Setiap manusia tak luput dari kesalahan dan kejelekan. Karena manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Hanya orang-orang yang ma’shum-lah yang terjaga dari kesalahan-kesalahan.
Entah disadari atau tidak, kesalahan itu selalu ada di hidup kita. Maka dari itu, taubat adalah jalan satu-satunya untuk menebus kesalahan tersebut. karena kita dituntut untuk terus berusaha menjadi manusia yang lebih baik dari hari sebelumnya.
Dari pengalaman tersebut kita juga dapat belajar untuk tidak mengulangi kesalahan lagi. Seharunya kita tidak jatuh dalam lubang kesalahan yang sama. Seperti sabda Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari: “Seorang mukmin tidak akan terperosok ke dalam satu lubang yang sama dua kali”.
Tetapi tidak hanya kesalahan dari diri kita yang bisa kita pelajari. Tetapi kita juga bisa belajar dari pengalaman kesalahan orang lain.
Imam al-Ghazali menyatakan dalam kitabnya Bidayatul Hidayah, bahwa ada tiga macam manusia. Pertama, manusia yang seperti makanan, maksudnya selalu dibutuhkan. Kedua, manusia yang seperti obat, maksudnya dibutuhkan pada waktu dibutuhkan saja. Ketiga, manusia yang seperti seperti racun, tidak berguna sama sekali.
Macam orang yang ketiga ini kadang menjadi ujian bagi saudara, teman, dan lingkungan sekitarnya. Karena orang yang seperti ini kaku jika bergaul antar sesama manusia. Orang seperti ini juga tak mendatangkan manfaat sama sekali. “Maka orang yang seperti ini harus dijauhi,” begitu nasihat Imam al-Ghazali menanggapi orang seperti ini.
Selain tidak ada gunanya, orang semacam ini bisa jadi menjadi parasit bagi lingkungannya. Hidupnya hanya merugikan pihak lain. Tetapi ada sisi lain yang dapat diambil hikmahnya. Kita bisa belajar dari kejelekan orang lain itu.
Jika memperhatikan orang tersebut, kita akan mendapatkan manfaat yang besar. “Dengan menyaksikan keburukan perbuatan dan tingkah lakunya, kamu dapat pelajaran agar bisa menjauhi perbuatan tersebut,” tutur Imam al-Ghazali.
Imam al-Ghazali berkata:
فالسعيد من وعظ بغيره، والمؤمن مرآة المؤمن
“Orang yang beruntung adalah orang yang dapat mengambil pelajaran dari orang lain. Karena seorang mukmin adalah cerminanan mukmin yang lainnya.”
Di akhir tulisannya, al-Ghazali mengutip cerita dari Nabi Isa. Diceritakan bahwa Nabi Isa pernah ditanya oleh seseorang.
وقيل لعيسى عليه السلام: من أدبك؟ فقال: ما أدبني أحد، ولكن رأيت جهل الجاهل فاجتنبته
“Siapa orang yang mendidikmu?” Nabi Isa menjawab, “Tidak ada satu orang pun yang mendidikku. Tetapi aku hanya melihat kebodohan orang bodoh. Kemudian aku menjauhi perbuatan itu.”
Dari cerita tersebut, Imam al-Ghazali berkesimpulan bahwa orang yang menjauhi perbuatan jelek yang tak disukainya dari orang lain, maka sudah sempurna pendidikannya dan tidak membutuhkan pendidik lagi.
Seperti kata Abu Firas al-Hamdani dalam satu sya’irnya:
عَرَفتُ الشَرَّ لا لِلشَر* لَكِن لِتَوَقّيهِ
وَمَن لَم يَعرِفِ الشَرَّ* مِنَ الخَيرِ يَقَع فيه
Aku tahu kejelekan tetapi bukan untuk melakukannya, tetapi aku tahu agar bisa menjauhinya
Seseorang yang tidak bisa membedakan kejelekan dari kebaikan, niscaya akan terjerumus dalam kejelekan tersebut.
Maka dari itu, setiap kejelekan orang lain, tidak melulu merugikan. Tetapi juga bisa dilihat dari sisi positifnya. Ambil sisi positifnya dan buang sisi negatifnya. Al-Qur’an juga mengisahkan kesombongan Fir’aun, perilaku homoseksual kaum Nabi Luth, kecurangan berdagang oleh kaum Nabi Syuaib, dan masih banyak lagi. Dari cerita tersebut, kita dapat mengambil hikmah yang bisa dipetik dari cerita yang negatif.
Juga, kita tidak perlu harus menuggu kesalahan dari diri kita sendiri untuk bisa belajar. Tetapi dengan memperhatikan kesalalahan orang lain, kita juga bisa belajar. (AN)
Wallahu a’lam