang posisi perempuan dalam masyarakat patriarki yaitu Perempuan Antara Kepasifan Dan Moral Positif serta Fragmentasi dalam Masyarakat Arab pada tahun 1950-an.

Tahun 1957 M, Nazik menerbitkan kembali sebuah antologi puisinya yang ketiga dengan judul Qararah Al-Maujah, yang mana sumber inspirasi dari antologi ini adalah revolusi 14 Juli 1958 M. Kemudian disusul dengan penerbitan karya tentang kritik sastra yang berjudul Qadaya al-Syi’r al-Mu’asir pada tahun 1962 M. Dan berbagai karya sastra lainnya seperti Yughayyir al-Wanah al-Bahr, Li a-Salah wa as-Saurah dan lainnya.

Achmad Athoillah dalam karyanya Leksikon Sastrawan Arab Modern (Biografi Dan Karyanya) menjelaskan, bahwa setelah ditinggal suaminya, hidup Nazik penuh dengan keguncangan dan ketidaktentuan. Bahkan sebagian surat kabar ada yang memberitakan tentang kematiannya walaupun ia masih hidup.

Menurut Nazik, seorang penyair memiliki kebebasan untuk memilih cara pengungkapan sesuai apa yang diinginkannya. Nazik Al-Malaika mempunyai peran besar dalam dunia sastra, dengan berbagai tawaran konsep dan pembaharuan dalam membuat sebuah karya sastra, khususnya puisi bebas. Yang mana terkait gagasan-gagasannya tersebut, bisa dibaca dalam karyanya yang berjudul Qadaya Al-Syi’r Al-Mu’asir.

Nazik Al-Malaika adalah satu di antara banyak perempuan yang mempunyai kiprah dan peran penting dalam dunia keilmuan, hal ini menunjukkan bahwa perempuan juga mempunyai peran penting dalam membangun sebuah peradaban. Dengan kontribusinya dalam dunia sastra mengantarkannya mendapat berbagai penghargaan. Nazik Al-Malaika meninggal 20 Juni 2007 di usianya 84 tahun dan dimakamkan di Kairo. Ia meninggal dengan mewariskan berbagai karya sastra yang hingga kini banyak dikaji oleh para pengkaji sastra.