Merumuskan Qadha, Qadar, dan Tawakkal: Sikap Teologis dalam Menghadapi Wabah Covid-19

Merumuskan Qadha, Qadar, dan Tawakkal: Sikap Teologis dalam Menghadapi Wabah Covid-19

Dalam menyikapi wabah virus covid-19 yang tengah melanda, penting bagi umat Muslim untuk memahami rumusan qadha, qadar dan tawakkal secara benar.

Merumuskan Qadha, Qadar, dan Tawakkal: Sikap Teologis dalam Menghadapi Wabah Covid-19

Bencana merupakan sebuah peristiwa yang menimbulkan kerugian pada kehidupan manusia, baik itu nyawa atupun harta benda. Peristiwa-peristiwa alam yang tidak menimbulkan korban atau kerugian, akan dianggap sebagai gejala alam biasa, bukan bencana. Peristiwa alam tersebut baru dikatakan bencana apabila mengakibatkan kerugian dan korban. Tugas manusialah untuk mensiasatinya supaya semaksimal mungkin tidak terkena dampak dan kerugian dari berbagai fenomena alam tersebut, termasuk bencana wabah Covid-19 yang sekarang kita hadapi.

Dalam menyikapi bencana wabah virus Covid-19, terdapat tiga konsep penting di dalam ajaran Islam yang harus kita pahami secara benar, yaitu qadha, tawakkal, dan qadar (takdir). Perspektif di atas dapat dicari penjelasannya secara teologis dalam ajaran agama.

Qadha adalah segala sesuatu di alam semesta ini yang telah ditentukan hukum dan rumusan-rumusannya oleh Allah (sunnatullah), seperti kalau orang ingin pandai, maka harus belajar; jika ingin kaya maka harus bekerja; api jika ingin padam maka harus disiram dengan air. Sedangkan tawakkal adalah “usaha untuk pasrah dan taat” terhadap segala qadha Allah tersebut. Dengan begitu, tawakkal adalah usaha mewujudkan qadha; qadha itu teori dan rumusnya, sedangkan tawakkal itu prakteknya. Jika sudah ber-tawakkal terhadap qadha Allah, maka setiap manusia harus selalu siap dengan segala qadar/takdir (keputusan) Allah terhadap dirinya, baik itu berupa kebaikan ataupun keburukan. Jadi, takdir itu adalah keputusan akhir Allah yang bisa saja sesuai dengan qadha atau juga tidak sesuai.

Melalui kerangka berpikir tersebut, kita harus meyakini bahwa seluruh peristiwa dan kejadian di alam semesta ini pada hakikatnya adalah sesuatu yang sudah di-qadha-kan, ditentukan, dan dirumuskan oleh Allah. Allah telah menetapkan hukum dan rumus-rumus kehidupan untuk mengatur ketertiban alam semesta, sehingga segala “hukum alam” yang berlaku di dunia ini pada hakikatnya adalah juga sebagai sunnatullah. Peristiwa alam seperti merebaknya virus Covid-19 dalam cara pandang ini adalah sebuah kejadian alam biasa yang memang sudah sewajarnya terjadi, karena hukum kausalitas (sebab-akibat) alam sudah menghendaki demikian. Manusia harus tawakkal (pasrah dan tunduk) terhadap qadha Allah ini.

Ketika qadha Allah berupa merebaknya virus Covid-19 yang menimbulkan bencana terhadap manusia, maka saat itu juga manusia harus ber-tawakkal terhadap qadha Allah yang lainnya, yaitu ketentuan Allah bahwa jika terjadi potensi bencana yang akan menimpa dan membahayakan dirinya, maka manusia diperintah untuk berusaha (ikhtiar) mencari keselamatan diri semaksimal mungkin dari ancaman bencana virus corona (Covid-19) tersebut.

Karena itu, di dalam sikap tawakkal terdapat anjuran untuk ber-ikhtiar. Tawakkal bukan berarti pasrah atas segala peristiwa yang telah menimpa diri kita dan bermakna “pasif” serta menghindar tanpa melakukan apa-apa, tetapi terdapat ikhtiar untuk pasrah dan tunduk terhadap segala sunnatullah (qadha) Allah di alam semesta ini, sehingga bermakna “aktif”.

Ketika terjadi suatu bencana yang menimpa, maka bentuk ke-tawakkal-an manusia adalah dengan berusaha aktif secara maksimal untuk meminimalisir korban dan kerugian yang ditimbulkan dari bencana itu, sebagaimana disinyalir dalam al-Quran:

فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ

Apabila kamu telah berketetapan hati [azam], maka bertawakkallah kepada Allah..” (Ali-Imran: 159).

Karena itu, sikap tawakkal harus sudah ada, bahkan ketika seseorang baru berniat untuk ber-ikhtiar, tawakkal bukan malah setelah ikhtiar, karena tawakkal itu adalah ikhtiar itu sendiri dalam bingkai qadhanya Allah.

Bencana digambarkan oleh al-Quran sebagai salah satu bentuk ujian atau cobaan bagi manusia yang niscaya harus dihadapi, bukan dihindari, seperti yang ditegaskan dalam ayat:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ

“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan…” (al-Baqarah: 155).

Tugas manusia kemudian adalah bagaimana dengan bencana itu dia tetap bisa menyikapinya secara baik, sesuai dengan ayat: الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ [(Dia) yang menjadikan hidup dan mati, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kalian yang paling baik amalnya…” (al-Mulk: 2)]. Bersikap baik ketika tertimpa bencana yang dianjurkan oleh al-Qur’an sebagaimana akhir ayat Surah al-Baqarah di atas adalah وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ (bersikap sabar) sebagai sebuah manifestasi ketawakkalan.

Sabar di sini dalam arti melakukan ikhtiar untuk meminimalisir korban akibat bencana atau juga sikap ketika tertimpa bencana yang diwujudkan melalui lima prinsip maqashid al-syari’ah, yaitu melindungi agama dan keyakinan (hifdz al-din), melindungi dan menyelamatkan jiwa (hifdz al-nafs), melindungi akal pikiran (hifdz al-‘aql), menjaga keturunan dan keluarga (hifdz al-nasl), dan menjaga harta benda (hifdz al-mal). Setiap usaha dalam meminimalisir kerugian akibat bencana harus mencakup ikhtiar, baik dhahir maupun batin, untuk melindungi dan menyelamatkan kelima unsur tersebut. Di samping itu, usaha tersebut juga mesti disandarkan pada kelima hal di atas supaya selaras dengan prinsip dan tujuan diberlakukannya syariat. Dengan begitu, usaha menghindari dan meminimalisir dampak bencana mempunyai landasan syariat yang kuat sebagai sesuatu yang harus dilakukan.

Meskipun manusia sudah bersikap pasrah dan tunduk melalui ikhtiar terhadap qadha Allah, adalah hak Allah jika menghendaki sesuatu yang berbeda dari sunnatullah atau hukum alam yang telah ditetapkannya. Manusia boleh berusaha semaksimal mungkin menyelamatkan diri dari kerugian bencana dan Allah berketetapan menyelamatkannya. Tetapi bisa juga sebaliknya, Allah malah berketetapan memberikan bencana meskipun manusia telah berusaha menghindarinya.

Oleh karena itu, peran qadar atau takdir Allah menjadi amat penting, sebab di sinilah letak batasan kebebasan dan usaha manusia dengan kekuasaan Allah. Manusia, dalam hal ini boleh mamandang setiap peristiwa alam semesta ini sebagai sebuah perwujudan qadha Allah yang lumrah terjadi, namun seberapapun usaha manusia dalam rangka ber-tawakkal terhadap qadha-Nya, qadar (takdir) tetap menjadi sebuah kata putus dari Allah, yang hukum alam dan usaha manusiapun tidak mampu mengubahnya.

Namun, ada yang bisa mengubah dari satu qadar atau takdir Allah kepada takdir Allah yang lainnya, yaitu doa. Doa merupakan salah satu penyebab terkuat dalam menolak hal-hal yang tidak disukai. Doa juga merupakan lawan dari bencana, yang bisa menolak, menanggulangi, mencegah, dan meringankan bencana.

Pertemuan antara doa dan bencana ini, menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam Kitab Abwaabul Faraj (pintu-pintu jalan keluar) mengandung tiga kemungkinan; pertama, doa bisa jadi lebih kuat dari bencana, sehingga doa mampu menolak bencana itu; kedua, doa bisa lebih lemah dari bencana, sehingga bencana akan menimpa seseorang, tetapi mungkin saja doa bisa meringankan bencana meskipun kadarnya lemah; dan ketiga, doa dan bencana saling melawan dan mencegah sama kuat satu sama lain, namun bisa saja pengaruh dari doa itu terlambat karena terdapat isi doa di dalam hati yang tidak disukai oleh Allah karena mengandung permusuhan, tidak yakin akan dikabulkan doanya, atau karena adanya makanan haram yang masuk ke tubuh seseorang, penyakit hati, hawa nafsu, dan syahwat.

Marilah kita sikapi bencana wabah Covid-19 ini secara tepat dalam kerangka konsep qadha, tawakkal, dan qadar sebagaimana di atas, sehingga bencana ini tidak selalu diidentikkan dengan kedukaan, kesialan, dan peristiwa negatif, tetapi bisa juga berarti peristiwa yang membawa angin positif dan hikmah bagi manusia untuk bercermin diri dan menata kehidupan yang lebih baik.

Karenanya, kita harus selalu bertawakkal kepada Allah, yaitu berikhtiar untuk selalu pasrah menetapi qadha Allah di muka bumi ini, serta selalu siap menerima apapun qadar (takdir) Allah setelah melalui tawakkal dan doa yang penuh keyakinan dan ketulusan.

Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Baca juga: Bagaimana Akidah Islam Membincang Pandemi Covid-19?