Publik heboh dengan peresmian patung Kongco Kwan Sing Tee Koen (Guan Gong) di Tuban. Di media sosial, netizen ramai memperdebatkan keberadaan patung ini. Ada kelompok yang getol menentang peresmian patung ini, dengan argumentasi yang dibungkus dalih-dalih agama. Ada juga yang tidak setuju patung besar berdiri di bumi Tuban karena isu nasionalis, bahwa Kwan Sing Tee Koen bukanlah pahlawan bangsa Indonesia. Untuk apa didirikan patung sebesar itu? Bahkan, tersebar nada nyinyir dengan menyandingkan patung Jendral Sudirman dengan Guan Gong.
Mereka yang mendukung peresmian patung itu, atau setidaknya tidak mempermasalahkan adanya patung setinggi 30 meter di kawasan klenteng Kwan Sing Bio, Tuban, melihatnya sebagai simbol penghormatan bagi orang-orang Tionghoa. Peresmian patung bukan untuk mengejek bumi Tuban sebagai bumi Wali, atau bermaksud untuk menyindir pahlawan-pahlawan bangsa. Bukan itu. Patung ini, sebagai representasi penghormatan orang Tionghoa atas Kongco Kwan Sing Tee Koen.
Dalam sejarahnya, Kwan Sing Tee Koen berakar mendalam pada tradisi kepercayaan Konghucu. Tidak tepat kiranya menyandarkan Kwan Sing Tee Koen sebagai representasi China atau simbol militer orang Tionghoa. Apalagi dibumbui dengan hoax yang menyebut bangsa China sedang dalam proses menganeksasi Indonesia, dengan bukti pembangunan patung Kwan Sing Tee Koen. Informasi dengan cacat logika akut yang disebar secara massif.
Patung dewa Guan Gong/Kwan Sing Tee Koen merupakan simbol penting bagi orang Tionghoa penganut Konghucu. Guang Gong perwujudan Shen Ming agama Konghucu, sebagai seorang tokoh yang menjunjung tinggi Zhong (satya) dan Yi (kebenaran). Guan Gong merupakan seorang suci (shen ming) yang dimuliakan sejak zaman San Guo 220-265 M. Dalam sebuah kisah lain, era San Guo dimulai sejak pemberontakan destar kuning pimpinan Zhang Jiao pada tahun 184. Dengan demikian, sebelum bangsa China bersatu dalam ikatan nasionalisme, Kwan Sing Tee Koen sudah ada terlebih dahulu. Ia berakar dari sejarah keyakinan penganut Konghucu.
Bagi umat Konghucu, Guan Gong tidak hanya dihormati di Indonesia, namun di pelbagai penjuru dunia. Penganut spiritualis Tao dan mazhab Mahayana di Tiongkok, Jepang, Vietnam, Singapura dan beberapa negara lain, mengagumi semangat heroisme Guan Gong hingga menghormatinya dalam upacara keagamaan.
Lalu, apa salahnya patung Kwan Sing Tee Koen sebagai simbol penghormatan bagi orang-orang Tionghoa, penganut Tao, dan Mahayana?
Muslim kagetan
Ketidaksetujuan atas patung Kwan Sing Tee Koen sebagian besar salah sasaran. Argumentasi-argumentasi penolakan ini mentah di aras logika. Mempersepsikan Guan Gong sebagai simbol aneksasi militer China di Indonesia, atau Asia Tenggara, jelas salah arah. Informasi hoax begitu melesat tajam hingga menancang di grup-grup whatsapp mereka yang phobia dengan isu China dan Tionghoa. Segala yang Tionghoa, dianggap membahayakan Indonesia.
Menganggap patung Guang Gong menghina wali-wali di Tuban juga terkesan aneh. Bukanlah wali-wali Jawa juga sebagian besar berdarah Tionghoa? Sejarah penyebaran Islam di Nusantara juga berhutang budi pada peradaban Islam bangsa China. Jalur penyebaran Islam Nusantara dari bangsa China, perlu diterima sebagai fakta sejarah. Bersanding dengan kisah-kisah penyebaran Islam dari jalur Gujarat dan Hadramaut.
Jika Kwan Sing Tee Koen masyhur sebagai tokoh dalam kisah bangsa China, sebagai pemberani dan pembela keadilan, ini jelas perlu dipelajari sebagai teladan sejarah. Ketua Umum Klenteng Kwan Sing Bio, Gunawan Putra Wirawan, menyebut Guan Gong/Guan Yu sebagai simbol keadilan, bukan semata panglima perang.
Menurutnya, ada dua makna mendasar yang melekat dalam Guan Yu, yakni kesetiaan dan kebijaksanaan. “Memang di media sosial ramai masalah ini. Ada yang menyebut ini panglima perang China. Itu salah. Yang benar adalah simbol dewa Keadilan yang dipercaya umat Konghucu,” jelasnya sebagaimana dilansir Merdeka (07/08/2017). Untuk mengakhiri kontroversi, patung setinggi 30 meter itu ditutup kain putih.
Kontroversi atas patung tidak terjadi sekali ini. Di negeri seribu arca ini, patung-patung karya seni maupun simbol kebudayaan, dirobohkan di tengah gelombang islamisme. Di kota Harapan Indah Bekasi, patung tiga mojang dirobohkan lantaran diprotes sekelompok ormas. Patung Arjuna di Purwakarta dibakar sampai ludes. Di kota ini, Patung Bima, Gatotkaca dan Semar juga mengalami nasib seruba: dibumiratakan dengan alasan merupakan simbol berhala. Di Sidoarjo, patung Jayabaru hanya bertahan sebentar sejak diresmikan, sebelum akhirnya dihancurkan dengan dalih mengganggu iman.
Di negeri ini, sepertinya sedang surplus muslim kagetan. Yakni kelompok muslim yang terkaget-kaget dengan perbedaan, gegar budaya dengan keragaman. Mereka yang sering kaget dengan perbedaan keyakinan, cenderung menutup diri bahwa Islam menghargai keragamaan sebagai rahmah.
Pada sebuah majlis pengajian, Kiai Sahal Mahfudh berpesan: mengajilah yang tekun agar tidak menjadi kagetan. Belajarlah yang mendalam, agar tidak mudah kaget dengan sesuatu yang baru. Mereka yang tidak kagetan, biasanya menguasai banyak hal, mengecap kearifan di lapisan-lapisan ilmu.
Negeri ini sepertinya surplus muslim kagetan: mereka yang perlu dolan lebih jauh, mengaji dengan kiai-kiai sepuh [Munawir Aziz].