Netanyahu dan Dalil Agama: Mencaci ISIS tapi Malah Menirunya

Netanyahu dan Dalil Agama: Mencaci ISIS tapi Malah Menirunya

Netanyahu dalam pidatonya kemarin mencaci ISIS, mengutuk aksi terorismenya, akan tetapi secara bersamaan, juga menyamakan diri dengan ISIS secara holistik; menggunakan dalil agama sebagai basis legitimasi kepentingan politis yang menghilangkan nilai kemanusiaan, tanpa mengetahui konteks apa yang melatar belakangi dalil tersebut.

Netanyahu dan Dalil Agama: Mencaci ISIS tapi Malah Menirunya
PM Israel, Benjamin Netanyahu. (AP/Ariel Schalit).

Sejak artikel ini ditulis, tercatat, sudah ada 8.300 lebih warga Palestina yang menjadi korban meninggal dunia. 3.500 di antaranya adalah anak-anak berusia di bawah 18 tahun. Jumlah korban ini adalah hasil akumulasi dari serangan Israel yang sudah dilakukan sejak tanggal 7 Oktober.

Selama 3 minggu ini, serangan Israel ke Palestina sangat membabi buta. Warga sipil menjadi incaran. Rumah sakit diluluh-lantakkan. Akses terhadap listrik dan air dibatasi. Bahkan, Israel menggunakan white phosphorus bomb yang penggunaannya dilarang oleh PBB di dalam perang. Bisa dikatakan bahwa ini bukan perang. Tragedi yang terjadi hari ini adalah bentuk genosida. Melihat krisis kemanusiaan ini, banyak negara anggota Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) yang menyetujui untuk dilakukannya gencatan senjata antara Palestina dan Israel.

Pada hari Selasa (31/10) kemarin, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu menyampaikan pidato singkat. Pidato berdurasi 6 menit tersebut berisikan respon penolakan Israel atas permintaan gencatan senjata yang bahkan disetujui oleh 120 Negara Anggota PBB.

Netanyahu menyebut bahwa menyetujui gencatan senjata dengan Hamas, sama saja dengan menyerah pada terorisme dan barbarisme. Penolakan ini juga ia samakan dengan penolakan yang dilakukan Amerika Serikat terhadap permintaan gencatan senjata ketika peristiwa Pearl Harbor dan 911.

Hal yang semakin membuat tidak habis pikir adalah, di akhir pidatonya, Netanyahu mengutip Bible. Ia menyatakan “The Bible says that there is a time for peace and a time for war, and this is the time for war.” Perkataan yang disampaikan oleh Netanyahu seakan menyiratkan bahwa, Bible saja sebagai sebuah kitab suci mengindahkan segala hal yang hari ini dilakukan oleh Israel. Ia menjadikan dalil agama sebagai basis legitimasi kepentingan politisnya.

Pidato Netanyahu memberikan gambaran jelas bagaimana dalil-dalil agama dicerabut dari konteksnya, ditelan mentah-mentah, lalu dimuntahkan bersamaan dengan berbagai unsur subjektivitas sang pengucap. Ini mengakibatkan hilangnya sakralitas dalil keagamaan. Pemahaman tekstualis yang diperlihatkan Netanyahu mempunyai konsekuensi menjadikan agama sebagai sebuah gambaran yang nir-nilai kemanusiaan.

Dalam Islam sendiri, memahami dan menyampaikan dalil keagamaan tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Diperlukan pemahaman dan pengetahuan, bukan hanya secara menyeluruh, tetapi juga secara mendalam (mutabahhir). Butuh berbagai syarat yang harus dipenuhi agar orang tersebut otoritatif untuk menyampaikan nilai keagamaan yang dilandasi dengan dalil.

Tekstualisme dalam memahami dalil teologis, menurut Arrazy Hasyim, merupakan salah satu akar dari terbentuknya wacana puritanisme. Dalam taraf tertentu, tekstualisme sangat memungkinkan untuk membentuk wacana radikalisme. Bahkan belakangan, dua term tersebut cenderung menjadi kesatuan semiotis; radikalisme ya bersumber dari hasil pembacaan tekstualis atas dalil agama. Hal ini lah yang dipraktikkan oleh ISIS.

Memang di dalam al-Qur’an terdapat ayat yang berbicara mengenai perang atau qital. Akan tetapi, Quraish Shihab menyatakan bahwa ayat tersebut tidak lantas bisa secara mentah-mentah dipahami sebagai anjuran untuk berperang dan membunuh dalam berbagai konteks.

Mufasir kontemporer tersebut menyatakan bahwa ayat perang atau qital di dalam al-Qur’an, tidak terlepas dari tujuan maslahat dan perdamaian. Ayat perang yang ada di dalam al-Qur’an tidak lantas menghapus ayat lain yang berbicara mengenai perdamaian. Bahkan di dalam perang pun, Nabi menghimbau agar tidak membunuh anak kecil, wanita, dan orang tua. Nabi juga melarang untuk menghancurkan rumah ibadah agama lain.

Hal ini, misalnya, terlihat dari penafsiran Quraish Shihab ketika menafsirkan QS. al-Taubah/9: 29, yang secara redaksi memerintahkan kaum Muslim untuk membunuh ahl-kitab. Jika ditelusuri konteks diturunkannya ayat (asbab al-nuzul) ini, tidak ada maksud sama sekali bagi umat Islam untuk memerangi ahl kitab. Secara historis, pada masa tersebut, memang ahl kitab dari Romawi menyulut permusuhan dan ingin menyerang Madinah. Maka konteks perang yang dianjurkan di ayat ini adalah untuk mempertahankan diri.

Dalam ayat lain, pada QS. al-Baqarah/2: 216, kata perang bahkan diasosiasikan sebagai sebuah hal yang tidak disukai oleh manusia. Jika dipahami, hal tidak menyenangkan macam apa yang diperintahkan untuk dilakukan, jika tidak dalam keadaan khusus dan spesifik (darurat atau terpaksa)?

Bayangkan jika semua orang memperlakukan dalil agama seperti Netanyahu. Jangankan perdamaian, bahkan eksistensi manusia saja bisa jadi akan menghilang dari peradaban.

Netanyahu dalam pidatonya kemarin mencaci ISIS, mengutuk aksi terorismenya, akan tetapi secara bersamaan, juga menyamakan diri dengan ISIS secara holistik; menggunakan dalil agama sebagai basis legitimasi kepentingan politis yang menghilangkan nilai kemanusiaan, tanpa mengetahui konteks apa yang melatar belakangi dalil tersebut.

Lalu, cara dan pola berpikir macam apa yang digunakan oleh orang sekelas perdana menteri yang bahkan menjabat selama 5 periode itu?

Wallahu a’lam.