Kisah 1001 Malam dan Potret Relasi Gender Era Islam Klasik

Kisah 1001 Malam dan Potret Relasi Gender Era Islam Klasik

Penggalan Kisah 1001 Malam menyiratkan bahwa kekerasan terhadap gender tidak selalu tentang individu ataupun kemaluan, melainkan bisa merentang hingga ke pendayagunaan retorik, permainan kognisi sosial, dan kekuasaan negara.

Kisah 1001 Malam dan Potret Relasi Gender Era Islam Klasik

Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia tidak lepas dari gelombang gerakan yang menawarkan Islam sebagai gaya dan pandangan hidup alternatif selain modernisasi dan globalisasi. Dua dekade sejak millenium, wajah Islamisasi konservatif di Indonesia mulai menguat baik dalam wacana politik, gaya hidup, hingga relasi gender.

Premis utama dari tren ini adalah, modernisme dan SiPiLis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme) dinilai tidak berhasil menciptakan masyarakat yang adil dan berakhlak, oleh karena itu formalisasi Islam diperlukan untuk membersihkan aneka hal yang tidak segaris dengan Islam. Cita-cita intinya adalah membangkitkan kembali sistem kekhalifahan dengan cangkok budaya Timur Tengah untuk masyarakat muslim Asia Tenggara.

Untuk merealisasinya, cita-cita itu dipupuk dengan kampanye formalisasi Islam, revivalisasi kisah-kisah keagungan masa lalu, pengarus-utamaan hadist-hadist bertema gaya hidup di masa klasik, dan counter narasi terhadap gerakan sosial sejawat yang bernafas nilai-nilai di luar Islam.

Akan tetapi, sebagaimana yang dikatakan mendiang Gus Dur, “wajah Islam era klasik tak selalu seindah yang dibayangkan.” Keindahan Kisah 1001 Malam telah menginspirasi banyak karya sastra dan komposisi musik, dari mulai Goethe, Strauss, Rimsky-Korsakoff, Dickens hingga Eka Kurniawan. Dalam konteks inilah, meskipun cita-cita formalisasi Islam tadi terkesan sofistik, tapi Kisah 1001 Malam tidak termasuk dalam daftar prestasi era Islam klasik yang dimanfaatkan untuk membenarkan usaha pewujudan cita-cita itu.

Kisah 1001 Malam memuat potret dunia yang terlalu gamblang untuk bisa dipotong dalam kerangka agenda politik Islam. Epos ini menggambarkan dinamika dan saling-kelindan manusia, agama, seks, masyarakat, kekuasaan, dan dimensi alam kehidupan dari spektrum tergelap hingga spektrum paling terang. Dalam sebuah agenda politik berbasis ideologi tertentu, cover both side (memotret realita dari dua sisi) bukanah cara yang disukai oleh gerakan politik manapun, sebab ideologi hanya mau mengakui satu-sisi bentuk realita yang memperkokoh posisi dan legitimasinya saja.

Inkonsistensi pun muncul. Tata kehidupan era Islam klasik diidam-idamkan, tapi bentuk realitas sosial tertentu yang terjadi di masa itu belum tentu mau diakui kebenarannya. Di antara sejumlah inkonsistensi, inkonsisten dalam tema perempuan adalah salah satu yang paling menonjol. Islamisme konservatif melihat bahwa perempuan adalah subjek yang perlu dibatasi dan dikontrol lantaran potensinya menggugah syahwat. Benang ini kemudian bisa ditarik hilirnya sampai ke fitnah politik, stabilitas negara, penentuan mutu akhlak anak-anak, dan penentuan bermoral atau tidaknya suatu masyarakat.

Dengan kata lain, ada gender determinism, atau ketergantungan gender, di mana baik-buruknya masyarakat digantung pada perempuannya. Melalui pandangan inilah cita-cita tentang perempuan yang soleh, pemalu, sopan, penurut, gemulai, dan selalu menutup aurat, mendapat perhatian untuk ditumbuh-kembangkan dan terus diromantisir.

Dengan berdasar pada produk tafsir literal dari hadits Nabi, ayat Al-Qur’an, dan cerita-cerita sejarah periode klasik, gender determinism tersebut diperkuat sebagai satu langkah awal dalam mewujudkan masyarakat Islam yang ideal. Sejak gender determinism menjadi kacamata inti, maka sulit untuk bisa mengakui keberadaan realitas sosial di luar pakem ideal yang dibayangkan.

Tanpa konstruksi tersebut, pengukuhan posisi gerakan akan sulit ditegaskan. Ketika angka kekerasan seksual dan angka kekerasan terhadap perempuan naik sewaktu RUU TPKS belum disahkan, muncul sebuah pandangan yang melihat bahwa naiknya kekerasan seksual adalah salah aurat dan salah gaya hidup modern. Melalui bingkai yang sama jugalah kemudian kekerasan terhadap perempuan dinormalisasi sebagai bagian dari pendidikan keluarga menurut Islam.

Feminisme dan agenda keadilan gender juga jadi bulan-bulanan lantaran dinilai memuat nilai-nilai Barat yang menjadi keladi di balik tren pakaian terbuka dan kesetaraan posisi laki-laki dan perempuan. Gugatan itu juga percaya kalau gaya hidup itu tidak ada dalam fakta sejarah masyarakat Islam klasik. Solusi tunggal dari masalah-masalah di atas adalah: bangkitkan kembali tata masyarakat Islam klasik, khususnya ihwal norma-norma dan imajinasi sosial yang berkaitan dengan perempuan.

Akan tetapi, sejak Kisah 1001 Malam tidak termasuk dalam daftar prestasi zaman Islam klasik yang mereka kutip untuk menjustifikasi kebangkitan Islam secara formal, maka sejak itu pula realitas sosial era Islam klasik gagal dikenali dengan utuh. Sebagai produk suatu zaman, sastra sering memuat fakta sosial bagaimana satu masyarakat berinteraksi berdasarkan prinsip logis dan normatif yang berlaku pada masa itu.

Syahrayar, raja dari sebuah kerajaan yang makmur sentosa, berubah menjadi tiran misoginis sejak memergoki permaisurinya mengadakan pesta seks dengan para budak di taman istana saat Syahrayar pergi berburu. Istrinya lalu dibunuh. Dan sejak itu Syahrayar berjanji akan menikahi setiap perempuan di negerinya di sore hari dan membunuhnya di pagi hari, sampai tak sisa satu orang pun perempuan selain Syahrazad.

1001 malam adalah waktu yang berhasil Syahrazad ulur untuk menunda kematiannya setelah menikahi Syahrayar. Sepanjang malam-malam itulah Syahrazad membentangkan aneka bentuk relasi gender, perilaku, dan ekspresi seksual, baik yang menyentuh nurani hingga yang melampaui batas lumrah melalui serangkaian hikayat-hikayat.

Dalam konteks masyarakat era kekhalifahan, laki-laki dan perempuan hanya bisa memilih antara hubungan marital atau hubungan sahaya. Dua-duanya sama-sama berdarah dan terbuka untuk politik ranjang. Diterapkannya hukum Islam di masyarakat kekhalifahan pun tidak menjamin relasi gender yang lebih baik dari hari ini.

Umar An-Nu’man, raja fiksional yang diceritakan Syahrazad misalnya, ia mati dibunuh oleh seorang ratu kerajaan seberang yang kesumat tidak terima cucunya dijadikan gundik oleh Umar saat penakukan wilayah. Nushatuz Zaman, anak dari selirnya Umar, mati dibelah dua oleh seorang budak di tengah gurun pasir lantaran menolak ajakan seksual si budak.

Dalam hikayat asmara Saiful Muluk dan jin perempuan bernama Badi’atul Jamal, digambarkan bagaimana laki-laki bisa tampil kalah rasional dari perempuan dalam hal pengambilan keputusan. Saiful Muluk mudah kagum dan mudah terbuai dengan stimulus indrawi. Sedangkan Badi’atul Jamal adalah jin perempuan yang mempertanyakan segala hal. Hikayat ini dibuka dengan adegan peristirahatan satu ranjang antara Saiful Muluk bersama menterinya.

Politik gender nyaris menjadi alat populer para tokoh untuk memuluskan ataupun menutupi hasrat seksual mereka masing-masing. Syahrazad menceritakannya secara eksplisit dalam Hikayat Tipu Daya Wanita: sebuah kisah tentang istri seorang saudagar yang menjebak raja, gubernur, hakim, dan menteri melalui paras wajah dan godaan tubuhnya demi membebaskan pemuda selingkuhannya dari penjara kota.

Akan tetapi, laki-laki juga tidak lepas dari praktik serupa. Pangeran Bahram menggabungkan social role-play dan capital reward untuk menjebak Putri Dunmah agar mau menikahinya. Pangeran Bahram menempuh cara ini setelah Putri Dunmah mengalahkan ketangkasannya di gelanggang sayembara.

Penggalan-penggalan Kisah 1001 Malam di atas pada dasarnya menyiratkan bahwa kekerasan terhadap gender dan kekerasan seksual tidak selalu tentang individu ataupun kemaluan, melainkan bisa merentang hingga ke pendayagunaan retorik, permainan kognisi sosial, dan kekuasaan negara.

Hukum Islam mungkin boleh berlaku di masa era Islam klasik, namun aturan tak tertulis dari masyarakat feodal saat itu juga mengakui paras wajah, tubuh, harta, dan kekuasaan sebagai token sosial yang sah untuk menegosiasi nasib dan kepentingan antara orang kuat dan orang lemah, antara orang kaya dan orang berkuasa, antara tuan dan sahaya, dan lain sebagainya.

Di tengah aturan tak tertulis itu, perlindungan sosial, pemulihan korban, ataupun jaminan keadilan bagi penyintas adalah sesuatu yang nyaris mustahil sebab keterbatasan institusi sosial, hukum, teknologi, dan kesadaran sosial. Meskipun Nushatus Zaman adalah putri raja, tapi kematiannya berjalan begitu saja tanpa usut keadilan. Begitu juga Putri Dunmah. Ia tidak perlu gelisah terlanjur dinikahi tanpa konsen, sebab perbendaharaan makna tipu daya konsen belum ada dalam imajinasinya.

Nihil sub sole novum, tak ada yang baru di bawah matahari. Syahrazad sudah mengisahkannya ribuan tahun lalu dengan 1001 skenario. Namun kebanalan kekerasan seksual hari ini sering terlihat baru ketika disinyalir melibatkan hal-hal mulia. Bagaimana manusia menyikapi kisah yang dituturkan Syahrazad di zaman setelahnya, adalah pekerjaan rumah yang menguji akal sehat dan nurani.