Poligami kerap menjadi topik pembicaraan yang kontroversial, bahkan di negara dengan populasi masyarakat mayoritas muslim seperti Indonesia. Meski dalam hukum Islam praktik poligami diperbolehkan, tetap saja ia memiliki celah untuk dipertentangan oleh sebagian umat muslim.
Laporan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), bekerjasama dengan Goethe Institut, Friedrich Naumann Stiftung, dan Fur Die Frejheit pada tahun 2010 menyebutkan bahwa 52,9 pemuda muslim Indonesia menolak poligami, sementara 32,9 persen sangat menentang poligami. Maka ketika Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzanul Ulum, menyerukan nikah muda dan poligami sebagai solusi mengatasi tingginya kasus HIV/AIDS di Bandung dari rentang tahun 1991 – 2021, ia langsung mendapat pertentangan keras dari warganet.
Banyak pihak menyayangkan alur berpikir tersebut. Selain wacana poligami itu keluar dari pejabat daerah yang semestinya netral, logika yang dia sampaikan ternyata juga bermasalah. Pesebaran virus HIV/AIDS pada dasarnya tidak berhubungan dengan hukum halal-haram, melainkan terkait bagaimana sebuah hubungan seksual diselenggarakan. Mau pasangan yang sudah menikah sekalipun, kalau aktivitas seksualnya ugal-ugalan, ya mereka tetap punya peluang yang besar untuk terinfeksi penyakit kelamin.
Tapi barangkali sudah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat Indonesia bahwa dalam merespon persoalan tertentu solusi yang diberikan seringnya (harus) terbungkus dengan hal-hal yang bersifat normatif dan agamis. Seperti solusi mengatasi persoalan HIV/AIDS dengan menikah dan poligami tersebut.
Untuk merunut logika berpikir poligami, saya kemudian mencoba nonton beberapa video dokumentasi tentang praktik poligami. Salah satu video yang saya tonton merupakan penelusuran dari Vice yang menyoroti praktik poligami dari sudut pandang praktisi. Dalam video terdapat beberapa alasan seseorang melakukan poligami, salah satunya adalah Tuhan memberitahukan kepada laki-laki untuk memiliki kemungkinan menyukai lebih dari satu perempuan. Oleh karena itu terbuka kemungkinan terjadinya perselingkuhan dan perzinahan. Maka solusi atas persoalan tersebut adalah dengan cara berpoligami.
Alasan lainnya adalah di akhir zaman ini fitnah bisa datang dari para wanita, dan oleh karena itu akidah mereka butuh diselamatkan dengan cara poligami. Ada juga yang beranggapan bahwa ukuran sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang memiliki banyak istri. Yang paling populer, adalah dalam rangka memperbanyak kuantitas muslim, maka seorang laki-laki dianjurkan untuk memiliki banyak istri agar mendapat banyak anak.
Dari alasan-alasan tersebut, secara implisit tergambar bagaimana posisi laki-laki diletakkan sebagai pihak yang dominan, yaitu pengayom, pelindung, serta ‘savior’ yang menyelamatkan perempuan-perempuan malang dari fitnah dunia. Mereka adalah pemimpin yang membimbing para wanita menuju surga Tuhan meski dengan cara yang, bagi sebagian besar perempuan, tidak mengenakkan dan menyiksa batin yaitu dengan poligami.
Saya justru melihat bahwa penggambaran tersebut berarah pada kecenderungan maskulinitas berlebih yang seolah-olah (di)ada(kan) dalam konstruksi ideal seorang lelaki. Kacamata masyarakat yang membingkai kriteria laki-laki ideal sebagai sosok ‘maskulin’ membuat mereka justru berada pada pseudo-maskulinisme. Padahal tidak selamanya laki-laki itu harus selalu kuat, mampu menjadi pelindung, menjadi pemimpin yang dapat diandalkan, serta menjadi ‘penyelamat’ bagi keluarga mereka. Ada kalanya situasi menjadi berbalik.
Konstruksi sosial yang membentuk kriteria “laki-laki” itu kemudian justru memungkinkan situasi destruktif karena mengantarkan manusia pada keadaan delusif dan menyesatkan mereka pada pemaknaan yang tidak komprehensif. Maka melegitimasi poligami dengan alasan Tuhan menciptakan nafsu seksual laki-laki lebih tinggi dan mengemban misi penyelamatan perempuan dari fitnah dunia dan api neraka, itu semua merupakan lompatan logika yang luar biasa banal. Belum lagi dengan makna salah kaprah yang menggampangkan praktik poligami atas alasan sunnah Nabi.
Saya kira sudah banyak artikel yang menyebut jika praktik poligami Rasulullah SAW sepenuhnya bukan atas sebab dorongan nafsu atau karena konstruksi maskulin yang disematkan masyarakat kepada beliau.
Sebaliknya, Kanjeng Nabi Muhammad SAW yang menikah lebih dari sekali di masa itu seharusnya dibaca dari aspek strategi ekonomi-politik dan kebudayaan di mana pernikahan yang beliau selenggarakan itu memang membawa dampak sosial yang progresif, alih-alih kontra-produktif.
Maka seperti dibilang oleh Prof. Quraish Shihab bahwa poligami itu ibarat pintu darurat di pesawat. Kita tidak boleh menutup rapat pintu tersebut sebab, boleh jadi terdapat kondisi di mana kita harus membukanya. Namun, kita juga tidak boleh sembarangan membuka pintu tersebut sebelum mendapat izin dari pilot pesawat. Terakhir, hanya orang yang sehat dan mampu membuka pintu tersebut yang diperbolehkan duduk di sana. Wallahu a’lam.