Nabi SAW dan Para Penyair (Bag. 2): Ketika Nabi SAW Mengkritik Para Penyair

Nabi SAW dan Para Penyair (Bag. 2): Ketika Nabi SAW Mengkritik Para Penyair

Selain mengapresiasi para penyair, Nabi juga memberi kritik. Apa saja kritiknya?

Nabi SAW dan Para Penyair (Bag. 2): Ketika Nabi SAW Mengkritik Para Penyair

Setelah kita menyimak beberapa hadis (dalam tulisan sebelumnya) yang menerangkan bahwa Nabi Saw mengapresiasi para penyair beserta puisi-puisinya, pada bahasan kali ini, kita masuk pada uraian hadis-hadis yang menunjukkan buruknya perilaku penyair berserta puisi-puisinya.

Berikut beberapa kritik Nabi SAW kepada Penyair

Pertama, Nabi Saw pernah mengutuk dan memberi peringatan kepada seorang penyair di hadapan para sahabatnya. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri, “Ketika kami sedang berjalan bersama Nabi Saw di al-’Araj, tiba-tiba seorang penyair membacakan puisi kepada kami. Nabi Saw pun bersabda: “Tahanlah setan itu! Lambung seseorang penuh dengan nanah lebih baik daripada penuh dengan puisi.”

***

Sebenarnya hadis tentang pelarangan ini memiliki Asbabul Wurud. Imam as Suyuthi dalam kitabnya, Asbabul Wurud al-Hadis, menjelaskan perihal sebab disabdakannya hadis ini. Nabi Saw bersama para sahabat lain sedang berada di kota al ‘Arj, jaraknya sekitar 78 mil dari Madinah. Kota ini merupakan tempat persinggahan para pelancong dan pendatang baru dari berbagai suku dan kota. Akulturasi budaya pun terjadi di kota ini. Pada saat itu, ada seseorang yang melantangkan sebuah puisi di depan umum, sekaligus di hadapan Nabi Saw.

Imam Ibnu Hajar al Asqalani dalam kitabnya, Fathul Bari, memberikan penjelasan lebih lanjut. Beliau menerangkan bahwa faktor munculnya celaan yang sangat keras dari Nabi Saw sebagaimana hadis di atas adalah sebuah peringatan bagi para penyair yang menyibukkan diri dan waktunya hanya dengan berpuisi. Sehingga Nabi Saw memperingatkan agar mereka kembali ke nilai-nilai ajaran Islam serta banyak mengingat Allah Swt.

Mengutip Ibnu Bathal, sebagian ulama berpendapat bahwa puisi yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah puisi-puisi yang mengandung hujatan terhadap Nabi Saw, sehingga Nabi Saw tegas melarang dan menyuruhnya berhenti dari puisi-puisi hujatan itu.

Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan lebih dalam, al-Mubarakfuri mengutipnya dalam Tuhfatul Ahwadziy, beliau menuturkan bahwa para ulama berpendapat, Nabi Saw mencela penyair tersebut karena beliau mengetahui sifat dan watak buruknya. Penyair tersebut dikenal sebagai seorang yang menjadikan puisi-puisinya sebagai jalan untuk mendapatkan penghasilan. Dia sangat berlebihan dalam memuji ketika diberi harta oleh penguasa. Dia pun berlebihan dalam mencela ketika tidak diberi, bahkan tidak sungkan mengolok-olok. Sehingga Nabi Saw mengutuk keras penyair yang bersifat tidak terpuji seperti ini.

***

Kedua, Sayidina Umar melarang pembacaan puisi di tempat ibadah. Dalam kitab Al-Muwaththa’ yang disusun oleh Imam Malik, diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin, Umar bin Khatab, membangun serambi masjid berukuran kecil. Lalu beliau berpesan:

“Barangsiapa ingin bersenda gurau, menyenandungkan puisi, atau mengeraskan suaranya, hendaklah ia keluar dari masjid dan melakukannya di halaman ini.”

Pelarangan ini, termasuk juga pelarangan menyenandungkan puisi, dilakukan untuk menghormati masjid sebagai tempat ibadah kaum muslim. Tidak ada hal yang mengganggu atau pun nirfaedah dilakukan di dalam area masjid. Adab menjaga ketenangan di tempat ibadah digalakkan oleh sayidina Umar agar jemaah dapat beribadah dengan khusyuk dan khidmat.

***

Ketiga, Allah Swt mengkritik para penyair-penyair yang tersesat. Sebagaimana yang termaktub dalam surah As-Syu’ara ayat 224—226:

Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat / Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah / Dan bahwa mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakannya.

Maksud ayat tersebut jelas mengkritik tindak-tanduk para penyair pada zaman itu yang gemar sekali bermain kata-kata, mengkhayal hingga lupa berzikir, tidak memiliki tujuan yang luhur serta tidak memiliki pendirian. Sifat-sifat mereka terkesan munafik, pandai retorika, dan sangat menyombongkan diri dan status kesukuannya.

Turunnya ayat ini juga mengejutkan para sahabat Nabi Saw.

Betapa tidak, Ka’ab bin Malik merasa galau sekali. Ia berniat untuk berhenti menulis puisi selama-selamanya. Ia merasa tersindir dengan turunnya ayat tersebut. Ia menganggap Allah Swt mengkritik kerja seninya selama ini. Demi mengatasi kegalaunanya, Ia pun menghadap Nabi Saw dan menyampaikan niatnya untuk berhenti menggubah puisi.

Mendengar kegalauan itu, Nabi Saw pun melegakan hati Ka’ab bin Malik.

“Seorang Mukmin itu berjihad dengan pedang dan lisannya,” sabda Nabi Saw.

Ka’ab bin Malik pun merasa sangat lega mendengar jawaban tersebut. Di tahun-tahun berikutnya, Ia semakin giat menggubah puisinya untuk berdakwah. Bahkan, puisi-puisi yang ditulisnya mampu menggetarkan dan meluluhkan hati suku Daus untuk menerima kebenaran, sehingga mereka secara sukarela memeluk Islam.

Lain lagi reaksi dari Hassan bin Tsabit. Bersama beberapa kawan penyair lainnya,  Ia beramai-ramai mendatangi Nabi Saw untuk mengkonfirmasi dan meminta penjelasan maksud dari ayat ini, ayat yang meresahkan seluruh penyair muslim dari kalangan sahabat Nabi Saw.

“Wahai Nabi, kami dulu memang begitu, bahkan kami selalu mengecam engkau.  Tapi sekarang, setelah kami menjadi muslim yang baik dan taat, kami sudah berubah. Bahkan kami jadi pembela-pembela Islam yang gigih melalui puisi-puisi kami,” ujar Hassan bin Tsabit mewakili para penyair lain dalam pertemuan tersebut.

Nabi Saw tidak langsung menanggapi “aksi protes” Hassan bin Tsabit. Tak lama kemudian, Nabi Saw menerima wahyu lanjutan dari Allah Swt untuk menanggapi hal tersebut. Ayat yang melegakan hati seluruh penyair dan mengukuhkan keinginan mereka untuk berjihad melalui kata-kata, melalui puisi yang mereka gubah. “Kecuali para penyair yang beriman, berbuat kebajikan, banyak mengingat Allah dan mendapat kemenangan setelah terzalimi –karena menyanggah puisi-puisi kaum kafir— Dan mereka yang zalim kelak akan tahu ke tempat mana mereka akan kembali.”

***

Antara Apresiasi dan Kritik Nabi SAW untuk Para Penyair; Kita Harus Bagaimana?

Setelah kita menyimak hadis-hadis yang mendukung dan menolak puisi, setidaknya ada satu hal yang dapat kita tarik sebagai kesimpulan. Nabi Saw memperbolehkan berpuisi, baik menggubah maupun membacakannya, selama tidak mengandung hal-hal yang terlarang dan sesuai dengan syariat. Kesimpulan ini juga didukung analisis dari pendapat para ulama.

Imam An-Nawawi berpendapat mengenai hukum membaca dan menggubah puisi, bahwa puisi itu hukumnya boleh selama tidak terdapat di dalamnya hal-hal yang keji dan sejenisnya. Syaikh Al-Mubarakfury menanggapi hadis yang melarang seorang penyair berpuisi, bahwa yang dimaksud dengan “memenuhi perutnya dengan puisi” adalah ketika puisi telah menyibukkan dirinya dari al-Qur’an dan ilmu-ilmu Islam lainnya, maka hal tersebut tercela.

Maka dari itu, Imam al-Bukhari dalam kitab sahihnya memberikan bab khusus tentang puisi dengan nama bab “Dibencinya Puisi ketika Lebih Mendominasi Manusia dari al-Qur’an dan Dzikir kepada Allah Swt”. Apabila seseorang masih menjadikan Al-Qur’an dan ibadah-ibadah lainnya sebagai prioritas, maka boleh baginya menggubah puisi dan membacakannya.

Penting untuk digarisbawahi, meski Nabi Saw membacakan, mendengar, bahkan mengapresiasi puisi, tetapi beliau tidak pernah menggubah atau menyusun puisi sendiri. Beliau bukan seorang penyair seperti yang dituduhkan para kaum kafir. Beliau hanya membacakan puisi karya para sahabat dengan cara memotong atau mengutip sebagian saja. Di antara hikmah larangan Allah Swt terhadap Nabi Saw untuk menggubah puisi adalah menegaskan bahwa beliau bersifat Ummy serta menjaga kedudukannya yang mulia sebagai pembawa risalah dari Allah Swt. Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt dalam Surah Yasin ayat 69:

“Dan kami tidak mengajarkan puisi kepadanya, sedangkan berpuisi itu tidaklah layak baginya. Al-Quran tidak lain adalah pelajaran dan Kitab yang memberi penerangan.” 

Wallahu a’lam.

(AN)

Ciputat, 21—25 Ramadan 1442 H