Meninjau Penghapusan Frasa “Penodaan Agama” dalam KUHP Terbaru

Meninjau Penghapusan Frasa “Penodaan Agama” dalam KUHP Terbaru

Penghapusan frasa “penodaan agama” dalam KUHP yang baru, bukan berarti penghapusan delik agama. Justru, ini merupakan satu langkah untuk menghindari pelebaran makna, yang pada akhirnya menyebabkan tindak pidana penodaan agama dapat ditafsirkan secara luas dan multi-interpretasi

Meninjau Penghapusan Frasa “Penodaan Agama” dalam KUHP Terbaru

“Agama itu bukan di baju. Agama itu ada di hati. Inti agama adalah kemanusiaam” ~ Agustinus Wibowo

Di Indonesia, kontroversi yang berkaitan dengan (pasal) “penodaan agama” seringkali membangun polarisasi di masyarakat, yang pada derajat tertentu, bisa menjurus menjadi perpecahan. Hal ini bisa dipahami, mengingat substansinya yang berhubungan dengan keyakinan pribadi, menjadikan setiap orang seolah-olah memiliki kepentingan dalam kejadian tersebut.

Merespon ketegangan yang makin berkembang di masyarakat, terlebih mengenai hal-hal yang berhubungan dengan agama, dirumuskanlah “delik agama”, sebagai satu instrumen untuk menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan agama.

Delik agama diatur agar mampu secara presisi menjerat seseorang yang diduga melakukan kejahatan terhadap agama. Kendati demikian, delik agama perlu dimaknai secara tepat agar tidak menambah konflik di tengah masyarakat. Pemaknaan dan transformasi delik agama sangat penting dilakukan untuk menjamin hak asasi manusia sejaligus menghindarkan masyarakat dari konflik sosial.

Jika mengacu pada KUHP yang baru, meskipun tidak secara langsung menyebut frasa “penodaan agama”, namun penodaan agama dimaknai dan disimbolkan dalam peristiwa: (a) melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan; (b) menyatakan kebencian atau permusuhan; (c) menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi terhadao agama, kepercayaan orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia.

Dalam penjelasanya, ketentuan ini berarti bahwa perbuatan yang dapat dipidana adalah, pertama, perbuatan orang atau kelompok orang yang mengakibatkan terjadinya kekerasan, diskriminasi, atau permusuhan terhadap orang atau kelompok lain berdasarkan agamanya. Kemudian juga dijelaskan bahwa perbuatan yang bersifat objektif, ilmiah, dan disertai usaha menghindar dari penghinaan, maka tidak akan terkena sanksi pidana.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa rumusan pidana dalam ketentuan ini berada pada konteks perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan ketegangan sosial dalam suatu masyarakat. Ia tidak mencampuri konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta perbedaan keyakinan atau penafsiran yang mainstream terhadap suatu agama.

Ketentuan mengenai makna dan batasan penodaan agama dalam KUHP yang baru ini tentu lebih jelas dan lebih bisa diterima. Karena sebelumnya, ketentuan serupa juga pernah diatur dalam Pasal 156a (KUHP lama) yang bersumber dari UU No.1/PNPS/1965, yang sebelumnya dikenal dengan Penetapan Presiden No. 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Di dalamnya terdapat aturan mengenai larangan di muka umum untuk menyebarkan dan melakukan perbuatan penafsiran terhadap agama yang dianggap menyimpang. Kasus Gafatar, Tajul Muluk, Andreas Guntur, dan Ahmadiyah adalah sebagian contoh di mana ajaran mereka dinyatakan menyimpang atau sesat dan dipidana dengan pasal penodaan agama.

Sehubungan dengan itu, menurut Prof. Dr. Musdah Mulia,M.A, negara tidak berhak mengakui atau tidak mengakui suatu agama; negara juga tidak berhak memutuskan mana agama yang resmi dan tidak resmi. Negara pun tidak berhak mengklaim kebenaran tafsir agama dari kelompok mayoritas dan mengabaikan tafsir kelompok minoritas.

Lebih lanjut, menurutnya, negara cukup menjamin dan memfasilitasi agar setiap warga negara dapat menjalankan agama dan peribadatanya dengan aman dan nyaman. Negara tidak semestinya menetapkan kesahihan suatu ajaran agama atau bentuk peribadatan yang harus dan tidak harus dilakukan oleh warga negara.

Begitulah, agama atau keyakinan adalah adalah persoalan iman dan hati seseorang, yang memiliki keterikatan erat otoritas Tuhan. Akan sangat sulit bagi seseorang dan institusi untuk mengubah iman dan keyakinan seseoang, sekalipun dengan paksaan dan berbagai aturan hukum.

Penekanan terhadap keyakinan seseorang atas nama kebenaran dan aturan perundang-undangan hanya menembus dimensi simbolik formal. Artinya, bisa saja secara ritual formal, seseorang menerima suatu ajaran agama karena takut pada tekanan masa atau ancaman hukum, tetapi dari lubuk hati yang aling dalam, ia tetap berpegang teguh kepada ajaran yang diyakininya.

Tidak selayaknya manusia, terlebih negara  melakukan pemberangusan terhadap agama dan keyakinan orang lain dengan jalan apapun,  dan atas nama apapun, termasuk dengan alasan menjaga kemurnian dan kesucian agama. Artinya, negara melalui peraturan perundang-undangan yang dibuatnya, hanya bisa melakukan tindakan terhadap ekspresi keberagamaan yang menyebabkan ketegangan sosial di tengah masyarakat.

Hukum dan perundang-undangan tidak memiliki otoritas, baik secara formal maupun material untuk mengadili keimanan seseorang. Seperti yang dijelaskan dalam konstitusi, bahwa kebebasan untuk meyakini agama dan kepercayaan adalah kebebasan yang tidak dapat dibatasi dengan pemaksaan, bahkan tidak dapat diadili, karena kebebasan demikian adalah kebebasan yang ada dalam pikiran dan hati seseorang yang meyakini kepercayaan itu (forum internum).

Selain itu, persoalan keimanan adalah persolan antara individu dengan Tuhanya, bukan antara indvidu dengan individu lainya.

Jika seorang individu mengurus-paksakan keimanan orang lain, hal ini tentu sangat berbahaya, karena bisa menyeret manusia dalam tindakan dzalim, yaitu menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Selain sikap dzalim, juga akan muncul arogansi teologi: merasa paling benar, paling mayoritas, sehingga bisa melakukan apapun terhadap kelompok lain yang tidak sama dengan kelompoknya atau kelompok yang dianggap menyimpang.

Ini bukan persoalan sekularisasi yang memisahkan antara yang sakral dengan yang profan, atau memisahkan urusan agama dengan urusan negara. Tetapi ini sebagai upaya untuk mendudukkan persoalan secara proporsional. Bagaimanapun, persoalan iman dan keyakinan seseorang, adalah persoalan sakral. Oleh karenanya, tidak bisa direspon dengan hukum dan perundang-undangan yang profan. Menghadapkan keimanan dengan undang-undang, tidak saja mengambil alih otoritas Tuhan, tetapi juga mendesakralisasi agama dan keimanan. Dengan kata lain, mengkriminalisasi keimanan seseorang, sama saja dengan mendegradasikan persoalan yang sakral menjadi profan.

Sebagaimana kita ketahui, hukum dan perundang-undangan yang dibuat manusia, hanya mampu mengatur hubungan antar manusia, artinya hukum positf hanya menjangkau ranah formal material yang positivistik dan profan, sementara masalah keimanan adalah masalah yang sangat abtrak, subyektif, dan sakral.

Menganai perbedaan tafsir dan pemahaman terhadap agama atau keyakinan, Islam telah memberikan tuntunan yang jelas untuk menghadapi persoalan seperti ini. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Nahl ayat 125 “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan cara-cara santun dan petuah-petuah yang baik dan berdebatlah dengan mereka dengan perdebatan yang baik”. Ayat ini menunjukkan kepada kita semua bahwa, untuk menjaga iman agar tetap berada di jalan Allah, hendaknya dilakukan dengan melakukan pendekatan secara persuasif dari hati ke hati, melalui nasehat yag santun dan dialog yang baik.  Ancaman pidana dan tekanan, tidak saja membuat dakwah tidak efektif, tetapi juga bisa menjadikan agama sebagai sumber konflik.

Namun, perlu ditegaskan bahwa regulasi negara dalam kehidupan beragama tetap diperlukan. Regulasi tersebut dibutuhkan demi perlindungan dan pemberdayaan warga negara, sama sekali bukan untuk tujuan intervensi atau membatasi hak kebebasan mereka. Artinya, regulasi tersebut hanya digunakan untuk menindak perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan intoleransi, disharmoni, disintegrasi, dan  ketegangan sosial dalam suatu masyarakat atas nama agama.

Akhirul Kalam, penghapusan frasa “penodaan agama” dalam KUHP yang baru, bukan berarti penghapusan delik agama. Justru, ini merupakan satu langkah untuk menghindari pelebaran makna, yang pada akhirnya menyebabkan tindak pidana penodaan agama dapat ditafsirkan secara luas dan multi-interpretasi. Selain itu, ini merupakan langkah monumental untuk menjaga dan melindungi keimanan setiap orang, dan mengembalikan agama kepada otoritas Tuhan. Harapannya adalah agar tidak terjadi overlapping antara otoritas manusia dengan otoritas Tuhan.