Muslimah Susah Payah Memperjuangkan Kesetaraan Gender, ‘Muslimah’ Pula yang Menolaknya

Muslimah Susah Payah Memperjuangkan Kesetaraan Gender, ‘Muslimah’ Pula yang Menolaknya

Kesetaraan gender oleh sebagian ‘muslimah’ dianggap sebagai ide barat untuk menghinakan perempuan, benarkah?

Muslimah Susah Payah Memperjuangkan Kesetaraan Gender, ‘Muslimah’ Pula yang Menolaknya
Akun IG ini dibicarakan publik karena berkampanye tentang gerakan menolak feminisme. Tapi, tahukan konsep feminisme seperti apa?

Beberapa bulan yang lalu, saya terkejut ketika melihat Twiter, karena ternyata salah satu trending topik saat itu adalah #MuslimahTolakGenderEquality. Isi di dalamnya cukup beragam, seperti “Feminisme ide jahat anti Islam”; “Kesetaraan gender adalah ide barat untuk menghinakan perempuan”; “Sebagai seorang muslimah kita wajib untuk menolak Gender Equality,” dll.

Sejauh saya amati, dari sebagian besar kicauan yang melambungkan tagar tersebut umumnya membawa-bawa bendera hitam dan putih yang selama ini identik dengan sebuah organisasi keislaman. Selain ada tebaran bendera itu, tagar itu juga beberapa kali menyebut bahwa solusi dari adanya bias gender adalah tegaknya kekhalifahan Islam, sebuah jawaban yang sangat khas dari organisasi keislaman yang baru saja dibubarkan oleh pemerintah.

Sebagai seorang yang pernah menempuh pendidikan tentang gender dan feminisme serta pernah aktif membersamai organisasi ekstra mahasiswa perempuan, sontak saya merasa perlu bersuara atas trendingnya tagar tersebut. Benarkah seorang muslimah harus menolak mentah-mentah ide kesetaraan gender? Benarkah Islam itu tidak menghendaki kesetaraan gender?

Pada mulanya, gender adalah suatu klasifikasi gramatikal untuk benda-benda berdasarkan jenis kelaminnya, terutama dalam bahasa-bahasa Eropa. Selama berjalannya waktu, pelan-pelan klasifikasi gramatikal gender ini kemudian juga berefek pada wilayah konstruksi sosial untuk membedakan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan dalam lingkup sosial.

Gender sekedar sebagai persepsi sosial dan budaya tentang konstruksi perempuan dan laki-laki, tentu bukan sebuah masalah. Akan tetapi, klasifikasi sosial berdasarkan perbedaan sex tersebut pada akhirnya memantik patologi-patologi baru yang menyesakkan dada.

Patologi-patologi tersebut pada gilirannya merupakan ketidakadilan gender, seperti marginalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan, dan beban kerja ganda. Layaknya ketidakadilan sosial lain yang muncul sepanjang sejarah manusia, ketidakadilan gender ini pun memicu lahirnya gerakan perlawanan atasnya, yang pada umumnya dikenal dengan sebutan feminisme.

Gerakan ini memang pertama kali muncul di Barat dan berkembang pesat di sana. Gerakan feminisme eksplisit, baru memarak di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kala itu penduduk dunia nyaris serentak melakukan gerakan-gerakan feminisme.

Tujuan utama gerakan-gerakan feminisme saat itu adalah emansipasi ketidakadilan gender yang membuat perempuan mengalami ketidakbebasan dan persamaan hak. Isu-isu seperti hak pilih (the right to vote), kolonialisme, serta kesempatan akan pendidikan dan pekerjaan merupakan isu yang sangat seksi di mata aktivis feminism masa itu.

Pada perkembangan berikutnya, era tahun 1960-an, kembali muncul gerakan feminisme tapi berbeda orientasi dari gerakan feminisme sebelumnya. Di tahun itu para aktivis feminisme melakukan gebrakan baru, dengan mengusung misi penolakan subordinasi perempuan. Bagi mereka domestikisasi peran perempuan telah membuat perempuan berada di posisi yang tidak menguntungkan, karena sebenarnya baik laki-laki maupun perempuan itu sama. Untuk itu, maka perempuan harus masuk dalam dunia laki-laki dengan mengadopsi sifat-sifat maskulin.

Gerakan feminisme angkatan tahun 1960-an itu, mendapat tantangan keras pada tahun 1980-an. Misi feminism angkatan tahun 1960-an yang mengutuk domestikasi perempuan ini pada akhirnya membuat mereka medewi-tololkan perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga. Tidak ayal mereka mendapat penilaian sinis, bahwa mereka hampir tidak pernah menyentuh kesejahteraan anak, anti-keluarga, dan lain-lain.

Suara kritik akan gerakan feminism angkatan kedua itu di antaranya muncul dari golongan yang mengatasnamakan gerakannya sebagai ekofeminisme. Bagi mereka upaya membongkar ketidakadilan gender bukanlah dengan cara mendewi-tololkan kulitas feminin, melainkan justru dengan cara menonjolkan kualitas feminin.

Mereka percaya bahwa kualitas feminim dapat menjadi ideologi matriarkis yang dapat menggantikan sistem patriarkis dalam segala relasi sosial. Jadi, gerakan perjuangan kesetaraan gender di Barat itu tidak selalu merupa tuntutan bahwa perempuan harus menjadi seperti laki-laki sebagaimana sering pahami.

Kemudian, apakah perjuangan yang dilakukan oleh feminisme Barat tersebut sesuai dengan Islam? Apakah ide kesetaraan gender yang mereka usung itu berlawanan dengan ajaran Islam, sehingga sampai ada sekitar 200-an ribu tweet yang menyuarakan agar Muslimah menolaknya?

Catatan sejarah mengungkapkan, spirit feminisme itu adalah sunnah yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw. Aroma ijtihad feminisme peletak dasar agama Islam tersebut setidaknya tercium dalam upayanya mengurai persoalan-persoalan ketidakadilan gender masyarakat Arab, seperti menghapus budaya kubur bayi perempuan, mengupayakan hak waris untuk perempuan, mengupayakan pengakuan persaksian perempuan, hingga membatasi jumlah poligami. Jadi, pendeknya parktik pengarus-utamaan kesetaraan gender itu tidaklah bertentangan dengan Islam.

Namun, bukankah yang menjadi pandangan umum kalangan Islam itu, laki-laki dan perempuan kedudukannya tidak setara? Bukankah ada ayat yang menyatakan bahwa laki-laki (rijal) itu lebih tinggi derajatnya daripada perempuan (nisa’)?

Mari kita coba lirik lagi ayat-ayat Al-Quran secara lebih menyeluruh. Nasaruddin Umar, imam masjid Istiqlal, pernah melakukan studi mendalam ihwal ayat-ayat gender dalam Al-Quran. Dalam pengamatannya, ia temukan bahwa ketika Al-Quran itu dibaca secara lebih menyeluruh, akan segera didapati bahwa sejatinya Al-Quran itu mengidealkan ide tentang kesetaraan gender.

Ide tentang kesetaraan gender dalam Al-Quran itu misalnya dapat ditemukan dalam (QS. al-Dzariyat [51]: 56) yang menyatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan adalah sama-sama hamba Allah; (QS. al-Dzariyat [51]: 56) yang menyatakan bahwa baik laki-laki maupun perempuan adalah sama-sama khalifah di bumi; (QS. al-Baqarah [2]: 35) yang menyatakan bahwa baik Adam maupun Hawa sama-sama terlibat aktif dalam drama kosmis; dst.

Temuan Nasaruddin Umar tersebut menunjukkan bahwa pesan-pesan yang lebih banyak berserak di Al-Quran adalah pesan tentang kesetaraan gender dari pada sebaliknya. Pada prinsipnya al-Quran itu lebih menekankan perbedaan derajat manusia itu dari kualitas taqwanya dan bukan dari jenis kelaminya.

Al-Quran bahkan beberapa kali mengisahkan cerita tentang perempuan-perempuan hebat, seperti Ratu Bilqis, raja perempuan dengan kuasaan politik yang besar, serta Maryam, seorang ibu yang teguh dan berani melawan arus gunjingan publik.

Lebih jauh, Al-Quran juga menggunakan kata al mar’u untuk menunjukkan laki-laki dan al mar’atun untuk menunjukkan perempuan. Penambahan ta’marbutoh pada kata al mar’atun tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Ibn Arabi dalam Tarjuman Al-Ashwaq, adalah menunjukkan bahwa Allah itu telah memberikan keistimewaan tambahan terhadap perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki.

Penambahan keistimewaan itu pada gilirannya dapat mengisi kekurangan derajat perempuan satu tingkat di bawah laki-laki yang pernah disebut dalam Al-Quran. Jadi, dengan adanya penambahan kualitas istimewa terhadap perempuan yang ditunjukkan dalam kata almar’atun, Allah telah membuat posisi laki-laki dan perempuan setara.

Dari sini menjadi jelas bahwa trendingnya #MuslimahTolakGenderEquality itu adalah sebentuk kekeliruan dalam memahami Islam. Kekeliruan itu tentu mendesak untuk segera diluruskan, karena ia tidak hanya menyangkut persoalan pemahaman keagamaan, melainkan juga menyangkut persoalan kemanusiaan. (AN)

Wallahu a’lam.