Bagi mereka yang mengerti ilmu agama, setidaknya fikih dan usul fikih, barangkali lebih cepat memaklumi himbauan untuk tidak melaksanakan shalat Jumat dan menggantinya dengan shalat Dzuhur di tengan pandemi wabah Covid-19 oleh Kementrian Agama, Majlis Ulama Indonesia, atau organisasi Islam: NU dan Muhammadiyah. shalat Jumat di rumah
Tapi bagi mereka yang masih baru belajar Islam dan belum mengenal keilmuan di atas, mungkin masih tak dapat menerima keputusan ini. Mereka tetap kukuh, lebih percaya dengan tagline “saya tidak takut Corona, saya lebih takut Allah SWT”, sehingga abai pada himbauan itu, lantas hanya bisa nyiyir dan mencibir Pemerintah.
Pengetahuan tentang shalat Jumat tidak boleh sebatas kulitnya: bahwa shalat Jumat ialah fardlu ain bagi lelaki, dilaksanakan banyak orang, di masjid, disertai khutbah, dan lain-lain. Mereka jarang yang tahu, bahwa ada sekian banyak mazhab dalam Islam, yang semuanya berbeda-beda pendapat dalam teknis pelaksanaan shalat Jumat, mulai dari jumlah minimal jamaah, tempat shalat, dan wajib tidaknya khutbah. Namun semua sepakat bahwa shalat Jumat tetap dua rakaat dan hukumnya fardlu ain bagi lelaki merdeka.
Kendati himbauan pemerintah atau ormas Islam sudah cukup kuat secara syar’i, namun nyatanya alasan berdasarkan fikih sepertinya tak cukup meyakinkan sebagian orang. Nah, untuk memberikan alternatifnya, saya ingin juga menyakinkan mereka yang tetap kukuh untuk melaksanakan shalat Jumat atau merasa tidak ikhlas beribadah shalat Dzuhur, pengganti shalat Jumat sebab masjid di dekatnya ditutup. Mereka juga bisa mengikuti pendapat mazhab lain tentang shalat Jumat di rumah.
Jumlah Minimal
Dalam kitab Hasyiah Syaich Ibrahim Al-Baijuri ala Fath Al-Qorib Al-Mujib, salah satu masterpiece-nya Syaich Al-Baijuri, dan banyak dikaji di pondok-pondok pesantren Indonesia menyebutkan setidaknya ada lima belas pendapat mengenai jumlah minimal jamaah.
Kelima belas pendapat itu ialah 1) menurut Ibnu Hazm cukup satu orang tanpa khutbah, 2) dua orang berjamaah menurut pendapat imam Al-Nakho’i, 3) dua orang plus imam menurut Abu Yusuf, Muhammad, dan Al-Laits, 4) tiga orang plus imam menurut Abu Hanifah (Madzhab Hanafi) dan Sufyan Al-Tsauri, 5) tujuh orang menurut Ikrimah, 6) sembilan orang menurut Rabiah, 7) 12 orang menurut Mazhab Maliki, 8) 12 orang belum Imam menurut Ishaq, 9) 20 orang menurut riwayat Ibnu Habib dari Imam Malik, 10) 30 0rang, 11) 40 0rang termasuk imam menurut Mazhab Syaifii, 12) 40 orang plus imam menurut pendapat lain dari Mazhab Syaifii dan Umar Bin Abdul Aziz, 13) 50 orang menurut riwayat dari Imam Ahmad 14) 80 orang menurut Al-Mazari, da 15) tak ada batas.
Shalat Jumat Menurut Ibnu Hazm
Imam Ibnu Hazm bernama asli Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm bin Ghalib bin Shalih bin Khalf bin Muadan bin Sufyan bin Yazid. Ia berdarah Persia lalu kakeknya Khalf bin Muadan pindah ke Andalusia, maka ia lebih dikenal dengan nama Ibnu Hazm Al-Andalusi.
Ia mulanya penganut mazhab Syafii lantas menjadi salah satu “penyambung lidah” mazhab Dzohiri, sebuah mazhab yang lebih tekstual dalam memahami Quran dan Sunnah. Melalui masterpiecenya Al-Muhalla, kita masih bisa mengenal mazhab Dzahiri, sebab pendiri mazhab ini, Imam Dawud Al-Dzahiri tidak ada jejak tulisnya.
Meski dalam kitab Hasyiah Syaich Al-Bajuri, serta dikutib dari kitab agung Syaich Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari, menyebut bahwa menurut Ibnu Hazm shalat Jumat cukup satu orang saja, tapi dalam kitab Ibnu Hazm sendiri Al-Muhalla menuturkan:
٥٢٢ – مسألة : والجمعة إذا صلاها اثنان فصاعدا ركعتان يجهر فيهما بالقراءة
ومن صلاهما وحده صلاهما أربع ركعات يسر فيها كلها، لأنها الظهر.
“522- persoalan : Shalat Jumat dilaksanakan sebanyak 2 rakaat oleh (minimal) 2 orang dengan mengeraskan bacaan. Orang yang shalat sendiri maka harus empat rakaat dengan melirihkan bacaan, karena itu shalat Dzuhur.”
Keterangan ini seolah mengklarifikasi apa yang disebutkan dalam Hasyiah Syaich Al-Baijuri. Menurut Ibnu Hazm, shalat Jumat minimal dua orang adalah merujuk etimologi kata ‘jumah’ itu sendiri. Kata itu berakar dari kata Jama’a yang berarti berkumpul/berjamaah dan berjamaah itu minimal dua orang, imam dan makmum.
Definisi tentang shalat berjamaah minimal dua ia merujuk pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Malik bin Huwairis yang berbunyi:
أن رسول الله : قال له : “إذا سافرتما فأذنا وأقيما وليؤمكما أكبركما”
“Rasulullah telah berkata kepadanya: jika kalian (berdua) bepergian maka adzanlah dan dirikan shalat, seyogyanya yang paling tua usianya menjadi Imam.”
Nah, untuk mengikuti Ibnu Hazm, juga perlu memperhatikan teknis lainnya, seperti khutbah dan tempat pelaksanaan. Menurut Ibnu Hazm, khutbah bukanlah ritual wajib seperti pendapat 4 madzhab lain (hanafi, maliki, syafii, hambali), melainkan sunnah. Jikalaupun dikerjakan secara teknis hampir sama, yakni khutbah tetap dilaksanakan dua kali, dan sesudah adzan.
Adapun soal tempat pelaksanaan shalat, Ibnu Hazm tidak memiliki pendapat spesifik. Perlu diketahui, hanya Imam Malik yang mewajibkan pelaksanaan shalat Jumat di masjid, sedangan yang lain boleh selain masjid atau tempat lapang. Meski tidak secara eksplisit dapat digunakan sebagai shalat Jumat di rumah, namun secara implisit rumah dapat dikategorikan ‘selain masjid’.
Ini adalah alternatif jika kalian bersikukuh melaksanakan shalat Jumat (enggan menggantinya dengan shalat Dzuhur) meski pemerintah telah menutup masjid-masjid terdekat di rumah anda, yakni mengikuti tata cara ala Ibnu Hazm, dengan catatan harus membaca tuntas persoalan shalat Jumat di kitab Al-Muhalla.
Jika Ibnu Hazm/mazhab Dzahiri tidak cukup memantapkan diri anda karena terlalu asing atau nyeleneh, maka bisa mengikuti mazhab Hanafi yang sudah masyhur; yakni cukup tiga orang plus imam. Sekali lagi anda harus mempelajarinya terlebih dahulu atau bertanya kepada ahlinya. Tapi jika anda malas belajar, maka sebaiknya anda ikuti himbauan pemerintah, tidak perlu nyiyir sebab masjid, musalla di sekitar anda ditutup sementara.
Wallahu ‘alam.