Bulan Suci Ramadhan harusnya menjadi momentum perdamaian dan berbagai kasih di penjuru dunia, namun tidak di Moskow. Setidaknya 40 orang tewas dan 145 luka-luka pada Jumat (22/3) ketika orang-orang bersenjata yang mengenakan kamuflase melepaskan tembakan dengan senjata otomatis ke arah penonton konser di dekat Moskow. Serangan itu adalah salah satu serangan paling mematikan di Rusia dalam dua dekade terakhir.
Mengutip Reuters, sebagaimana dilansir dari kantor berita Amaq melalui Telegram, ISIS, kelompok militan yang pernah berusaha menguasai sebagian besar wilayah Irak dan Suriah, mengaku bertanggung jawab atas serangan itu. Setidaknya lima pria bersenjata mulai menembaki warga sipil yang meringkuk di Balai Kota Crocus tepat sebelum grup rock era Soviet “Picnic” hendak tampil di teater berkapasitas 6.200 kursi di pinggiran barat Moskow.
Jumlah korban tewas itu menjadikan insiden tersebut salah satu serangan terburuk di Rusia sejak pengepungan sekolah di Beslan pada 2004. Saat itu, militan Islam menyandera lebih dari 1.000 orang, termasuk ratusan anak-anak. Anak-anak dilaporkan termasuk di antara korban tewas dan terluka dalam konser tersebut. Puluhan ambulans tiba di lembaga perawatan darurat Sklifosovsky di Moskow.
ISIS mengatakan, dilansir dari Reuters, para pejuangnya menyerang di pinggiran Moskow, “membunuh dan melukai ratusan orang serta menyebabkan kerusakan besar di tempat itu sebelum mereka mundur ke pangkalan mereka dengan selamat.” Meski demikian, pernyataan itu tidak memberikan perincian lebih lanjut.
“Dongeng” Kematian ISIS
Pada awal berdirinya pada 2013, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau IS dianggap lebih berbahaya dari pendahulunya, Al-Qaeda. Hal ini, dikarenakan ISIS mempunyai ribuan pasukan yang siap mendeklarasikan perang terhadap mereka yang dianggap menentang berdirinya negara Islam.
Beberapa pihak mengira jika kematian pemimpin ISIS seperti Abu Bakar al-Baghdadi akan menguras semangat militansi ISIS. Apalagi ketika ISIS dinyatakan kalah total pada tahun 2019. Tetapi fakta justru menunjukkan sebaliknya. Tewasnya pemimpin ISIS terakhir Abu Ibrahim al-Hashemi al-Quraishi pada 2022 lalu nyatanya tak meredupkan “perjuangan” ISIS. Kematian-kematian para petinggi itu terbukti tidak membuat sel ISIS mati.
Meski markas terakhirnya telah dihancurkan pada 2019, ISIS masih dianggap sebagai ancaman. Sisa-sisa militan ISIS yang bersembunyi di area gurun terpencil Suriah dan di kota-kota Irak masih melakukan aksi skala kecil, dengan melakukan serangan penembakan atau penculikan atau menunggu kebangkitan ISIS nantinya. Terlebih, sel-sel mereka sudah kadung menyebar ke berbagai negara dan mengawali serangan-serangan mematikan di teritori baru yang menjadi inangnya, seperti di Filipina dan Afghanistan.
Hilangnya teritori “kekhalifahan” ISIS pada tahun 2019 tidak serta menggagalkan operasi ideologi ekstremis mereka. Bahkan sejam 2019, ISIS terus menunjukkan eksistensinya di sejumlah wilayah di dunia. Bahkan saat ini, pola serangan teror ISIS menjadi sangat sporadis dan tak terdeteksi. Hal itu karena pasca kekalahannya, ISIS merevolusi pendekatannya yang awalnya top-down dengan kekhalifahan terpusat, menjadi terdesentralisasi, sporadis, dan masif. Perubahan strategi ini membuat mereka dianggap menjadi kekuatan pemberontak yang aktif dan mematikan tidak saja di Timur Tengah, khususnya di Irak dan Suriah, tetapi juga di kawasan lain.
Akhir tahun 2023 lalu, misalnya, kelompok militan ISIS mengaku bertanggung jawab atas pengeboman mematikan saat sedang berlangsung misa Katolik di Filipina yang menewaskan sedikitnya empat orang dan melukai 50 orang. Mengutip VOA, bom itu meledak pada Minggu saat misa di sebuah gymnasium universitas di Marawi. Lalu yang terbaru adalah serangan Moskow yang dibincang pada awal tulisan ini.
Dunia Pasca-ISIS
Mengutip laporan Washington Post, seperti dikutip oleh Kompas, ISIS masih memiliki sekitar 10.000 pejuang aktif dari tahun 2020-2022. Artinya, sejak kekalahannya, ISIS masih menyimpan kemampuan dan kemauan untuk melanjutkan teror berkepanjangan. Pada 26 Januari 2022, misalnya, kurang lebih sepekan sebelum serangan yang menewaskan pemimpin ISIS Imam Quraishi, militan ISIS melancarkan serangan yang kompleks dan terkoordinasi di penjara Hasaka, Suriah timur laut. Penjara ini menampung lebih dari 3.000 tersangka anggota ISIS dan hampir 700 anak dari para anggota ISIS.
Kasus-kasus ini terjadi hanya dalam kurun dua tahun. Karena itu, wajar jika banyak negara, termasuk Indonesia, yang masih mempertimbangkan memulangkan eks. simpatisan ISIS dari Suriah kembali ke Indonesia. Kekhawatiran itu bukan hanya karena akan menularkan paham ekstremisme-nya ke masyarakat, namun juga membuka lebar potensi aksi terorisme terbuka oleh eks. simpatisan ISIS yang kembali ke negaranya.
Sependek pengetahuan saya, salah satu doktrin yang diajarkan oleh kelompok ekstremis semacam Al-Qaeda atau ISIS, adalah “jika antum tidak mampu menunaikan seruan jihad di Afghanistan atau Suriah, maka tunaikanlah jihad itu di kampung halaman antum sendiri”. Tentu “jihad” dalam pengertian ini adalah “jihad qital” yaitu membunuh.
Tidak usah jauh-jauh dari Suriah, kasus bom Marawi di Filipina 2023 saja sudah mampu men-trigger oknum di Indonesia untuk mendukung aksi-aksi militansi ISIS. Pasca bom misa di Filipina, beberapa akun di Facebook justru mengapresiasi dan mensyukuri serangan itu. Mereka menganggap bahwa peledakkan itu tepat sasaran karena berhasil menewaskan orang-orang ‘kafir’ yang mengganggu realisasi syariat Islam di Filipina. Satu akun bahkan menulis ‘alhamdulillah’ dengan melampirkan korban-korban dalam tragedi itu. Narasi-narasi tersebut disukai dan sempat dibagikan oleh beberapa akun lain.
Meski tidak banyak, beberapa reaksi ini tentu meresahkan. Tak jarang, aksi-aksi teror besar selalu dimulai dengan satu titik hitam kecil yang sukar terdeteksi oleh pihak yang berwenang bahkan masyarakat di akar rumput sekalipun. Kondisi yang tentram dan aman bisa jadi hanya kenyamanan semu yang bisa dirusak oleh para kelompok radikal terorisme kapan saja.
Zero Terrorism Attack, Sebuah Alarm Dini
Pada 2023, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mengumumkan nihilnya aksi terorisme terbuka. Di satu sisi, ini adalah angin segar bagi kehidupan bangsa Indonesia. Namun di sisi lain, ini juga menjadi early warning system. Seperti hal 2019, kekalahan ISIS di Suriah tidak boleh melalaikan kewaspadaan dunia terhadap semangat militansi serupa. ISIS tidak kalah pada 2019. Mereka hanya berganti baju.
Pun ketika diumumkan tidak ada serangan terorisme terbuka pada 2023, bukan berarti kita abai terhadap potensi ancaman ekstremisme di tahun 2024. Faktanya ancaman itu masih ada dan nyata di depan mata. Serangan bom di Marawi 2023 dan Moskow 2024 menyiratkan dua hal; pertama, komunitas non-Muslim masih menjadi target rentan serangan kelompok teroris yang mengatasnamakan agama; kedua, teror yang terjadi masih menggunakan pola yang sama, yaitu menyasar agenda besar yang meniscayakan keramaian di dalamnya.
Tidak menutup kemungkinan, serangan Misa di Marawi dan Moskow hanyalah permulaan dari rangkaian teror ISIS yang mungkin sudah direncanakan di Asia Tenggara. Asumsi ini bukan bermaksud menakut-nakuti atau berprasangka buruk. Justru ini adalah momen untuk menyalakan tombol alarm agar kita siaga bahwa kematian ISIS hanyalah mitos dan serangannya di penjuru dunia akan sangat mungkin menjadi inspirasi serangan serupa di Indonesia.
Sinergi antara pemerintah dan masyarakat perlu dilakukan untuk mengawal Indonesia agar tetap damai dan kondusif. Pemerintah bisa menguatkan kerja sama dengan lembaga pendidikan dan keagamaan untuk mendorong pemahaman yang benar tentang ajaran agama dan mencegah radikalisasi. Masyarakat bisa membekali diri dengan literasi media baik dan terus mempromosikan toleransi dalam keberagaman.