Mengapa Kelompok Salafi Hobi Menggunakan Nama “Abu-Abu”an?

Mengapa Kelompok Salafi Hobi Menggunakan Nama “Abu-Abu”an?

Nama “Abu” atau “Ummu” sering kita temukan pada pengikut salafi. Mengapa demikian?

Mengapa Kelompok Salafi Hobi Menggunakan Nama “Abu-Abu”an?
Seorang penganut salafi di Mesir sedang memegang salinan konsitusi baru negaranya. Photo by AP

Kunyah adalah sebuah nama yang didahului oleh Abu atau Ummu.

Akhir-akhir ini kita sering mendengar para ustadz Salafi yang menggelar kajian sunnah, biasanya nama-nama mereka dilekati dengan Abu di depannya jika ia ustadz, atau Ummu jika ia ustadzah. Dalam gramatikal arab, penyebutan nama Abu atau Ummu itu disebut sebagai kunyah. Lantas mengapa kelompok salafi suka menggunakan Kunyah? Apa sebenarnya kunyah tersebut? Dan haruskah Kita Mengikutinya? Kita akan bahas pada tulisan kali ini.

Sebagaimana disebutkan dalam kitab Alfiyyah Ibnu Malik, gramatikal Arab mengenal ada tiga jenis ‘alam (nama), yaitu ‘alam isim yakni nama asli orang tersebut seperti “Ahmad”, kemudian nama laqab atau julukan, baik yang berisi pujian ataupun hinaan seperti Syekh Jalaluddin al-Suyuthi yang memiliki julukan “al-mutabahhir”; “yang bagaikan lautan” mengingat keilmuan beliau yang begitu luas di berbagai bidang. Terakhir ialah kunyah yaitu nama yang berkaitan dengan kekeluargaan seperti Abu yang artinya bapak, ummu yang artinya ibu, ibnu yang artinya anak lelaki, dan ibnati yang artinya anak perempuan.

Semisal Ahmad punya ayah bernama Muhammad dan punya anak lelaki bernama Hasan, maka nama kunyah bagi Muhammad ialah Abu Hasan Ibnu Muhammad. Karena ada tiga kategori nama itulah yang membuat orang Arab biasanya panjang ketika menuliskan nama mereka. Dalam kasus Ahmad di atas berarti ia bisa menuliskan namanya: Ahmad Abu Hasan Ibnu Muhammad Al-Mutabahhir. Sebenarnya ada satu lagi yang biasa tersemat dalam nama orang Arab, yakni Nisbah atau penisbatan. Bisa terkait nasab dia, kebangsaan dia, pilihan madzhab atau lainnya. Seperti Al-Syafi’i karena ia bermadzhab Syafi’i, Al-Naisaburi karena ia lahir di daerah Naisabur, atau penisbatan lainnya.

Lantas apakah Nabi pernah berbicara soal kunyah ini? Terdapat sebuah hadis yang menyebutkan diperbolehkannya menggunakan alam isim Muhammad namun ada larangan untuk memiliki kunyah Abu Qasim. Hal ini dimaksudkan agar jangan sampai ada kesan penyamaan antara orang lain yang bernama Muhammad dengan Muhammad yang Rasulullah mengingat nama kunyah Nabi Muhammad ialah Abu Qasim (HR. Bukhari no. 3537).

Selain itu, Nabi juga kedapatan pernah memanggil anak kecil dengan kunyah Abu ‘Umair meskipun yang bersangkutan notabenenya belum punya anak (HR. Bukhari no. 6203, Muslim no. 2150). Selain dua ketentuan di atas, ulama juga menambahkan bahwa tidak boleh menggunakan Asma Allah sebagai nama kunyah mengingat Nabi pernah mengingatkan seorang sahabat yang menggunakan kunyah Abu al-Hakam padahal al-Hakam adalah salah satu dari  Asma Allah (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).

Kemudian mengapa kelompok salafi suka menggunakan kunyah? Tentu bisa kita pahami karena mereka menyukai apapun yang berbau Arab atau dengan kata lain menyukai segala sesuatu yang diyakini bahwa itu dilakukan oleh 3 generasi awal Islam, yakni Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in terlepas hal tersebut bagian dari syariat ataupun tidak. Generasi awal Islam rata-rata berkebangsaan Arab, oleh sebab itu mereka biasanya menggunakan budaya Arab masa tersebut, yakni menggunakan kunyah. Sahabat-Sahabat utama Nabi pun menggunakannya seperti Abu Bakar, Umar Ibnu al-Khattab, Utsman ibnu ‘Affan, dan ‘Ali ibnu Abi Thalib. Maka wajar apabila kelompok Salafi memiliki keinginan kuat untuk mengikuti mereka.

Pertanyaan berikutnya, apakah ber-kunyah merupakan perintah syariat? Bahkan Syekh Utsamain yang notabenenya adalah ulama yang dihormati oleh kelompok Salafi, dalam kitab al-Qoul al-Mufid, juz II, hal. 170 menyatakan bahwa tidak ada hadis yang menyebutkan perintah ber-kunyah, yang ada adalah hadis-hadis yang menunjukkan pembatasan kunyah jangan sampai berkunyah dengan kunyah-nya Nabi atau dengan Asma Allah. Dengan demikian, secara umum bisa kita katakan bahwa hukum ber-kunyah sekadar boleh saja namun jangan sampai menabrak ketentuan di atas.

Fakta bahwa Nabi pernah memanggil para sahabatnya dengan nama kunyah, bahkan sampai kepada anak kecil seperti Abu ‘Umair di atas menunjukkan bahwa Nabi berusaha memanggil mereka dengan panggilan yang disukai atau menunjukkan kasih sayang karena bangsa Arab berpandangan panggilan kunyah adalah salah satu bentuk ekspresi kasih sayang.

Bagaimana dengan di Indonesia? Apakah semacam kunyah itu ada di Indonesia? Jawabannya adalah ada. Tetangga saya yang punya anak bernama Joko kemudian dipanggil Ibu Joko. Penulis sendiri biasa dipanggil sama kawan-kawan dengan panggilan Bapak Iyadl mengingat saya punya anak bernama Iyadl. Jadi, mengapa harus Abu-Abu an kalau masih bisa Bapak-Bapakan?

(AN)