Salah satu produk konstitusi yang masih seksi diperdebatkan hingga kini adalah soal Undang-undang Penetapan Presiden (PNPS) 1965 soal penodaan dan penistaan agama. Sebenarnya, tujuan penetapan Undang-undang ini bagus yaitu mencegah penyalahgunaan dan penodaan agama. Tetapi, kenyataannya, UU ini tidak pernah tepat sasaran. UU PNPS justru rawan disalahgunakan dengan dalih agama. UU ini dapat dengan mudah disalahgunakan oleh oknum atau institusi sehingga mereka tidak boleh dikritik dan bahkan bisa membuat mereka kebal hukum.
Bagi sebagian pihak, UU PNPS sering salah sasaran karena pada dasarnya ukuran penistaan agama sangat relatif. Penodaan menurut siapa dan bagaimana bentuknya. Misalnya, sebagian Muslim akan merasa agamanya dinista ketika ada yang mengatakan kalau Muhammad bukanlah Nabi. Namun, sebagian Muslim yang lain merasa tidak ada penistaan dalam pernyataan tersebut. Pun, sebagian umat Kristen mungkin akan merasa agamanya dinista ketika mendengar orang lain berkata bahwa Yudas menggantikan Yesus disalib. Namun, sebagian umat Kristen lain tidak merasa agamanya dinista ketika mendengar pernyataan yang sama.
Jadi, pasal UU PNPS akan selamanya menjadi pasal karet karena parameternya yang tidak konkret. UU PNPS ujung-ujungnya hanya akan jadi ajang adu kekuatan massa. Artinya, hukum cenderung akan tunduk pada tekanan massa ketika berurusan dengan Undang-undang Penistaan Agama. Orang-orang yang tidak bersalah, menjadi bersalah hanya karena tekanan massa.
6 Desember 2022 lalu, pemerintah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi KUHP. Dalam prosesnya, RKUHP banyak diuji oleh berbagai pihak. Beberapa kalangan merasa bahwa ada 14 isu krusial dalam RKUHP yang belum maksimal. Salah satu dari 14 isu krusial itu adalah soal delik keagamaan, atau yang biasa disebut delik penodaan agama. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, delik ini dianggap sebagai persoalan sensitif serta perlu hati-hati dalam pembahasan dan perumusan normanya karena berkaitan dengan persoalan keagamaan yang sering menimbulkan ketegangan sosial. Pasca pengesahan, menarik untuk mengamati, bagaimana KUHP yang baru mengakomodir pasal PNPS yang cenderung problematis itu.
Sebenarnya, delik keagamaan, terutama terkait penodaan agama, sudah berkali-kali, paling tidak lima kali, diuji materi ke Mahkamah Konstitusi, baik terkait UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama; atau Pasal 156; 156a dan 157 KUHP. Dari lima kali uji materi selama 2009-2018, putusan MK masih konsisten,yaitu delik keagamaan dipandang sebagai sesuatu yang konstitusional dan tak bertentangan dengan UUD 1945.
Sebagian pihak yang menginginkan UU itu dihapus mengatakan bahwa selama ini, UU PNPS 1965 dilihat sebagai mekanisme negara untuk melindungi (umat) agama resmi yang diakui negara. Dalam konteks ini, UU PNPS mengeksklusi agama lokal, kepercayaan adat, dan penghayat kepercayaan. Kasarnya, (umat) agama-agama resmi di Indonesia diberi “imunitas” dari penistaan, penodaan, dan ujaran kebencian. Negara memfasilitasi “ketersinggungan” umat agama resmi negara. Hak istimewa yang tidak dimiliki oleh penghayat Sapta Darma, misalnya.
Dalam RKHUP, yang sekarang telah menjadi KUHP, tindak pidana terhadap agama rupanya masih dipertahankan. Namun, ada beberapa materi yang mengalami perbaikan. Delik keagamaan dalam KUHP baru dituangkan dalam enam pasal, Pasal 302-307. Ada beberapa catatan evaluasi soal delik penistaan agama. Pertama, munculnya kata “kepercayaan”, baik di judul Bab VII maupun di pasal-pasalnya. Judul Bab VII “Tindak Pidana terhadap Agama, Kepercayaan dan Kehidupan Beragama”. Bab ini dibagi dalam dua bagian; 1) Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan (Pasal 302-304); dan 2) Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah (Pasal 305-307).
Penyebutan kata “kepercayaan” ini sangat krusial karena menunjukkan adanya afirmasi bahwa kelompok Penghayat Kepercayaan juga bagian dari warga negara yang berhak mendapat perlindungan hukum yang lebih kuat, bukan hanya boleh hidup, melainkan juga perlindungan dari kemungkinan adanya tindak pidana dari seseorang, terutama terkait kepercayaannya.
Mengutip tulisan Rumadi Ahmad, perumusan norma delik keagamaan juga telah diformulasi menjadi lebih baik dengan lebih diarahkan pada perbuatan permusuhan dan ujaran kebencian. “Penodaan agama” lebih dikonkretkan pada perbuatan yang mengandung permusuhan dan ujar kebencian. Perumusan ini bisa dilihat di Pasal 302; “Setiap Orang Di Muka Umum yang; a. melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan; b. menyatakan kebencian atau permusuhan; atau c. menghasut untuk melakukan permusuhan, Kekerasan, atau diskriminasi, terhadap agama, kepercayaan, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V”.
Melalui perbaikan di pasal 302 ini, negara nampak membaca adanya kemungkinan pasal delik penodaan agama digunakan secara semena-mena. Artinya, pihak-pihak yang salah omong atas dasar ketidaktahuan atau keceplosan, tanpa ada intensi untuk menghasut, membenci, atau memusuhi, maka tidak bisa dipidana dengan pasal 302 tersebut. Pasal 302 itu juga tidak bisa digunakan untuk mempidanakan seseorang hanya karena ia berbeda penafsiran atau berselisih paham keagamaan.
Perbaikan pasal juga terlihat pada pasal 305-307 soal delik pidana terkait Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah, seperti larangan mengganggu orang yang sedang menjalankan ibadah di tempat ibadah; gangguan itu dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, merintangi atau membubarkan pertemuan keagamaan atau kepercayaan, atau orang yang sedang melaksanakan ibadah (Pasal 305). Pasal 306 melarang setiap orang di muka umum melakukan penghinaan terhadap orang yang sedang menjalankan atau memimpin penyelenggaraan ibadah atau upacara keagamaan atau kepercayaan.
Di atas kertas, pasal 305 dan 306 bisa menjadi justifikasi dan basis tagih kepada negara bagi umat beragama yang selama ini dipersekusi ketika beribadah. Sebut saja umat Ahmadiyah dan Syiah. Kasus perusakan masjid, gangguan saat pelaksanaan ibadah, dan persekusi rumah ibadah harusnya bisa ditanggulangi melalui kedua pasal ini. Jika negara sudah bersikap inklusif dengan memasukkan “kepercayaan” dalam perbaikan pasal UU PNPS, maka harusnya negara juga inklusif untuk juga memfasilitasi keragaman dalam internal umat Islam.
UU PNPS tidak seharusnya menjadi ruang pertarungan massa di Indonesia. Jika memang pada akhirnya UU PNPS tetap menjadi bagian dari konstitusi negara, maka setidaknya UU PNPS tidak lagi menjadi hulu dari segala diskriminasi. Meski belum bisa memuaskan semua pihak, namun secara umum, negara telah menunjukkan gestur positif terhadap pemenuhan hak-hak warganya dengan terus memperbaiki delik keagamaan dari waktu ke waktu.