Mengapa Islam Puritan Lebih Diminati di Dunia Maya dari pada Islam Moderat?

Mengapa Islam Puritan Lebih Diminati di Dunia Maya dari pada Islam Moderat?

Mengapa Islam puritan memegang kendali atas otoritas keislaman di dunia maya (Islam tekstual yang menganut absolutism dan tidak kenal kompromi).

Mengapa Islam Puritan Lebih Diminati di Dunia Maya dari pada Islam Moderat?
Halaman pertama google dalam pencarian Belajar Islam masih dikuasai media-media islam yang konservatif, padahal secara teori, hal ini dijadikan rujukan pertama kaum milenial. Apakah islam mayoritas yang menyuarakan moderatisme atau bahkan islam progressif akan tinggal diam melihat kekalahan islam inklusif di internet ini?

Islam moderat (NU dan Muhammadiyah) itu merupakan Islam mayoritas di Indonesia. Sebagai mayoritas, semestinya dua organisasi moderat tersebut memegang kendali atas otoritas keislaman di Indonesia. Namun, ternyata Islam puritan memegang kendali atas otoritas keislaman di dunia maya (Islam tekstual yang menganut absolutism dan tidak kenal kompromi).

Berdasarkan data dari Similarweb (website pengukur dunia digital), beberapa website yang diindikasi sebagai Islam puritan, pada bulan Juni 2020 lalu memiliki jumlah pengunjung yang banyak, bahkan melampaui website-website yang dikelola oleh NU dan Muhammadiyah. Website mereka seperti almanhaj.or.id (1,7 jt), muslim.or.id (2,6 jt), portal-islam.id (3,25 jt), eramuslim.com (2 jt), dan www.islampos.com (1,9 jt) telah dikunjungi oleh total 11,45 juta pengunjung. Jumlah ini terhitung fantastis karena menyaingi bahkan ada yang melampaui website-website Islam moderat seperti, Nu.or.id (3,2 jt) dan Muhammadiyah.or.id (220 rb).

Selain itu, Islam puritan ala Salafi-Wahabi juga cukup dominan di youtube. Channel-channel youtube mereka seperti Yufid.tv, Rodja tv, Ammar tv, dll. punya jumlah pengunjung dan subscriber yang sangat fantastis. Yufid.tv jumlah pengunjungnya sebanyak 347.999.611 dan subscriber 2,17 jt, Rodja tv jumlah pengunjungnya sebanyak 30.480.301 dan subscriber 353 rb, dan Ammar tv jumlah pengunjungnya sebanyak 408.855.019 dan subscriber 2,44 jt per tanggal 20 Juli 2020. Jumlah ini menunjukkan bahwa mereka sangat merajai kajian keislaman di youtube, karena channel-channel NU seperti NU Channel, NU online, 164 Channel-Nahdlatul Ulama, dll. jumlah pengunjung dan subscribernya masih sangat jauh di bawahnya, yaitu NU Channel (pengunjung: 51.696.426 dan subscriber: 538 rb), NU online (pengunjung: 22.392.531 dan subscriber: 538 rb), 164 Channel-Nahdlatul Ulama (pengunjung: 11.860.920 dan subscriber: 109 rb) per 20 Juli 2020.

Dari data di atas, sangat terlihat jelas bahwa dalam mencari sumber-sumber keislaman di dunia maya, masyarakat muslim di Indonesia masih lebih sering melirik kalangan Islam puritan daripada Islam moderat. Mengapa bisa demikian?

Menurut Khalid Abou el Fadl hal yang paling membedakan dari pemahaman Islam antara Islam puritan dan moderat adalah penghargaan mereka terhadap sejarah. Kalau Islam puritan itu cenderung tidak menghargai sejarah, sementara kalangan Islam moderat (dalam hal ini NU) sangat menghargai sejarah. Dampak nyata dari perbedaan pemahaman keduanya dalam melihat sejarah ini sangat besar pengaruhnya terhadap sikap mereka beragama, termasuk mempengaruhi cara beragama masing-masing kelompok ini dalam menyikapi fenomena kajian Islam online.

Kalangan Islam puritan karena sejak semula sudah tidak menaruh perhatian terhadap proses sejarah Islam, dalam beragama mereka langsung hendak memahami Islam dari tiga generasi awal Islam yang mereka sebut generasi as salaf as salih. Cara terbaik untuk bisa sampai pada pemahaman yang sesuai dengan generasi salaf itu, tidak ada lain kecuali dengan langsung merujuk pada Al-Quran dan hadis. Segaris dengan itu, maka berbagai karya ulama pasca tiga generasi awal Islam, pada akhirnya harus disisihkan. Dialektika ajaran Islam dengan masing-masing konteks sejarah dan tempat pasca generasi as salaf as salih secara otomatis akan dianggap perusak agama yang harus dimurnikan (purifikasi).

Dampak langsung atas pemahaman Islam yang demikian adalah keabsahan untuk secara langsung belajar al-Quran dan hadis serta cenderung tekstual. Tidak ada standar ketat untuk belajar dan mengajarkan pesan-pesan al-Quran dan hadis, karena kedua sumber tersebut sudah lengkap, rigid, jelas, dan absah untuk setiap konteks.

Sementara, kalangan Islam moderat sangat menghargai sejarah. Untuk sampai pada ajaran Islam, kalangan moderat sangat menjaga ketat silsilah (mata rantai) keilmuan. Tiap-tiap pengajar Islam harus terjaga silsilah keilmuannya, berurut rantai tersambung sampai pada rasulullah. Selain itu, ada standar yang sangat ketat bagi kalangan Islam moderat untuk bisa menyampaikan dakwah Islam. Mereka yang silsilah keilmuannya tidak mu’tabar (tidak bersambung dengan rasulullah), tidak menguasai kelimuan-keilmuan Islam secara baik, serta tidak mendapatkan ijazah (ijin mengajar) dari gurunya, maka mereka tidak berhak untuk menyampaikan dakwah Islam atau sekurang-kurangnya penyampaiannya akan menjadi tidak legitim sehingga tidak dijadikan rujukan kalangan moderat.

Segaris dengan itu juga, belajar keilmuan Islam dalam tradisi Islam moderat kemudian menjadi tidak sembarangan. Kalangan Islam moderat tidak memberikan ijin kepada para pembelajar Islam untuk merujuk secara langsung pada kitab-kitab klasik, apalagi al-Quran dan hadis. Belajar agama bagi kalangan Islam moderat harus pada seorang guru dan guru itu harus sudah memenuhi standar tadi.

Perbedaan cara pandang Islam puritan dan moderat tersebut pada gilirannya juga berdampak pada sikap keduanya dalam menghadapi kajian Islam online. Tidak adanya standar berat untuk belajar dan mengajar Islam di kalangan Islam puritan, membuat mereka begitu mudah memegang kendali atas otoritas keislaman di dunia maya. Mereka kalangan Islam puritan secara aktif, tanpa dihantui dengan standar yang ketat, kemudian beramai-ramai menyebarkan dakwah mereka di dunia maya dan beramai-ramai juga para penganut mereka menyimaknya. Bahkan mereka yang baru masuk Islam sekalipun bisa mendapatkan panggung sebagai pendakwah di dunia maya dan mendapatkan apresiasi (disimak dan dilihat banyak orang).

Sementara, kalangan Islam moderat yang menerapkan standar sangat ketat, menjadi kurang berminat untuk meramaikan jagat kajian Islam di dunia maya. Untuk berdakwah secara daring mereka “sungkan” karena merasa masih belum memenuhi standar. Sebaliknya, untuk menyimak dan membaca kajian Islam online juga was-was, karena tidak tahu pasti kapasitas keilmuan penulis atau pendakwah online serta tidak tahu pasti silsilah keilmuannya. Alhasil, kajian Islam moderat pun menjadi tidak begitu bergairah di dunia maya.

Kemarin memang sempat, sewaktu awal Pandemi COVID-19 (pada bulan Ramadhan), banyak pesantren mulai terjun meramaikan kajian Islam di dunia maya dengan pengajian-pengajian kitab kuningnya. Tapi, sayangnya belakangan semangat itu mulai pudar kembali, setelah sistem pendidikan di pesantren mulai kembali berjalan normal di masa new normal ini. (AN)

Wallahu a’lam.