
Sumenep merupakan tolok ukur Madura. Dan Islam adalah agama yang paling diminati saat itu oleh masyarakat, termasuk Kerajaan Sumenep, Madura. Fakta sejarah menjelaskan bahwa Sumenep dengan Aria Wiraraja sebagai wilayah populer yang membidani lahirnya Majapahit, cikal-bakal Nusantara.
Selain Aria Wiraraja, orang-orang penting seperti Raja Jokotole dan Sunan Paddusan (mantu Jokotole) sudah masuk Islam. Jokotole cicit Sunan Lembayung Fadal, kakak Sunan Ampel. Sedangkan Sunnan Paddusan merupakan cucu keponakan Sunan Ampel. Dalam babad Sumenep Islam mulai masuk awal tahun 1300-an Masehi.
Segala kegiatan Kerajaan dan masyarakat Sumenep, baik menyangkut ide, gagasan, dan pengalaman hidup melahirkan identitas Kemaduraan atau Negara Sumenep.
Menurut Huub De Jonge dalam Sumenep Abad Ke-19: Tanah, Pajak dan Layanan Wajib (2020), pembentukan negara Sumenep melalui kontrak. Ini karena, pada paruh kedua abad ke-19 atau tahun 1580-1705, Madura diintervensi pemerintahan Hindia Belanda. Selama ini pula, Madura dibagi menjadi dua bagian: bagian wilayah Timur dan Madura bagian Barat. Madura bagian barat adalah Bangkalan dan Sampang. Sedangkan Madura bagian timur termasuk Sumenep, Pamekasan dan pulau Sapudi (lihat Huub De Jonge).
Sumenep memiliki 126 pulau. Pulau-pulau ini tersebar di gugusan pulau-pulau, baik yang berpenghuni maupun tidak berpenghuni. Jumlah pulau berpenghuni di Kabupaten Sumenep hanya 48 pulau atau 38%, sedangkan pulau yang tidak berpenghuni sebanyak 78 pulau atau 62%.
Di masa pra Islam kebanyakan kerajaan di pulau Madura ini merupakan lanjutan dari kerajaan di Jawa, yaitu kerajaan Kediri, Majapahit, Singhasari, Mataram, yang menganut ajaran Hindu Budha. Namun ketika (bahkan sebelum) sebelum kerajaan Majapahit runtuh, masyarakat Sumenep sudah mengenal agama Islam. Hal ini ditandai ketika Islam masuk di lingkungan Kerajaan Sumenep.
Tokoh Penting di Sumenep
Ada beberapa tokoh penting dalam Islamisasi Sumenep. Nama Sheikh Ahmad Baidawi, salah satu ulama dari Timur, Sunan Paddusan, tokoh penyebar Islam yang dikenal dengan ritual penyucian atau “paddusan” sebelum masuk Islam, dan raja-raja Sumenep, seperti Pangeran Anggadipa (abad ke-16), Pangeran Jokotole dan Panembahan Sumolo (abad ke-18). Nama-nama di atas menjadi cikal bakal proses Islam menjadi agama resmi di Sumenep, khususnya di Kerajaan Sumenep. Ketika Islam menjadi agama resmi, saat itu juga Kesultanan Sumenep menjadi pusat kebudayaan Islam dan memiliki hubungan erat dengan kerajaan Islam di Nusantara, termasuk Kesultanan Mataram.
Islam di Sumenep memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Hal ini tercermin dalam berbagai aspek budaya dan kehidupan masyarakat Sumenep, seperti tradisi, arsitektur, pendidikan, hingga peran sosial-politik. Nilai-nilai Islam telah menyatu dengan adat istiadat lokal dan menciptakan karakter keislaman yang khas di wilayah ini.
Salah satu bentuk pengaruh Islam dalam budaya Sumenep terlihat dalam tradisi keagamaan yang masih lestari hingga kini. Nyadar, misalnya, merupakan ritual tahunan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir, sebagai ungkapan syukur atas hasil laut yang mereka peroleh. Meskipun memiliki akar dalam tradisi leluhur, ritual ini telah disesuaikan dengan nilai-nilai Islam, sehingga tetap mencerminkan aspek spiritual dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, terdapat pula tradisi Rokat Tase’, yaitu upacara selamatan laut yang diisi dengan doa dan zikir yang dipimpin oleh ulama atau kiai. Tradisi ini menjadi bentuk refleksi spiritual yang memperlihatkan bagaimana Islam mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sumenep. Tradisi lain misalnya tradisi Sintong yang mulai kembali digemari oleh anak muda Sumenep.
Islam dan Tradisi Kepulauan
Di akar rumput, terutama di berbagai kepulauan Sumenep, Islam hadir dalam praktik keagamaan yang lebih umum, seperti tahlilan dan yasinan, Maulid Nabi dan Rajaban juga dirayakan dengan penuh khidmat melalui berbagai kegiatan keagamaan, dalam rangka untuk memperkuat spiritualitas masyarakat Sumenep. Misalnya di Pulau Gili Genting, Gili Iyang, Ra’as dan Kangean, masyarakatnya masih mempertahankan tradisi tersebut, yang mereka namai “kompolan”.
Pengaruh ini oleh masyarakat kepulauan dapatkan dari akar Islam keratonan Sumenep dan beberapa pondok besar di Sumenep. Sebut saja Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Pesantren Annuqayah di Guluk-Guluk, Mathaliul Anwar, Bata-Bata dan beberapa pondok lainnya. Keberadaan pesantren-pesantren ini menunjukkan bagaimana Islam tidak hanya menjadi pedoman hidup, tetapi juga menjadi bagian dari sistem pendidikan yang berkontribusi dalam membangun intelektual Muslim dan peradaban di Sumenep.
Pengaruh kiai dan ulama dalam kehidupan sosial masyarakat Sumenep sangatlah besar. Mereka berperan dalam pendidikan Islam, sekaligus memberikan bimbingan dan nasihat dalam berbagai aspek kehidupan. Masyarakat Sumenep, memiliki tradisi yang kuat dalam menghormati serta mengikuti arahan kiai dalam urusan sosial-politik maupun keagamaan. Sampai saat ini, mayoritas mengikuti mazhab Syafi’I dan berorientasi pada fiqh dan tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah.
Pengaruh kuat pesantren dan kiai dalam kehidupan sehari-hari semakin memperkokoh karakter religius masyarakat Sumenep, yang juga tampak dalam tradisi ziarah ke makam-makam wali dan ulama, terutama ke Asta Tinggi, yang menjadi salah satu destinasi ziarah utama di Madura. Pengaruh Islam juga tercermin dalam warisan arsitektur yang menjadi bagian dari identitas kota Sumenep, yakni Masjid Agung Sumenep, yang dibangun pada abad ke-18 oleh Panembahan Sumolo, dan kini merupakan salah satu masjid tertua dan termegah di Madura. Masjid ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi simbol kejayaan Islam di Sumenep. Jika bertandang ke Sumenep, anda bisa tidur, mandi dan makan di Masjid Agung Sumenep ini.
Dalam ranah sosial-politik, ulama juga memainkan peran yang sangat signifikan di Sumenep. Mayoritas masyarakat di daerah ini merupakan pengikut Nahdlatul Ulama (NU), yang memiliki basis kuat dalam tradisi pesantren dan ajaran Islam yang moderat. Kiai di Sumenep menjadi tokoh panutan yang berpengaruh dalam menentukan arah politik, baik dalam pemilu maupun dalam kebijakan sosial yang berkaitan dengan masyarakat Muslim.
Dengan demikian, pertalian Islam Keraton saat itu dan ulama pesantren telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sumenep. Melalui tradisi, pendidikan, arsitektur, dan peran sosial-politik, Islam membentuk identitas dan karakter masyarakat Sumenep yang religius, berpegang teguh pada ajaran fiqh, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan sosial mereka.
.