Mesir adalah Saksi Perjumpaan Sufisme dan Yahudi

Mesir adalah Saksi Perjumpaan Sufisme dan Yahudi

Di Mesir juga ada perjumpaan antara Yahudi dan Islam

Mesir adalah Saksi Perjumpaan Sufisme dan Yahudi
Masjid Mohammad Ali Basha, simbol kejayaan islam di Mesir yang masih berdiri sampai sekarang

Saya pernah ditegur keras oleh salah satu pakar Islam, Mark Woodward, karena memahami sufisme terlalu sempit. Tidak berbeda dengan sebagian besar muslim yang pernah belajar sufisme atau tasawuf, saya cenderung melihat kedamaian dalam ajaran mistik Islam tersebut. Pak Mark Woodward memberikan komentar bahwa dunia sufisme juga memiliki sisi ekstrim atau konservatisme. Hal ini disebabkan setiap ajaran agama yang hidup rentang sejarah manusia, akan memiliki pengaruh dari pelbagai arah seperti pemeluk, politik hingga agama lain.

Jika kita mendengar nama Mesir, maka kemungkinan besar dalam pikiran tidak jauh dari dua hal, yaitu Al-Azhar dan Piramida. Sebagaimana sisi kota Mesir yang dikenal dengan dari penggemar Kang Abik, Habiburrahman As-Syarazi (pengarang novel “Ayat-ayat Cinta”), adalah Ashir atau pinggir sungai Nil. Padahal, Mesir juga dikenal kota yang memiliki makam beberapa ulama terkenal di dunia Islam dari berbagai wilayah ilmu.

Mesir telah lama dikenal sebagai gelanggang persemaian sufisme. Selain memiliki sejarah panjang dengan para ahli zuhud Kristen, negeri piramid tersebut juga melahirkan beberapa sufi Muslim terkenal, seperti Dzu al-Nun al-Mishri, Abu Hasan al-Syadzili, Ahmad al-Badawi hingga Ibn ‘Athaillah. Peran besar para sufi ini adalah melembagakan sufisme secara lebih mapan.

Efek domino yang terasa langsung adalah gairah persaudaraan sufi yang kuat hingga di wilayah perkotaan. Tak pelak, hal ini berimbas pada kelompok penduduk Yahudi yang sudah bermukim di sana sejak pengungsian mereka untuk menghindari penyiksaan dari Dinasti al-Muwahhidun di Barat dan tentara Salib di Timur.

Interaksi antara sufisme dan kelompok Yahudi menjadi intens disebabkan karena kerinduan akan sensitivitas mistis. Nostalgia tersebut disulut karena ketidakpuasan pada rasionalisme filsafat Peripatetik yang berlebihan, yang kemudian mengakibatkan beberapa individu Yahudi berpaling kepada model ungkapan religius yang dalam pada model spiritual mereka, yang tersedia pada kalangan sufi.

Disebutkan Moses Maimonides adalah pemimpin dari beberapa orang Yahudi yang memulai mengadopsi jalan hidup sufi. Dalam dokumen Yahudi, orang-orang ini disebut dengan he-hasid atau “orang saleh”. Di beberapa teks orang saleh Yahudi menyebutkan praktik zikir, khas sufi atau “mengingat secara spiritual”, walau tidak ditemukan secara jelas bagaimana ritus tersebut dijalankan.

Sebelum membahas lebih jauh soal ritus tersebut, literatur sufi sangat menarik perhatian orang Yahudi ini tampak karena jumlah dokumen yang ada di ruang khusus menyimpan naskah sakral yang ditemukan di awal abad ke-19, bernama Genizah. Manuskrip yang ditemukan banyak berkarakter sufi, yang memperlihatkan betapa populernya jenis literatur tersebut di kalangan Yahudi.

Ada dua jenis manuskrip yang ditemukan di sana: pertama, tulisan sufi Muslim dengan huruf Arab atau tulisan yang disalin ke dalam abjad Ibrani agar mudah dibaca oleh pembaca Yahudi. Kedua, tulisan orang saleh Yahudi yang memperoleh ilham dari sufi yang ditulis oleh penulis Yahudi.

Beberapa manuskrip dalam kategori pertama ditemukan kecenderungan para guru sufi Bagdad hingga ke mazhab Isyraqi dari Suhrawardi abad ke-12. Selain itu, juga ditemukan beberapa karya Junaid, al-Qusyairi, Alhallaj, hingga al-Munqidz min al-Dhalal, autobiografi spiritual dari al-Ghazali. Selain itu, disebutkan juga ditemukan berbagai teks yang berisi kutipan, cerita, anekdot, dan bahkan tembang karya dari para guru sufi tersebut.

Manuskrip kategori kedua yang ditemukan mencakup karangan dari kaum saleh Yahudi sendiri. Berisikan karya tentang pedoman etis dan risalah-risalah teologis, defenisi tentang maqam spiritual, juga didapatkan beberapa karya tafsir. Karya-karya ini menegaskan betapa interaksi berupa upaya menginterpretasikan kembali narasi skriptural selaras dengan doktrin sufi. Selain itu, dilihat dari karya tersebut bukan sekedar teks-teks muslim di-Yahudi-kan, tapi lebih pada pengubahan pola dan rabinik-biblikal tapi harus mengubah tulisan orisinalnya.

Anak dari Moses Maimonides, Abraham, adalah Rabi yang dipercaya paling tekun menulis karya-karya terkait dunia sufi. Tidak hanya itu, dia juga disebutkan memiliki sinagog sendiri untuk melakukan ibadah zikir, sebagaimana dijelaskan di atas.

Abraham adalah orang yang paling percaya bahwa tradisi yang dikembangkan oleh para sufi ini memiliki akar pada para Nabi seperti Daud. Tradisi kenabian tersebut disebut Abraham mulai dilupakan oleh kalangan Yahudi lebih karena kesengsaraan mereka di pengasingan.

Selain zikir, ada banyak adopsi walau tidak begitu serupa yang terjadi antara sufi dan Yahudi. Bersuci sebelum melakukan ritual, beberapa gerakan sembahyang hingga cara berdoa. Interaksi antar dua entitas ini menyiratkan kepada kita sebagai penganut agama, bahwa agama sering tidak sekaku atau serigid yang kita lakukan atau percayai. Bisa saja terdapat banyak pengaruh dari hal di luar agama kita sendiri, yang ini menegaskan bahwa akar keagamaan yang utama adalah usaha manusia yang didalamnya ada campur tangan Tuhan dalam menafsirkan alam.

Fatahallau alaihi futuh al-arifin