Hadits berarti setiap informasi yang disandarkan kepada Nabi SAW. Informasi tersebut adakalanya benar. Tidak sedikit informasi itu bohong. Informasi yang benar disebut hadits shahih. Sementara informasi bohong disebut hadits palsu. Sebab itu, Mahmud Thahan dalam Taysiru Musthalahil Hadits mendefinisikan hadits palsu (maudhu’) dengan kalimat berikut ini:
Artinya, “Hadits maudhu’ adalah perkataan bohong dan mengada-ada yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.”
Mayoritas ulama sepakat meriwayatkan hadits maudhu’, apalagi berkata bohong atas nama Nabi Muhammad, adalah dilarang. Rasulullah SAW berkata:
Artinya, “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka kelak posisinya di neraka,” (HR Ibnu Majah).
Tidak hanya pemalsu hadits yang diancam oleh Rasulullah, orang yang menyebarkan hadits palsu pun juga diancam oleh Rasulullah. Rasulullah bersabda:
Artinya, “Siapa yang menyampaikan informasi tentangku padahal ia mengetahui informasi itu bohong, maka ia termasuk pembohong,” (HR Muslim).
Berdasarkan hadits itu, para ulama memahami bahwa meriwayatkan hadits maudhu’ tidak boleh, begitu pula menyampaikan dan menyebarkan hadits maudhu’. Dibolehkan menyampaikannya dengan syarat untuk memberi tahu kepada khalayak kalau hadits tersebut bukanlah hadits shahih, tetapi hadits maudhu’.
Dalam Taysiru Musthalahil Hadits, Mahmud Thahan memerinci ada lima hal yang mendorong orang untuk memalsukan hadits:
Pertama, untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maksudnya, pemalsu hadits membuat hadits dan mengatasnamakan Rasulullah agar orang lain termotivasi untuk beribadah. Memang niatnya bagus, tetapi caranya tidak benar.
Salah satu pemalsu hadits yang melakukan cara ini adalah Maysarah bin Abdu Rabbihi. Ibnu Mahdi, sebagaimana diriwayatkan Ibnu Hibban, pernah bertanya kepada Maysarah:
Artinya, “’Dari mana kamu mendapatkan hadits ini, orang yang membaca ini mendapatkan ganjaran ini?’ Maysarah menjawab, ‘Saya memalsukannya supaya orang-orang termotivasi.’”
Kedua, untuk merusak Islam dari dalam. Sebagian musuh Islam membuat hadits palsu agar umat Islam terpecah belah dan salah memahami agamanya. Di antara orang yang pernah melakukan ini adalah Muhammad bin Sa’id As-Syami.
Ketiga, untuk mendekati penguasa. Sebagian pemalsu hadits membuat hadits palsu yang berkaitan dengan penguasa. Tujuannya untuk memuji dan mendekati penguasa. Misalnya, kisah Ghiyats bin Ibrahim An-Nakha’i yang memalsukan hadits supaya bisa dekat dengan Amirul Mukminin Al-Mahdi.
Keempat, untuk mencari rejeki. Biasanya hal ini dilakoni oleh orang-orang yang berprofesi sebagai pecerita atau pendongeng. Melalui cerita-cerita itu ia mendapatkan uang dari pendengarnya. Untuk menarik pendengar, sebagian mereka memalsukan hadits. Di antara yang melakukan ini adalah Abu Sa’id Al-Mada’ini.
Kelima, untuk mencari popularitas. Supaya orang yang meriwayatkan hadits ini semakin populer dan dikenal banyak orang, mereka membuat hadits yang tidak pernah diriwayatkan oleh orang lain. Melalui hadits palsu itu mereka semakin dikenal karena tidak ada yang meriwayatkan selain dia. Di antara yang memalsukan hadits demi popularitas adalah Ibnu Abi Dahiyyah.