Islam Ramah Perempuan: Kritik Pemikiran Bias Gender di Masyarakat

Islam Ramah Perempuan: Kritik Pemikiran Bias Gender di Masyarakat

Dari sejarah kita bisa melihat bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang datang dengan mengusung keadilan dan kesetaraan sesama manusia dengan konsep tauhidnya. Tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan.

Islam Ramah Perempuan: Kritik Pemikiran Bias Gender di Masyarakat
Ilustrasi perempuan bekerja (Freepik)

Membincang kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan merupakan hal yang selalu menarik untuk diketengahkan. Karena wacana kesetaraan antara laki-laki dan perempuan merupakan isu yang terus berkembang sepanjang zaman. Tidak sedikit para pemikir dan tokoh agama yang kemudian merumuskan kesetaran antara laki-laki dan perempuan tersebut tersebut.

Perbincangan isu gender dalam Islam merupakan hal yang sudah lama dibahas,  setidaknya  bagi  kaum  apologetik (Kaum yang secara sisteamtis mempertahankan suatu ajaran)  menurut sebagian besar dari mereka, wacana gender merupakan hasil atau buah dari proyek modernitas Barat yang haram diadopsi ke dunia Islam. Argumen Mereka adalah jauh sebelum dunia Barat giat mempropagandakan  isu  kesetaraan  gender, sebelum itu Islam sudah terlebih dahulu mengatur perihal hak dan kewajiban perempuan.

Dari sejarah kita bisa melihat bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang datang dengan mengusung keadilan dan kesetaraan sesama manusia dengan konsep tauhidnya. Tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Islam lah yang mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan dari posisi rendahnya pada zaman jahiliyah. Kedatangan Islam memberikan pengaruh yang signifikan bagi bergesernya budaya patriarki masyarakat Arab pada waktu itu, dengan perlahan Islam mereformasi sistem sosial masyarakat Arab menuju ke arah yang lebih manusiawi.

Meski demikian, Jika melihat kondisi dunia Islam hari ini nampaknya masih jauh dari ideal, utamanya berkaitan dengan hak-hak perempuan. Tidak bisa diingkai bahwa praktik-praktik  penistaan  nilai-nilai  kemanusiaan  terhadap  perempuan  masih  terjadi  di dunia Islam hingga saat ini. Kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual, pembatasan hak  perempuan  untuk  berkiprah  di  ruang  publik  dan  marginalisasi  perempuan  secara sistemik  merupakan  fenomena  yang  marak  terjadi  di  negara-negara  Islam.

Paradigma berpikir  masyarakat  yang  cenderung  patriarkis,  kebijakan  negara  yang  juga  tidak  mengakomodir dan adaptif terhadap kepentingan perempuan, sistem ekonomi global yang dirancang untuk abai pada perempuan, ditambah dengan tafsir keagamaan yang seolah memberikan legitimasi atas hal  tersebut,  telah  membentuk  sistem  yang  mengebiri  hak-hak  perempuan.

Adanya budaya patriarki dalam masyarakat telah menempatkan perempuan pada ranah yang marginal dan menjadikan perempuan sebagai sumber fitnah yang makna dasarnya adalah cobaan atau ujian. Namun artian fitnah kini telah beralih makna menjadi sumber kekacauan dan kerusakan sosial. Dengan budaya dan pandangan tersebut kemudian muncul subordinasi laki-laki atas hak-hak perempuan, karena perempuan dianggap sebagai sumber fitnah. Ini juga merupakan stereotipe terhadap perempuan yang mendapatkan pembenaran dari teks-teks keagamaan. Sebagaimana Nabi pernah bersabda “Aku tidak meninggalkan, sesudahku satu fitnah yang lebih membahayakan laki-laki daripada kaum perempuan

Pemikiran Bias Gender di Masyarakat

Pemahaman tentang makna gender pada dasarnya semua merujuk pada satu tafsiran bahwa  gender  adalah  istilah  yang  dipakai  untuk membedakan laki-laki dan perempuan, berdasar perannya dalam struktur sosial masyarakat. Dalam  konteks  ini,  gender  memiliki  makna  yang  jauh berbeda  dengan sex.  Istilah sex merujuk pada pengertian pembedaan jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) dari sudut pandang  biologis.  Identitas  fisik  yang  melekat  pada laki-laki  dan  perempuan  sebagai konsekuensi  biologis  yang  disandangnya  merupakan  kodrat  alam  (nature). sedangkan, karakter atau sifat yang  dilekatkan  pada  laki-laki  dan  perempuan  dalam  sudut  pandang gender lebih banyak dimunculkan oleh pandangan konstruktif masyarakat (nurture).

Pada saatnya, konsep pembedaan gender tersebut melahirkan ketidakadilan gender. Perempuan merupakan pihak yang sering menjadi korban dari lahirnya ketidakadilan gender ini, meski tidak menutup kemungkinan laki-laki juga bisa menjadi korban. Namun dalam lintasan sejarah dan fakta sosial menunjukkab bahwa pihak perempuan lah yang selalu menjadi korban.  Mansour  Fakih,  mengidentifikasi  ketimpangan  gender  ke  dalam  lima  bentuk. Pertama, kekerasan (violence) terhadap perempuan. Kondisi fisik sebagian besar perempuan yang cenderung lebih lemah tenimbang laki-laki membuat perempuan berpotensi menjadi korban kekerasan. Kekerasan dalam konteks ini  bisa berwujud  kekerasan  fisik,  seksual maupun psikologis. Kedua, marginalisasi atau pemiskinan terhadap perempuan. Seringkali, kebijakan baik itu di ranah domestik maupun publik disadari atau tidak telah meminggirkan kaum perempuan.

Permasalahan yang komplek terkait bias gender di masyarakat adalah dengan pemahaman substansi tauhid, yakni dengan mengesakan Tuhan dan dalam arti setiap individu merupakan manusia yang bebas dari segala belenggu, begitu juga belenggu manusia atas manusia. Jadi manusia bebas dari segala macam belenggu dan perbudakan dari benda-benda keduniawian dengan tujuan hanya mengesakan Tuhan. Tauhid dalam doktrin agamanya telah memberikan prinsip persamaan dan kesetaraan manusia. Sebab banyak ayat al-Qur’an menyebutkan keadilan menjadi prinsip yang harus ditegakkan dalam seluruh tatanan kehidupan manusia, baik dalam tatanan personal, keluarga, dan sosial.

Agama Islam telah memberikan otonomi kepada kaum perempuan sebagaimana yang tertuang dalam al-Qur’an maupun Hadis. Hal Ini merupakan peluang bagi kaum perempuan untuk memainkan peran pada ranah publik, baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan kebangsaan. Namun yang perlu diingat bahwa dengan diberikannya peluang dalam berbagai peran publik tetap harus kembali pada tujuan utama dari tauhid yakni ketakwaan dan menjalankan amal saleh.

Pada dasarnya perempuan dan laki-laki adalah sama di hadapan Tuhan sebagai hamba, tidak ada yang lebih unggul sala satu dari keduanya kecuali berdasarkan ketakwaanya, sehingga anggapan perempuan adalah manusia kelas dua dan hanya boleh berada di ranah domestik adalah tidak benar. Perempuan juga mempunyai kontribusi menjadi khalîfah di muka bumi dan juga sama-sama memiliki tugas untuk amar ma‘ruf nahi munkar. Perempuan dapat menentukan jalan mana yang ingin dipilih baik di ranah domestic (menjadi ibu rumah tangga) atau mengembangkan potensinya menjadi wanita karir di ranah publik.