Nabi Muhammad: Manusia Sederhana, Seorang Ummi, atau Manusia Cerdas?

Nabi Muhammad: Manusia Sederhana, Seorang Ummi, atau Manusia Cerdas?

Nabi Muhammad sebenarnya seorang ummi atau orang yang cerdas? Kita bisa melihatnya dari beberapa catatan berikut.

Nabi Muhammad: Manusia Sederhana, Seorang Ummi, atau Manusia Cerdas?
Nabi Muhammad meletakkan hajar aswad di Ka’bah. (Jami al-Tawarikh)

Setidaknya ada empat (4) model studi tentang sosok Nabi Muhammad: (1) dari sisi sejarah filsafat, (2) dari perspektif sejarawan, (3) dari sisi studi Islam (Islamic studies), dan (4) model dakwah dari ulama Muslim. Mari kita lihat satu per satu.

Pertama, dari sisi sejarah filsafat. Miguel Asin Palacios (1871-1944), seorang orientalis Spanyol yang ahli Bahasa Arab dan Studi Islam, dalam “Kata Pengantar” buku The Mystical Philosophy of Ibn Masarra and His Followers (1914) menulis seperti ini: masyarakat Arab hidup dalam bumi yang tandus, dikelilingi gunung batu, sebagian besar masyarakatnya berprofesi pedagang yang tergabung dalam identitas suku-suku. Keyakinan keagamaan mereka, kalau bukan ateis, ya, para penyembah pagan. Sedikit suku saja di antara mereka yang memiliki kontak dengan tetangga mereka yang Yahudi, Zoroaster, atau beberapa sempalan Kristen.

Seluruh budaya sekuler mereka adalah empiris dan praktis (bukan reflektif, filosofis dan kontemplatif) sesuai dengan hajat kehidupan mereka saat itu. Tidak ada budaya reflektif, filosofis dan kecenderungan saintifik pada masyarakat Arab saat itu. Hanya puisi dan retorika yang menjadi seni perhatian mereka.

Dalam konteks masyarakat dan lingkungan model inilah Muhammad hidup. Muhammad, kata Palacios, tentu sangat terpengaruh oleh kondisi geografis dan sosial seperti itu, termasuk beliau dikelilingi oleh berbagai agama dan keyakinan. Oleh sebab itu, menurut Asin Palacios, Islam yang dibawa Muhammad tidak orisinal dan membawa ajaran yang sangat sederhana: tawhid, yakni mengesakan Tuhan Allah (nama Allah sendiri sudah dikenal oleh orang-orang Arab saat itu) sembari mengharamkan idolatry (pemujaan berhala) dan astrolatry (pemujaan benda-benda angkasa atau praktik penujuman) yang dianut oleh sebagian besar suku-suku Arab saat itu, dengan menggunakan ajaran monoteisme Yahudi dan Kristen Nestorian.

Meskipun Nabi Muhammad dengan tegas menolak doktrin Kristen soal Trinitas (yang rumit-filosofis) dan Inkarnasi, namun di saat yang sama, Nabi melalui wahyu, melestarikan dan meneruskan praktik keagamaan Yahudi dan Kristen seperti shalat, puasa, pembersihan diri (purification, tazkiyat al-nafs), zakat, haji, kisas dan lain-lain.

Pernyataan misi suci Muhammad bahwa beliau melanjutkan dan menyempurnakan secara definitif para Nabi dan wahyu Kristen, kata Palacios, semakin menggambarkan betapa sederhana sketsa dan formula ajaran Al-Qur’an itu. Menurut Palacios, dari sisi falsafi, dogmatika dan etika, muatan Al-Qur’an sangat miskin. Tuhan Allah yang digambarkan al-Qur’an adalah tuhan yang tiran, diktator dan despotik, yang maha kuasa yang cuma bisa memberi pahala dan menyiksa.

Ketika Islam menyebar luas ke luar Arabia: ke banyak negeri di Afrika Utara, Afrika Barat, Asia Tengah, Persia, hingga ke Eropa Barat, Islam kemudian dipeluk oleh muallaf-muallaf baru yang berlatar belakang Yahudi, Kristen (dalam banyak sektenya), Zoroaster, Hindu dan Buddha. Meskipun para muallaf itu telah memeluk agama baru, mereka tidak bersikap eksklusif. Sebagian besar muallaf yang memeluk Islam itu tetap mempertahankan kecintaan mereka yang mendalam terhadap budaya dan tradisi komunitas darimana mereka berasal (Yudaisme, Kristen, Hindu-Buddha, atau Zoroastrianisme).

Dalam Bahasa Asin Palacios, orang-orang non-Arab yang memeluk Islam itu, yang memiliki latar belakang kekayaan budaya dan tradisi filosofis, merasa tidak puas dengan gambaran atau doktrin Islam yang mereka terima, yang mereka anggap terlalu sederhana, tidak filosofis, dan kurang artistik. Akhirnya, kata Palacios, mereka mulai memikirkan secara nalar-rasional dogma-dogma kaum Muslim yang mereka terima dengan kebiasaan mereka sebagai Kristen, Yahudi, Zoroaster, Persia, Siria, Koptik, atau Bizantium, dan membandingkan dogma-dogma tersebut dengan standar norma dan prinsip filsafat Yunani, Romawi, Persia, India dan lain-lain. Maka yang terjadi kemudian adalah munculnya “bid’ah-bid’ah baru” dalam tatanan masyarakat Muslim yang baru saat itu.

Pada mulanya, Islam, melalui para ulama dan pengkhotbahnya, menolak keras infiltrasi doktrin agama-agama lain dan kultur Helenisme itu. Namun, menurut Palacios, ketika keadaan sudah tenang, dakwah sudah melembut, perang telah usai dan digantikan dengan kehidupan yang santai, damai, dan tentram di kota-kota mewah, diikuti dengan budaya halus, yang dibangun oleh kekhalifahan Abbasiyah, maka hasrat ingin tahu dan ingin mendalami filsafat, astronomi, logika, fisika, dan kedokteran tak bisa dibendung lagi.

Para khalifah Abbasiyah berjasa besar dalam memperkenalkan ilmu-ilmu Yunani melalui terjemahan karya-karya seperti Plato, Aristoteles, Porphyry, Alexander Aphrodias, Hippokrates, Galenus, Euklid, dan Protomoeus (Ptolemy). Terjemahan-terjemahan ini dilakukan dari Bahasa Syria ke Arab oleh para penerjemah Kristen Nestorian, Syria dan Kaldean (Chaldea) dalam posisi mereka sebagai dokter-dokter istana yang melayani para khalifah. Al-Manshur, khalifah kedua Abbasiyah, dan cucu hebatnya, Al-Ma’mun, menunjukkan antusiasme tinggi dan luar biasa pada upaya penerjemahan ini selama abad ke-8 dan 9 Masehi. Fakta historis ini kemudian memunculkan apa yang disebut sebagai “kosmopolitanisme Islam”.

Jadi, dalam gambaran Asin Palacios, Nabi Muhammad di Mekkah dan Madinah adalah pribadi yang sederhana, tidak canggih, tidak punya citarasa filsafat dan saintifik-intelektual. Islam menjadi “hebat” dan “mercusuar peradaban” setelah kontak dan mengambil banyak dari tradisi filsafat Yunani, Persia, Kristen, Zoroaster, Hindu dan lain-lain. Orientalis seperti Asin Palacios ini ada banyak. Saya ambil contoh Palacios saja sebagai representasi yang lain.

Komentar saya: (1) Jika melihat sejarah Islam, terutama abad pertengahan dan masa modern, ada kelompok-kelompok Muslim konservatif yang ingin mengikuti dan meniru Nabi secara literal (harfiah); ingin meniru semua aspek kehidupan Nabi. Tetapi yang terjadi kemudian adalah bahwa mereka cenderung menolak filsafat, anti sains, dan menolak nalar dalam memahami agama. Mereka mengkampanyekan Islam yang tertutup dengan dalih: tidak ada pada masa Nabi atau tidak pernah dipraktikkan oleh Nabi. Dengan fakta adanya kelompok-kelompok konservatif itu, maka pandangan Asin Palacios tidak sepenuhnya salah.

(2) pandangan Asin Palacios tentang “bid’ah-bid’ah baru” dalam Islam tidak sepenuhnya benar. Mengapa? Karena Al-Qur’an sendiri sangat kaya dengan ide-ide dan rumusan filosofis, sains, dan panduan moral spiritual Selama periode 13 tahun di Mekkah dan 10 tahun di Madinah, Nabi Muhammad sejatinya sudah menerima wahyu yang mengandung gagasan filosofis dan saintifik.

Kita bisa mengonfirmasi kedua hal itu jika kita membaca Al-Qur’an secara cermat dan komprehensif. Namun, orang-orang beriman pengikut Nabi di Mekkah dan di Madinah, kira-kira menurut Nabi, akan sulit menerima dan mempraktikkan gagasan-gagasan filosofis dan saintifik tentang Tuhan, manusia, kosmos dan jagad raya ini karena berbagai alasan, misalnya mereka adalah orang-orang yang baru memeluk Islam dan tidak memiliki kultur filosofis dan saintifik.

Karena itulah, Nabi melalui banyak hadis dan sunnahnya, lebih menekankan aspek akidah, ibadah (ritual) dan etika (moral Islam). Fakta ini tidak menghilangkan fakta-fakta lain yang tersebar luas dalam ratusan ayat-ayat Al-Qur’an tentang gagasan filosofis yang rumit dan dasar-dasar sains (sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat, kedokteran dll).

Kedua, berbeda dengan Asin Palacios sebelumnya, Juan Cole, sejarawan dan Profesor Sejarah di Universitas Michigan, USA, dalam karya terbarunya Muhammad Prophet of Peace Amid the Clash of Empires (2018) menggambarkan sosok Muhammad sebagai sosok yang cerdas dan jenius. Menurut Cole, sebagai pedagang, Muhammad melakukan perjalanan jauh ke negeri negeri tetangga Jazirah Arabiah: Yerusallem, Gaza, Bostra, Damaskus, dan beberapa tempat lain.

Menurut Cole, Muhammad sangat mungkin menikmati kolam-kolam dan kebun-kebun yang indah di Petra Siria yang bersumber dari rangkaian kanal dan saluran air yang rumit sebagai fitur yang paling mencolok. Muhammad dan rombongannya memasuki gerbang besar Bostra dan lewat di bawah gerbang kemenangan Romawi. Muhammad pasti menemukan bahwa Bostra, yang sudah lama menjadi keuskupan, mayoritas penduduknya beragama Kristen dan beberapa desa di sekitarnya kemungkinan menyembah berhala.

Muhammad dan para musafir-pedagang ini tinggal di biara biara Kristen yang sering dipakai sebagai penginapan kafilah dan pastinya mengagumi lukisan, mosaik halus, dan marmer marmer yang indah. Di tempat-tempat ini, Muhammad mendapati tradisi orang orang Kristen Timur Dekat yang terlalu monastik dan asketik. Muhammad, sebagai seorang pemuda berlatar belakang non Kristen dengan kehasuan akan spiritualitas, pastinya bersemangat mendiskusikan gagasan gagasan agama dengan para monoteis non Yahudi serta dengan para biarawan, yang ketika remaja dulu pernah berjumpa dengan Rahib Buhaira di Damaskus.

Dengan perjalanan yang luas, Muhammad pasti berkenalan dengan hukum, budaya, dan bahasa Romawi. Menurut Juan Cole, Muhammad tidak buta huruf; dia pasti memiliki budaya literasi alias melek huruf. Dia mengetahui Alkitab, mungkin dalam versi tertulis bahasa Aram dan tradisi lisan Arab, mungkin juga dalam bahasa Yunani. Dalam usia 30an, Juan Cole menduga, dahaga batin Muhammad membawanya ke biara biara Kristen, kuil kuil aneh, sinagoge sinagoge Yahudi, dan pertemuan pertemuan dengan kaum Neoplatonis di Damaskus dan Bostra.

Secara politik, ketika Muhammad berusia 35 tahun, kata Cole, ia pasti menyaksikan dengan ngeri pecahnya perang dunia dahsyat pada tahun 603 Masehi yang menghancurkan dua kekaisaran dan mengantarkan tatanan dunia baru. Pasukan Iran Sasaniah bergerak menuju kekaisaran Romawi, menjarah dan membakar seluruh kota, membantai ribuan dan memulangkan puluhan ribu para pengrajin berharga (seniman, pedagang, profesional) ke ibu kota mereka di Ctesiphon. Periode perang brutal ini membuat orang orang berfikir bagaimana cara membuat perdamaian baru.

Tiga pusat kekuatan kekaisaran Romawi Timur adalah para pejabat, para uskup, dan para biarawan yang masing masing memiliki visi perdamaian sendiri. Para uskup punya inisiatif dalam bentuk ordo atau perkumpulan untuk menengahi perselisihan. Para biarawan mencari keselasaran dengan Tuhan melaui keimanan soliter, penentraman, dan ibadah khusyuk. Pemerintah mengajukan proposal perdamaian melalui perjanjian, negosiasi, dan kadang kadang melalui perang defensif.

Dalam konteks ini, menurut Cole, Muhammad sering merenung tentang visi perdamaian baru atau ideologi alternatif dari model model konflik, perselisihan dan tawaran perdamaian saat itu. Menurut catatan Cole, Muhammad sebagai seorang yang memiliki moral yang sangat tinggi mencari kedamaian batin, melakukan perenungan di suatu gua batu terpencil: gua Hira, gelisah menyaksikan masyarakat Arab yang tidak beradab, dan menolak penyembahan berhala dari orang orang sezamannya.

Dalam perenungan tentang ideologi alternatif itulah Muhammad menerima banyak wahyu yang berisi “Jalan Tengah” antara penyangkalan diri asketik dari tradisi monastik Kristen Siria dan hedonisme orang orang Persia yang royal di satu sisi, serta hedonisme yang ditunjukkan oleh festival-festival orang orang Hijaz yang didedikasikan kepada dewa-dewi.

Di sisi lain, Muhammad menerima agama baru, Islam sebagai agama yang damai, yang menghendaki perdamaian dan menghindari konflik kekerasan. Islam Muhammad juga mengakui sebagian ajaran Kristen dan Yahudi yang menghormati kesucian, mengagungkan cinta kasih, dan menghormati umat manusia. Ajaran damai Islam Muhammad adalah “Jalan Tengah”, baik secara politik maupun secara teologis di antara tradisi monastik asketis Kristen Romawi dengan hedonisme Persia, serta di antara tradisi kerahiban Kristen yang permisif dengan tradisi Yahudi yang literal, kaku, dan keras. Sebagai sejarawan, Juan Cole melacak sumber-sumber primer dan sekunder serta naskah-naskah otoritatif abad ke-7 tentang semua informasi di atas.

Jadi, menurut Tesis Juan Cole, meskipun Nabi memang menerima wahyu dari Tuhan, namun ia sendiri adalah seorang pembelajar dan intelektual yang cerdas, yang sudah kontak dengan berbagai agama dan tradisi filsafat sebelum ia menjadi Nabi. Ini mirip dengan teori “isti’dad” Ibn Arabi. Meskipun Ibn Arabi dan para sufi filosofis lainnya menerima semacam “ilham” atau “ladunni” dari Allah namun mereka sendiri sebagai lokus (mahall) atau tempat turunnya ladunni itu memang sudah cerdas, sudah berjumpa dengan berbagai ilmu pengetahuan, filsafat dan teologi. Mereka punya puluhan bahkan ratusan guru spiritual dan intelektual. Ketika ladunni itu “turun” mereka sudah siap (isti’dad) menerima, meracik dan mengolahnya menjadi doktrin tasawuf-falsafi yang jenius.

Ketiga, Studi yang dilakukan oleh beberapa sarjana Barat modern yang ahli dalam bidang Studi Islam (Islamic studies) yang menggambarkan Nabi dalam citra yang positif dan sangat simpatik (bersahabat) tapi tetap kritis. Beberapa di antara mereka adalah Karen Armstrong, atau Annemarie Schimmel yang menulis, And Muhammad is His Messenger, atau Martin Lings (yang kemudian masuk Islam dengan nama Abu Bakar Sirajuddin) yang menulis, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources, atau Montgomery Watt yang menulis, Muhammad: Prophet and Statesmen, juga Watt yang menerjemahkan sirah nabawiyah karya At-Thabari ke dalam bahasa Inggris menjadi Muhammad at Mecca and Muhammad at Medina.

Sebagian mereka menggambarkan nabi sebagai sosok yang agung dengan catatan-catatan yang puitis. Sebagian menggambarkan Nabi sebagai manusia biasa dengan kualitas moral yang tinggi, cerdas, dan perhitungan yang cermat. Meskipun Nabi dipotret dalam gambaran yang positif dan simpatik, sebagian mereka tetap bersikap kritis, terutama kepada sumber-sumber klasik Islam.

Keempat, model sirah-sirah nabawiyah (biografi Nabi) yang ditulis oleh banyak ulama Muslim (teolog) sejak Abad Pertengahan hingga masa modern dengan tujuan dakwah: mengajak kaum Muslim untuk mencintai dan meneladani Nabi. Karena tujuan dakwah, maka sirah-sirah itu tidak ditulis secara akademik-kritis, kritis terhadap sumber-sumber yang dirujuk. Isinya sepenuhnya berisi puja-puji kepada Nabi tanpa sikap kritis sedikit pun. Meskipun ada penjelasan sosiologis, historis dan antropologis namun tidak dalam semangat akademik yang kritis. Semua pendekatan itu dipakai untuk mengglorifikasi sosok Nabi Muhammad yang agung, melebihi manusia mana pun.

Dalam sirah-sirah itu, Nabi Muhammad biasanya digambarkan sebagai sosok yang sederhana, sangat saleh, dan cerdas secara intelektual dan spiritual, tapi tanpa gambaran yang menunjukkan bahwa Nabi berjumpa dengan atau “belajar” dari berbagai agama dan tradisi filosofis yang ditemuinya. Seolah-olah semua given alias diberikan (kepada Nabi) sebagai wahyu dari Allah SWT.

Karena kaum Muslim modern hidup dalam banyak profesi: profesor, akademisi, filusuf, saintis, dokter, insinyur, pengusaha, guru, ulama, mursyid tarekat, orang biasa dan lain-lain, maka mereka biasanya akan condong kepada model-model biografi Nabi yang cocok dengan kapasitas intelektual dan spiritual masing-masing. Semua ingin menghormati dan mencintai Nabi Muhammad, namun dalam cara masing-masing yang berbeda. Tinggal Anda pilih: mau ikut model yang mana? Atau Anda bikin model baru? (AN)