Indonesia mempunyai pengalaman panjang berhadapan dengan kelompok terror. Berbagai organisasi teroris telah tumbuh dan tumbang silih berganti. Tetapi, di antara banyak organisasi teroris itu, Jamaah Islamiyah (JI) mempunyai peran tersendiri.
Sekalipun JI dikabarkan telah bubar, namun para analis melihat bahwa tidak ada organisasi militan yang sekuat JI. Baik dari segi sumber daya manusia, jaringan, maupun pendanaan. JI dikenal memiliki sumber daya manusia yang mumpuni di berbagai bidang. Ideologi keagamaan, kemampuan survival, militer, penggalangan dan lain sebagainya. Lembaga pendidikannya menyebar di berbagai wilayah di Asia Tenggara. Sumber pendanaannya berasal dari dalam dan luar negeri. Organisasi ini memiliki koneksi dengan organisasi jihad global, Al-Qaeda. Wilayah operasinya meliputi Asia Tenggara dan Australia.
JI berdiri pada 1993, sebagai kelanjutan perjuangan aktivis Darul Islam yang diburu pemerintah Indonesia. Adalah Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir, dua orang yang dianggap sebagai pendiri organisasi rahasia ini. Abdullah Sungkar telah meninggal dunia. Hanya Abu Bakar Baasyir yang masih hidup di usia yang sudah sangat renta. Tetapi, namanya masih sering disebut dan dikaitkan dengan aksi terorisme pada 2020 ini. Abu Bakar Baasyir menyangkal bahwa dia merupakan pimpinan JI. Dia mengaku tak tahu menahu tentang organisasi tersebut.
Pengakuan berbeda muncul dari para pengikutnya dan anggota organisasi ini. Nasir Abbas merupakan salah satu anggota JI yang kemudian berbalik arah membongkar keberadaan organisasi ini ke publik. Struktur rahasia organisasi hingga ideologi yang dianut organisasi.
Jejak JI dapat ditelusuri dalam berbagai kasus serangan teror mematikan sejak tahun 2000-an. Para pelakunya selalu dikaitkan dengan organisasi misterius ini. Bom Bali 1, Bom Bali 2, Bom JW Marriot dan serangan berskala besar yang menarget sasaran yang diidentifikasi sebagai simbol Barat lainnya. Para pelakunya seringkali terhubung dengan organisasi bawah tanah ini.
Para pemimpin politik Islam di Indonesia menyangkal keberadaan organisasi ini. Di antara yang secara tegas meragukan keberadaan organisasi ini adalah Hamzah Haz dan Amin Rais.
Think Globally, Act Locally
Berbeda dengan organisasi militan Darul Islam, JI memiliki orientasi global sekalipun aksi-aksi yang dikaitkan dengannya bersifat lokal. Ini tidak dapat dilepaskan dari sejumlah hal.
Pertama, jaringan organisasi ini yang lintas negara. Pelarian Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir ke Malayasia berhasil menghubungkan keduanya dengan para militan dari seluruh penjuru dunia Islam, khususnya Timur Tengah, di kancah perang Afghanistan, media 80-an. Keberhasilan ini tidak disia-siakan sehingga pada awal 1990-an, keduanya memutuskan keluar dari DI dan membentuk organisasi baru yang lebih segar, JI.
Kedua, pengaruh pemikiran ideologis. Tidak dapat disangkal bahwa Pedoman Umum Perjuangan JI (PUPJI) yang menjadi rujukan perjuangan JI banyak memiliki sisi kemiripan dengan ideologi Al-Jamaah Al-Islamiyah, Mesir. Nama dan ideologi yang identik menunjukkan betapa pengaruh pemikiran dari Timur Tengah ini sangat kuat dalam pendirian organisasi. Aspek ini menguatkan asumsi bahwa JI di Indonesia memiliki berwarna global dibanding produk lokal murni. Sekalipun orang-orangnnya merupakan aktivis-aktivis lokal yang terhubung dengan ideologi Darul Islam.
Ketiga, orientasi perjuangannya untuk menegakkan negara Islam di tingkat regional Asia Tenggara. Seperti agenda besar Ikhwanul Muslimin, Jamaah Islamiyah Mesir, dan Al-Qaeda, yang mengadenkan restorasi khilafah, JI memiliki tujuan ini. Agenda besarnya, setelah berhasil mendirikan negara Islam di tingkat regional, adalah bergabung dalam sebuah konfederasi negara-negara Islam militan dari bagian dunia Islam lainnya dalam wadah negara global Khilafah Islamiyah. Tujuan ini akan diwujudkan dengan gerakan jihad. Ini membedakan JI dengan berbagai jaringan Ikhwanul Muslimin di seluruh dunia yang sering lebih memilih menggunakan jalur demokrasi untuk mewujudkan tujuannya. IM terlibat dalam pemilihan umum, sedangkan JI tidak.
Keempat, pengaruh Al-Qaeda dalam JI yang sangat kental. Pertama dari sisi pendanaan dimana sejumlah aksi anggota JI mendapat dukungan pendanaan dari organisasi tersebut. Target sasaran yang menarget simbol-simbol negara Barat, tidak lain bentuk permusuhan organisasi tersebut terhadap Barat sebagai far enemy (musuh jauh) yang harus dimusnahkan terlebih dahulu.
Dalam narasi JI, kondisi dunia saat ini merupakan kelanjutan dari perang Salib berabad-abad lalu. Saat ini adalah era kemenangan negara-negara Kristen-Barat. Dunia Islam mengalami kekalahan mulai dari penjajahan hingga terbentuknya negara-bangsa saat ini. Negara-negara bangsa yang berdiri di berbagai kawasan Muslim di dunia harus dihancurkan karena merupakan kepanjangan tangan negara-negara Barat-Kristen. Hubungan dengan anasir Al-Qaeda inilah yang membuat sebagian anggota JI terburu-buru melakukan aksi kekerasan teroristik yang berakibat pada ambyarnya organisasi ini secara keseluruhan. JI terbongkar dan agendanya untuk mendirikan negara Islam di tingkat regional buyar.
Keberhasilan dan Kegagalan
JI dapat dikatakan gagal mewujudkan cita-citanya mendirikan negara Islam di kawasan Asia Tenggara. Organisasinya bubar, lalu menyebar ke berbagai gerakan jihad baru yang lebih kecil dan bersifat lokal. Jaringan internasionalnya terputus. Aktivis JI yang masih bertahan, kehilangan jaringan globalnya.
Namun demikian, bukan berarti JI tidak meninggalkan warisan berharga bagi organisasi sejenis yang menjadi penerusnya. JI telah meninggalkan warisan berharga; kebanggaan melakukan serangan teror yang oleh banyak aktivis gerakan jihad dianggap bentuk aksi kepahlawanan yang membanggakan. Serangan teror selama 2000-2009 terkadang menjadi kebanggaan tersendiri yang mengekspresikan kebencian para anggotanya terhadap Barat.
JI telah berhasil mentransfer ideologi dan bakat militernya ke anggota-anggota baru melalui sejumlah pusat pelatihan di kawasan konflik di Indonesia dan Asia Tenggara, seperti Aceh, Moro, Poso dan Ambon. Para eks kombatan memiliki kemampuan militeristik, sekalipun di bawah kemampuan para anggota JI, tetap saja menjadi berbahaya ketika digunakan melakukan aksi teror. Para eks kombatan ini mendirikan organisasi jihad yang lebih kecil tetapi sangat berbahaya; Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), Mujahidin Indonesia Barat (MIB), Mujahidin KOMPAK, dan yang terakhir yang paling belakangan namun masih rajin beroperasi adalah Jamaah Anshorud Daulah (JAD). Yang disebut terakhir melanjutkan globalisasi jaringan jihad seperti yang dilakukan JI belasan tahun sebelumnya.
Saat ini, Indonesia sedang menghadapi jaringan JAD yang penuh kebutralan, tetapi masih lebih terancam oleh jaringan Neo JI yang ternyata memiliki kekayaan luar biasa seperti yang ditampilkan oleh pemimpinnya Para Wijayanto baru-baru ini. Jamaah Islamiyah lama yang militeristik telah bubar. Tetapi jaringan organisasi jihad yang ditanam belasan tahun lalu masih terus hidup menghantui Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).