Mengapa Kita Melupakan Kelompok “Islam Pedesaan”? (1/2)

Mengapa Kita Melupakan Kelompok “Islam Pedesaan”? (1/2)

Di balik tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok Muslim di perkotaan, kita mungkin sedikit berpaling dari kelompok “Islam pedesaan”.

Mengapa Kita Melupakan Kelompok “Islam Pedesaan”? (1/2)
islam perkotaan dan islam pedesaan

Sekolah Islam modern, pengajian eksklusif perkotaan, gaya hidup halal, umrah dan ‘wisata religi’, dan ketertarikan pada produk-produk ekonomi syariah adalah di antara beberapa aspek yang menonjol dalam perkembangan kehidupan Muslim di perkotaan Indonesia akhir-akhir ini.

Mereka menjadi bagian yang tidak dapat dilepaskan dari hiruk-pikuk kontestasi politik identitas Muslim kelas menengah perkotaan yang pada akhirnya sering kali menimbulkan gesekan-gesekan dengan kelompok Muslim (dan juga non-Muslim) yang lain (lihat: Menelusuri Politik Identitas dan Sentimen Kebencian Muslim Kelas Menengah Kita).

Sejalan dengan hal tersebut, riuh-rendah pemberitaan media sosial, media daring, media elektronik, dan media cetak pun cenderung untuk lebih mengeksplorasi fitur-fitur kehidupan Muslim di perkotaan, dibandingkan dengan kehidupan Muslim di pedesaan. Mengapa bisa begitu? Apakah kehidupan Muslim di pedesaan tidak menarik? Atau kehidupan Muslim di pedesaan sudah seperti rekan imbangannya di perkotaan? Ataukah kehidupan Muslim di pedesaan sudah “mati”? Tulisan ini akan berusaha untuk mengupasnya.

Pesantren dan Kyai

Pesantren dan kyai adalah dua fitur utama yang sering dikaitkan dengan kehidupan Islam di pedesaan. Di Jawa, terutama di bagian tengah dan timur, selain keduanya, kita juga dapat mengaitkan Nahdlatul Ulama (NU) ke dalam fitur penting kehidupan Islam di pedesaan.

Dalam sejarah Islam di Indonesia, pesantren umumnya dianggap sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional. Pesantren bersifat tradisional dalam hal konten pendidikan yang terutama bersifat religius; dalam hal proses belajar mengajar; dan dalam hal manajemen yang terutama berada di tangan para ulama tradisional yang sering kali disebut sebagai kyai.

Setidaknya ada tiga peran penting pesantren dalam komunitas Muslim: pertama, sebagai pusat transmisi pengetahuan agama; kedua, sebagai pengawal tradisi Islam; dan ketiga, sebagai pusat reproduksi ulama. Pesantren dan lembaga serupa di bagian lain di Asia Tenggara, seperti surau, adalah pusat kehidupan keagamaan pedesaan di mana mereka cenderung berorientasi kepada perawatan tradisi dan juga bersifat konservatif secara sosial-keagamaan (Noor, Sikand, dan Van Bruinessen 2008, 26; Azra dan Afrianty 2005, 1; Van Bruinessen 2008, 218).

Pesantren adalah pusat transmisi Islam tradisional dengan kitab kuning yang berfungsi sebagai teks klasik dari berbagai pengetahuan Islam yang diajarkan oleh para kyai (Van Bruinessen 1994, 121) dalam rangka mempertahankan tradisi Islam tradisional serta menghasilkan orang-orang yang akan menjaga tradisi tersebut. Pesantren baru berkembang luas di paruh kedua abad ke-19 di Hindia Belanda (Van Bruinessen 1994, 131-133; 1995, 173-176; Ricklefs 2007, 52). Pesantren secara eksklusif dimiliki oleh kyai atau keluarga kyai dan dipandang sebagai pusat keagamaan untuk pendidikan santri yang ingin menjadi pemimpin agama atau bagi mereka yang hanya dikirim oleh orang tua mereka untuk belajar tentang pengetahuan Islam.

Kyai

Menurut Deliar Noer, istilah kyai menunjukkan dua jenis kelompok. Yang pertama terdiri dari orang-orang yang pengetahuannya tentang Islam melebihi orang biasa, dan yang biasanya mengabdikan diri mereka untuk mengajarkan pengetahuan tentang Islam. Tipe kedua lebih dekat hubungannya dengan seorang dukun yang mengajarkan doktrin mistik dan mempraktikkan pengobatan tradisional (Noer 1973, 8).

Kyai telah menjadi perantara sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Salwa Ismail tentang ulama yang menyebutkan bahwa secara historis ulama telah memainkan peran sebagai penasihat masalah-masalah keagamaan, dan keterlibatan mereka dalam pergulatan politik dan kekuasaan dibentuk oleh posisi mereka dalam hierarki sosial dan politik pada waktu tertentu. Namun, mereka berkontribusi pada definisi ruang publik melalui pernyataan tentang isu-isu kepentingan publik, ketentuan fatwa, dan melalui khotbah-khotbah kepada penguasa dan rakyat (Ismail 2004, 153).

Secara umum, kyai di daerah pedesaan hingga saat ini masih memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat. Kyai dipandang sebagai orang yang memiliki pengetahuan luas tentang Islam, dan yang kemampuannya dalam bidang agama melampaui kemampuan rakyat jelata. Mereka dihormati sebagai sumber yang paling otoritatif dalam pengetahuan tentang Islam. Penghargaan tinggi di mana masyarakat menghormati kyai, menempatkan mereka sebagai pemimpin rakyat, sebuah posisi yang sebagian besar telah dicapai sejak setidaknya awal abad ke-19 di Hindia Belanda ketika aristokrasi lokal secara bertahap kehilangan pengaruh mereka.

‘Islam Perkotaan’ vis-à-vis ‘Islam Pedesaan’

Di balik tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok Muslim di perkotaan yang semakin memberikan karakter penting dan menarik untuk diteliti dalam perkembangan Islam di Indonesia, kehidupan Muslim di pedesaan tentu saja juga berkembang, bertransformasi, berkesinambungan, dan sama-sama menarik untuk diteliti.

Salah satu indikasinya terlihat dalam pentingnya pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional utama dan juga sebagai kendaraan sosial-politik kyai yang masih tergambar dengan jelas dalam kehidupan sosial-politik-budaya masyarakat Indonesia (lihat misalnya Mark Woodward, Java, Indonesia and Islam, 2011; Muhammad Adlin Sila, Maudu’: A Way of Union with God, 2015; atau Yanwar Pribadi, Islam, State and Society in Indonesia: Local Politics in Madura, 2018).

Bertolak belakang dengan sebagian besar perdebatan akademik terkini tentang Islam yang cenderung terfokus pada pemikiran, praktik, ritual, dan tradisi Muslim kelas menengah perkotaan, ketiga buku tersebut menunjukkan bahwa pemahaman dan praktik Islam tradisional di pedesaan di tengah-tengah tumbuh dan berkembangnya pemahaman dan praktik-praktik Islam bergaya perkotaan ternyata masih tetap bertahan. Pedesaan Indonesia jelas merupakan tempat di mana kelompok-kelompok Muslim, otoritas sosial-politik lokal, dan lembaga-lembaga keagamaan Islam bukanlah sekedar elemen tradisional warisan pra-kolonial dan kolonial yang mudah tersubordinasi oleh modernitas.

Secara garis besar, terdapat dua karakteristik atau representasi utama dari masing-masing kubu, ‘Islam Perkotaan’ dan ‘Islam Pedesaan’, yang sering kali digambarkan bertentangan, yaitu pesantren vs Sekolah Islam dan kyai vs ustadz. Sekolah Islam di sini adalah sekolah modern yang tidak seperti pesantren tradisional dan madrasah yang dikelola oleh Kementerian Agama.

Sekolah Islam sebagian besar mengikuti sistem dan kurikulum sekolah pemerintah dan berada di bawah kewenangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Karena banyak siswa dari keluarga kelas menengah bersekolah di Sekolah Islam, sekolah-sekolah ini sering dianggap sebagai sekolah Islam elit. Dalam hal religiusitas, banyak Sekolah Islam dipengaruhi oleh ide-ide transnasional Islam, yang kebanyakan adalah Salafisme. Sementara itu, ustadz di sini adalah agamawan yang diasosiakan terinspirasi atau mengikuti doktrin Salafisme yang menolak bid’ah dan mendukung penerapan syariah dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks Salafisme, banyak ustadz dapat dianggap sebagai ‘Salafi aktivis’ yang juga terlibat dalam politik.

Bersambung ke tulisan selanjutnya.