Ustadz Hanan Attaki menjadi perbincangan di kalangan remaja dan pemuda islam, khususnya di perkotaan. Kota Bandung bahkan menjadi salah satu pusat dakwah dengan ribuan anak muda yang menyemut kala kajian tiba. Anda bisa gampang saja datang di masjid Al Lathief di Transtudio Bandung ketika ia ceramah. Tentunya, di era sekarang, sangat mudah untuk mencari informasi kajian, cukup dengan pantengin media sosial milik ustadz kelahiran Aceh 31 Desember 1981.
Hal itu pula yang dilakukan oleh banyak remaja islam dan juga anak-anak muda Bandung dan sekitarnya. Laporan Detik pada 2015 tentang beberapa musisi hijrah juga berkaitan dengan apa yang Ustadz Hanan Attaki lakukan dengan gerakan ‘pemuda hijrah’dan belakangan publik mengenalnya sebagai salah satu gerakan populer di media sosial dan tidak hanya mencakup kota Bandung dan sekitarnya, melainkan juga kota-kota lain.
Lalu, bagaimana membaca fenomena hal ini? Bukankah apa yang dilakukan oleh Ustadz Hanan Attaki bukan hal baru, malah biasa saja? Toh, ustadz-ustadz di Muhammadiyah maupun NU juga melakukan pengajian yang sama, lalu apa yang membedakannya dan disukai?
Pertanyaan-pertanyaan ini tampaknya menjadi kegelisahan bagi banyak alumni pesantren, maupun mereka yang hidupnya di dunia dakwah. Apalagi, sebagai contoh, Ustadz Hanan tidak tampil di layar kaca laiknya para dai televisi lain yang dikenal publik seperti Ustadz Wijayanto, Mamamh Dedeh, Ustadz Solmed, AA Gym dan lain sebagainya.
Baca: Ustadz Hanan Attaki dan Kontroversi Berat Badan cewek Sholehah
Untuk bisa menelisik fenomena itu, agaknya, riset dari Yuswohadi, Hasanuddin Ali dkk dalam buku #GenM Generation Moslem (2016) penting untuk dikemukakan. Riset itu mendedahkan klasifikasi penting tentang fenomena dunia keislaman di Indonesia hari ini dan bagaimana seharusnya kita (pesantren) menjadi bagian dari dunia yang sedang berubah ini.
Dalam riset tersebut, mereka menyebut ada generasi generasi baru muslim Indonesia yang berbeda. Generasi Ini merupakan kelas menengah muslim yang terkoneksi dengan akses media digital dan membutuhkan sentuhan dakwah yang lebih interaktif, efektif dan mudah diakses. Mereka menyebut diri #GenerationMuslim atau disingkat #GenM.
Lalu, Siapakah #GenM itu? Apa bedanya dengan generasi sebelumnya atau kelas menengah muslim lainnya?
Kalau melihat teori generasi, mereka tidak termasuk Gen Y, Gen X seperti yang kerap kita lihat dari teori generasi ala barat untuk melihat klasifikasi masyarakat dan bagaimana mereka melihat segala sesuatu, baik ideologi maupun cara hidup. Secara spesifik #GenM berada di Indonesia dan merupakan generasi yang sekarang mendominasi digital di Indonesia dengan rataan umur 20 tahun (Rentang usia lahir akhir 1980 dan awal 1990).
Ciri-ciri #GenM yang paling tampak adalah, Pertama, religius. Mereka ini bisa saja produk pesantren, tapi kebanyakan orang biasa dan lagi senang-senangnya mempelajari agama. Kedua, cara pandang islam sebagai rahmatan lil alamin (universal goodness) bagi dunia.
Bagi mereka, segala kekacauan yang terjadi saat ini disebabkan oleh ketamakan manusia dan nilai islam bisa memberikan manfaat. Titik inilah, agaknya, yang membuat Ustadz seperti Hanan Attaki yang gaul, muda dan tampak cerdas ini digemari.
Baca juga: #GenM dan Bagaimana Seharusnya Berdakwah di Era Digital
Ketiga, dan ini yang paling penting, #GenM ini modern, berpengetahuan dan melek teknologi. Sederhananya, bagi #GenM tiada bisa hidup tanpa internet. Apa pun yang mereka lakukan selalu beririsan dengan Google, Facebook, Twitter, Youtube, Snapchat dan teknologi lain.
Dalam Laporan Majalah Tempo bertajuk Go Dai bulan Juni 2108 lalu juga dipaparkan bagaimana ia dan timnya memang menyasar generasi ini, di bawah 30 tahun. Generasi yang memang anak muda dan tentu saja gaul dengan teknologi. Ia, bahkan memiliki tim dan memang menyiapkan betul materi, termasuk penyampaiannya, temasuk urusan pakaian dan segala hal yang dibutuhkan laiknya sebuah pertunjukan.
Sederhananya, tim ini yang menjadikan Ustadz Hanan Attaki seperti yang dikenal sekarang: gaul, muda, energik dan ngerti pasar. Ditambah, ia memang lulusan Al Azhar University. Sebuah paket lengkap dakwah modern, kira-kira begitu.
Baca juga: Ustadz Hanan Attaki dan Para Istri Rasulullah, Kritik Matan Hadis
Hal itu bisa Anda lihat di Kanal Pemuda Hijrah yang ia kelola dan timnya, misalnya, sudah 150.498 subscriber dengan jumlah 86 video. Instagram pribadinya sudah difollow 3,7 juta. Belum lagi, bentuk video di youtube, facebook dan media sosial lain, serta audio-video 1 menitan dengan persoalan-persoalan teknis keseharian anak muda seperti cinta, galau dan sejenisnya akan mudah masuk ke anak-anak muda ini.
Keempat, makmur (High Buying Power) dalam artian, #GenM ini terlahir mampu membeli atau mengakses apa saja yang ia inginkan. Ia bisa jadi orang cukup–dalam teori ini, disebutkan bahwa umur rataan #GenM ini ya masih remaja atau mendekati kuliah. Dan jumlahnya banyak sekali.
Hal itu, belum ditambah para pesohor media yang menjadi pengikut Ustadz Hanan. Media sosial dan mudahnya mengakses pengajian-pengajian pendek, dengan penyajian yang juga sangat bagus dan sedap dipandang, menjadi alasan Ustadz Hanan diikuti.
Salah satu pesohor itu, sebagai contoh, adalah Dimas Seto, yang terkenal sebagai aktor sinetron. Anda tahu, sinetron atau sejenisnya, begitu digemarin para remaja dan anak-anak muda yang galau. Tidak hanya di kota-kota terpencil dengan akses internet rendah tv yang mudah, melainkan juga di kota-kota besar .
Lalu, bagaimana jika orang yang ia tiap hari ia lihat tiba-tiba mengaji kepada Ustadz yang juga gaul dengan penyampaian seperti halnya yang mereka gunakan sehari-hari?
“Ustadz Hanan inspirasi anak muda, dengan gayanya, dengan penyampaiannya, ya kita sebagai anak muda banyak terinspirasi lah sama beliau,” ujar Dimas Seto.
Inspirasi ini, yang bagi mereka, menjadi salah satu pintu masuk penting dakwah Hanan Attaki. Dan, agaknnya, pengaruh ini akan terus-terus menerus sampai beberapa tahun mendatang. Memang bukan hal baru, tapi itulah realitas yang terjadi saat ini.
Kita bisa mengritik bahwa pola seperti ini adalah dakwah instan, tidak mendalam untuk belajar islam atau sejenisnya. Tapi, satu hal yang kita lupa, bahwa lahan dakwah seperti ini harus kita akui jarang dimasuki oleh islam moderat. Bukan begitu, bukan?